Rokok dan Negara: Andai Rokok Padam Sehari
Sabtu, 31 Mei 2025 21:16 WIB
Indonesia merupakan salah satu surga bagi industri tembakau di dunia.
***
Setiap tahunnya pada tanggal 31 Mei, dunia memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia. Sesuai Resolusi WHA42.19 yang ditetapkan oleh World Health Assembly (WHA). Tahun ini, World Health Organization (WHO) mengangkat tema “Unmasking the appeal: exposing industry tactics on tobacco and nicotine products” untuk Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2025. Tahun ini, WHO akan berfokus pada pengungkapan taktik yang digunakan industri tembakau dan nikotin untuk membuat produk berbahaya mereka tampak menarik. Jika anda berminat dan ingin mengetahui lebih lanjut, anda bisa menonton Webinar for World No Tobacco Day 2025 by WHO.
Namun kali ini penulis tidak akan berwarta mengikut tema dari WHO, jika anda ingin mengetahui lebih lanjut tentang kampanye anti-tembakau WHO tahun ini, klik disini. Pada hakikatnya agar masyarakat dunia tidak menggunakan tembakau selama satu hari saja. Dalam waktu sehari saja, diharapkan masyarakat dunia menjadikannya waktu perenungan terhadap efek negatif dari penggunaan tembakau. Hanya sehari saja. Lebih lanjut, untuk meningkatkan kesadaran global tentang bahaya konsumsi tembakau dan mendorong kebijakan yang melindungi masyarakat dari dampak negatif rokok dan kawan-kawan.
Di Indonesia sendiri, peringatan ini hadir dalam berbagai bentuk, dari: Kampanye; Seminar kesehatan; dan Seruan untuk berhenti merokok. Setidaknya maksimal untuk sehari. Pelayanan kesehatan dalam memerangi rokok di Indonesia juga sudah demikian canggihnya. Kementerian Kesehatan RI telah berinovasi menggunakan Artificial Intelligence (AI) dalam Program Berhenti Merokok Indonesia-nya. Kemenkes telah menghadirkan layanan konsultasi berhenti merokok berbasis Chatbot yang disebut Quitina. Inovasi ini dimaksudkan guna menjangkau lebih banyak orang yang ingin berhenti merokok.
Melihat upaya besar negara dalam memerangi rokok, sayangnya kekecewaan terhadap implementasi cita-cita mulia ini juga sama besarnya. Bagaimana tidak? Indonesia merupakan salah satu surga bagi industri tembakau di dunia. Dengan ~25,18% penduduk Indonesia pada tahun 2023 adalah perokok. Dan menurut WHO, angka itu akan naik hingga 38,7% per tahun 2025. Ini membuat setiap bentuk kampanye anti-rokok di Indonesia terasa seperti teriakan di tengah badai–yang mana lebih baik lari daripada teriak. Dan mungkin tulisan ini salah satunya. Maka muncul pertanyaan; Apa jadinya jika Hari tembakau benar-benar dijalankan sepenuhnya? Apa jadinya jika Indonesia tidak merokok untuk sehari saja?
Rokok dalam Angka
Mari kita bermain dengan angka. Sebagaimana diketahui, Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah perokok tertinggi di dunia. Adapun jumlahnya, berdasarkan dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan bahwa rata-rata perokok di Indonesia mengonsumsi 87,45 batang rokok per minggu. Dengan asumsi total perokok di Indonesia tetap pada ~25,18% dari penduduk Indonesia atau ~70 juta orang, dan bahwa satu tahun terdiri dari 52 minggu, maka estimasi konsumsi rokok nasional per tahun adalah:
70.000.000 perokok x 87,45 batang rokok/minggu x 52 minggu = ~318,4 miliar batang rokok/tahun = ~872,1 juta batang rokok/hari
Wow, tentu 872,1 juta bukan angka yang kecil. Kalau kita lihat dari segi harga, harga rokok di Indonesia pada tahun 2024 bervariasi. Dengan kisaran harga per bungkus mulai dari sekitar Rp8.000,00 hingga Rp46.500,00, dan harga eceran minimum per batang berkisar antara Rp725,00 hingga Rp2.380,00. Lewat perkalian sederhana, diketahui masyarakat Indonesia minimal total pengeluaran seluruh masyarakat Indonesia untuk rokok mencapai Rp632.272.500.000,00/hari.
Tentu saja angka tersebut bukan sekadar perkiraan semata. Di baliknya tersimpan kerugian yang mencengangkan. Sebuah studi oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2017 memperkirakan kerugian ekonomi makro akibat konsumsi rokok mencapai Rp431,8 triliun per tahun. Angka ini mencakup biaya pengobatan BPJS, hilangnya produktivitas kerja masyarakat, dan kematian.
Belum lagi dampak lingkungan rokok yang merusak. Dari produksi hingga konsumsi, setiap batang rokok menghasilkan sekitar 14 gram CO2. Dengan konsumsi harian ~872,1 juta batang per harinya, bisa diperkirakan Indonesia menghasilkan hampir 12.209,4 ton CO2/hari hanya dari aktivitas merokok. Itu baru polusi hasil rokok mencemari udara, belum lagi puntung rokok yang dibuang sembarangan mencemari tanah dan air tempat kita hidup.
Dengan banyaknya kerugian akibat rokok, mari kita bayangkan, jika sehari saja, seluruh perokok Indonesia mau berbaik hati dan menahan diri untuk tidak merokok. Satu hari saja. Secara ekonomi perorangan, seorang perokok bisa menghemat uang yang biasa ia habiskan untuk rokok. Secara kolektif, kita sedang bicara tentang penghematan Rp600 miliar dalam sehari. Lingkungan pun dapat bernapas lega—12 ton CO2 tak terlepas ke atmosfer, dan jutaan puntung rokok juga tak berserakan di jalanan.
Dilema milik Negara
Sudah kita ketahui, industri rokok merugikan masyarakat baik secara ekonomi, kesehatan, maupun lingkungan. Demikian adanya, mengapa pemerintah tidak Indonesia tidak melarang Rokok sepenuhnya? Padahal, dilihat dari sisi pemerintah pun, pemerintah juga sama-sama merugi akibat rokok.
Pendapatan negara dari industri tembakau per kuartal I 2025 telah mencapai Rp55,7 triliun, 5,6% lebih tinggi dari periode tahun sebelumnya. Pada akhir tahun 2025, pemerintah menargetkan pendapatan negara dari industri tembakau pada Rp230,09 triliun, sesuai Perpres No. 201 Tahun 2024. Sedangkan kerugian negara akibat konsumsi rokok berestimasi hingga Rp431,8 triliun. Dimana kerugian ini disebabkan oleh biaya pengobatan BPJS, hilangnya produktivitas kerja masyarakat, dan kematian. Ini menunjukkan bahwa negara menderita dampak negatif dari industri tembakau. Lantas, mengapa tidak dilarang saja?
Biarpun secara ekonomi merugikan, industri tembakau berkontribusi besar pada APBN. CHT saja menyumbang porsi sebesar 10–13% dari APBN beberapa tahun terakhir. Tidak hanya itu, industri rokok juga memberikan lapangan pekerjaan bagi 5,98 juta tenaga kerja Indonesia. Bisa dibayangkan apa yang terjadi jika industri ini ditutup. Apalagi pada kondisi ekonomi yang tidak menentu saat ini. Selain itu, rokok sendiri sudah membudaya di Indonesia. Khususnya rokok kretek yang menjadi lambang budaya dan sejarah rokok di Indonesia. Tidak heran jika tingkat toleransi sosial terhadap aktivitas merokok sangat tinggi di masyarakat. Tua, muda, pria, wanita, bahkan kanak-kanak diketahui merokok? Sudah biasa.
Setidaknya ini menjelaskan sedikit banyak dilema yang dialami pemerintah. Di satu sisi, memang benar industri rokok membuat rugi, namun disisi lain, baik negara dan masyarakat masih membutuhkan industri ini. Sehingga, solusi yang tepat atas dilema ini adalah adanya kesadaran dari masyarakat itu sendiri–selaku konsumen–terhadap bahaya rokok.
Perokok-Perokok Kampungan
Solusi terbaik dari permasalahan tembakau adalah dari masyarakat. Sebagaimana masyarakat sendirilah yang membangun kebiasaan merokok pada dirinya, maka masyarakat jugalah yang menghentikannya. Sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa pihak yang paling dirugikan oleh industri rokok adalah masyarakat. Lalu, masyarakatnya sendiri mengapa tidak berhenti merokok? Dengan kerugian secara ekonomi, kesehatan, dan lingkungan ditambah beban pajak dan cukai rokok,masih saja ada yang merokok. Bahkan angkanya naik setiap tahunnya.
Salah satu tujuan diadakannya cukai yang berat terhadap rokok adalah untuk menekan konsumsi rokok dengan membuatnya menjadi lebih mahal. Pemerintah telah secara konsisten menaikkan cukai hasil tembakau (CHT) tiap tahunnya. Namun, di lapangan, banyak perokok bukanya berhenti tetapi malah beralih ke rokok yang lebih murah. Fenomena ini disebut “Downtrading”. Downtrading adalah fenomena dimana konsumen beralih dari produk yang lebih mahal ke produk yang lebih murah, seringkali akibat kenaikan harga atau penurunan daya beli. Di Indonesia sendiri, Downtrading diakibatkan oleh keduanya, baik kenaikan harga dan penurunan daya beli masyarakat.
Ini terjadi karena rokok bersifat adiktif. Nikotin didalamnya membuat perokok sulit lepas dari rokok, khususnya yang sudah ketergantungan. Ketika harga rokok naik, alih-alih berhenti, perokok cenderung mengganti merek atau jenis rokok ke yang lebih murah agar tetap bisa merokok. Dengan demikian, kebijakan pemerintah berhasil mendorong sebagian masyarakat untuk berhemat, tetapi belum efektif menurunkan jumlah perokok.
Tindakan tersebut tentu tidak tanpa risiko. Pastinya ada alasan mengapa harga satu rokok lebih murah dari rokok lainnya. Mengingat harga rokok di Indonesia sangat bervariasi, bahkan ada yang hanya Rp8.000,00 per bungkus. Harga biasanya berbanding lurus dengan kualitas. Dari bahan baku, proses produksi, dan kemasan. Rokok murah cenderung menggunakan tembakau berkualitas lebih rendah, campuran cengkeh yang lebih banyak, dan/atau bahan tambahan lain guna memangkas biaya produksi. Ini memberikan alternatif bagi para perokok agar tetap bisa merokok dengan tanpa mengorbankan keuangan mereka.
Maka daripada itu, di tengah fenomena-fenomena ini, Hari Tanpa Tembakau Sedunia terasa seperti seremoni tak bermakna. Selama masyarakat tidak mau sadar dan berubah, selama itu pula Indonesia akan terjebak di antara kesehatan dan kenikmatan. Mungkin yang dibutuhkan bukan lagi kampanye anti-rokok, melainkan keberanian untuk mengakui bahwa masyarakat ini—untuk saat ini—masih membutuhkan rokok lebih daripada rokok membutuhkan mereka.
Referensi
Asmara, C., Sopiah, A., & Maesaroh. (2022, Oktober 28). Daftar Rokok Murah RI: Ada yang Cuma Rp 8.000 Per Bungkus!. CNBC Indonesia. https://www.cnbcindonesia.com/news/20221027200902-4-383118/daftar-rokok-murah-ri-ada-yang-cuma-rp-8000-per-bungkus
Badan Pusat Statistik: BPS. (2024). Statistik Kesejahteraan Rakyat. Badan Pusat Statistik. link
Kamalina, A. R., & Nugroho, A. C. (2024, Juli 17). Mengenal Downtrading Rokok yang Bikin Sri Mulyani Ketar-ketir. Bisnis.com. https://ekonomi.bisnis.com/read/20240717/259/1782991/mengenal-downtrading-rokok-yang-bikin-sri-mulyani-ketar-ketir
Kementerian Kesehatan RI. Program Berhenti Merokok Indonesia. (n.d.). https://kemkes.go.id/id/layanan/program-berhenti-merokok-indonesia
Muhamad, S. F. (2024, Juni 4). Menkes: Beban kesehatan negara akibat rokok lebih gede dari pendapatan. Antara News. https://www.antaranews.com/berita/4135773/menkes-beban-kesehatan-negara-akibat-rokok-lebih-gede-dari-pendapatan
Oktaviana, M. (2023, Juni 23). Penerimaan Negara dari Cukai Hasil Tembakau Capai 13%. Okezone. https://www.okezone.com/tren/read/2023/06/23/620/2835927/penerimaan-negara-dari-cukai-hasil-tembakau-capai-13
Owo. (2019, Maret 25). Dunia Usaha - Industri Hasil Tembakau Tercatat Serap 5,98 Juta Tenaga Kerja. Neraca. https://www.neraca.co.id/article/114642/dunia-usaha-industri-hasil-tembakau-tercatat-serap-598-juta-tenaga-kerja
PwC Indonesia Legal Alert. (2025). New health implementing regulation related to tobacco industry. In Indonesia Legal Alert: February 2025 No. 36. https://www.pwc.com/id/en/publications/legal/legal-alert-2025-36.pdf
Rafsanjani, K., Hannany, Z., & Rosdiana, N. (2024, December 5). 2025 tobacco excise target lowered, tobacco firms collectively strengthen. IDN Financials. https://www.idnfinancials.com/news/51661/tobacco-excise-target-lowered-tobacco-firms-collectively-strengthen
Rokom. (2024, Mei 29). Perokok Aktif di Indonesia Tembus 70 Juta Orang, Mayoritas Anak Muda. Sehat Negeriku. https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20240529/1545605/perokok-aktif-di-indonesia-tembus-70-juta-orang-mayoritas-anak-muda
Stevany, R. (2024, Juli 22). WHO Prediksi Perokok Indonesia Mencapai 38,7 Persen di 2025. RRI.https://www.rri.co.id/papua/kesehatan/845760/who-prediksi-perokok-indonesia-mencapai-38-7-persen-di-2025?utm_source=chatgpt.com
STOP. (2025, Februari 20). Kita Perlu Membahas Soal Tembakau dan Lingkungan. STOP. https://exposetobacco.org/id/dampak-rokok-terhadap-lingkungan
World Health Organization: WHO. (2024, November 11). World No Tobacco Day: Unmasking the appeal. World No Tobacco Day: Unmasking the Appeal. https://www.who.int/news/item/11-11-2024-no-tobacco-day-2025--unmasking-the-appeal

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Rokok dan Negara: Andai Rokok Padam Sehari
Sabtu, 31 Mei 2025 21:16 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler