Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Emansipasi Tokoh Utama dalam Bidang Pendidikan pada Novel Kehilangan Mestika

Selasa, 27 Mei 2025 20:40 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Membedah Unsur Intrinsik Kehilangan Mestika dalam Kaca Mata Nurgiantoro
Iklan

Novel Kehilangan Mestika merupakan novel yang ditulis oleh pegarang Perempuan yaitu Fatimah Hasan Delais atau biasa disebut dengan Hamidah

Setiap orang berhak memperoleh pendidikan tanpa memandang jenis kelamin. Di Indonesia, sistem patriarki masih sangat mendominasi, di mana perempuan kerap dipandang lebih lemah dibandingkan laki-laki. Pandangan stereotip yang berkembang di masyarakat sering menjadi penghalang bagi perempuan dalam mengembangkan potensinya, yang kemudian menciptakan ketidaksetaraan gender di bidang pendidikan. Hal ini memunculkan anggapan bahwa perempuan tidak membutuhkan pendidikan tinggi karena dianggap akan berfokus pada urusan domestik. Tentu saja, pemikiran semacam ini membatasi kesempatan perempuan untuk meningkatkan kemampuan mereka di ranah publik. Oleh karena itu, pendidikan yang bermutu seharusnya bebas dari diskriminasi gender. Terdapat berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk memperjuangkan kesetaraan perempuan dalam pendidikan, salah satunya seperti yang dilakukan oleh tokoh Hamidah dalam kutipan berikut:

“Jikalau mereka telah mengerti kepentingan perguruan, tentulah mereka tak segan-segan dan tak sayang merugi mengeluarkan ongkos untuk menyerahkan anaknya ke sekolah. Anak-anak ini nanti tentu akan menjadi ibu yang lebih sempurna dari mereka dan akan banyak berjasa kepada tanah air dan bangsanya. Hal inilah yang mendorongku akan mendirikan sebuah perkumpulan bagi kaum ibu” (Hamidah, 2011: 20)

Hamidah digambarkan sebagai sosok yang memperjuangkan hak-hak perempuan dalam bidang pendidikan dengan membangun sebuah perkumpulan perempuan yang memfokuskan pada pelajaran menulis, membaca, kerajinan tangan, hingga memasak. Usaha ini bertujuan untuk memberdayakan kaum perempuan untuk membentuk generasi cerdas bagi  kemajuan  bangsa dan tanah air. Meskipun niat baiknya dipandang rendah oleh masyarakat di sekitarnya, bahkan mereka yang ikut ke dalam perkumpulan tersebut dilabeli sebagai wanita kafir, karena mereka sudah bertindak sesuka hatinya dan juga tidak mengenakan kain penutup kepala. Banyak sekali cacian yang dilontarkan kepada Hamidah dan juga keluarganya, namun hal itu tidak membuat niat Hamidah putus begitu saja. Ia terus berpikir bagaimna cara agar perempuan di negerinya bisa mendapatkan pendidikan. Salah satu cara yang dilakukan oleh tokoh Hamidah adalah dengan mengunjungi ke setiap rumah-rumah untuk orang yang ingin menerima pendidikan darinya.

"Berkat giatnya kami bekerja maka perkumpulan itu pun makin sehari makin maju juga. Kursus segera diadakan dan yang diutamakan sekali yaitu membaca dan menulis. Kerja tangan dan memasak pun tak ketinggalan." (Hamidah, 2011: 20)

"Pada permulaannya kami dikatakan orang perempuan "kafir", sebab sudah berjalan ke sana kemari, tidak pula berselendang yang akan menutup kepala." (Hamidah, 2011: 21)

“...sekarang cara kami bekerja terpaksa ditukar. Kami berganti-ganti pergi mengunjungi orang yang berhajat pertolongan kami untuk memerangi buta huruf. Dengan berkat rajin dan sabar, berhasillah pekerjaan kami. Bukan sedikit gadis-gadis dan ibu-ibu yang telah pandai membaca dan menulis.” (Hamidah, 2011: 43)

Tokoh Hamidah berusaha memperjuangkan hak perempuan dalam hal pendidikan dengan mengunjungi langsung tempat tinggal wanita yang ingin melawan ketidakmampuan mereka dalam membaca dan menulis serta wanita yang peduli terhadap nasib pendidikannya. Selain itu, Hamidah bersama dengan kawan-kawannya yang turut membantu membangun perkumpulan wanita meminta ahli agama untuk mengadakan tabligh sekali dalam seminggu setiap pertemuan mereka. Usaha tersebut membuahkan hasil, banyak perempuan di negerinya yang akhirnya mampu membaca dan menulis, mulai dari kalangan muda hingga tua. Perlahan, pandangan masyarakat terhadap mereka pun berubah, mereka mulai dihormati begitu pula dengan pekerjaan mereka yang semakin hari semakin menunjukkan hasil hingga membuat orang-orang tak lagi menganggap buruk perkumpulan mereka, dan juga semakin banyak yang ikut dan bergabung ke dalam perkumpulan tersebut. Awalnya hanya beranggotakan kurang dari sepuluh orang, kini jumlah orang dalam perkumpulan tersebut terus bertambah. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Hamidah menunjukkan semangat emansipasinya dengan mengabdikan dirinya sebagai seorang guru. Ia menyadari bahwa membagi ilmu yang ia punya kepada masyarakat di sekitarnya merupakan langkah penting dalam mendorong kemajuan pendidikan di negerinya.

"Tetapi, setelah kami minta seorang ahli agama Islam mengadakan tablig sekali seminggu di dalam perkumpulan kami, banyak juga pemandangan mereka itu yang mulai berubah. Kami mulai dihormati mereka, demikian juga pekerjaan kami, kian hari kian memperlihatkan hasilnya. Anggota pun makin bertambah juga." (Hamidah, 2011: 21)

Bagikan Artikel Ini
img-content
Syifa Ahmalya

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler