Membongkar Patriarki dan Ketidakadilan Gender dalam Karya Pramoedya Ananta Toer
Rabu, 4 Juni 2025 18:57 WIB
Novel Midah Si Manis Bergigi Emas karya Pramoedya Ananta Toer mengungkap kerasnya patriarki dan ketidakadilan gender yang dialami perempuan.
***
Novel Midah Si Manis Bergigi Emas karya Pramoedya Ananta Toer pertama kali diterbitkan pada tahun 1954 dan kemudian banyak dicetak ulang, termasuk oleh penerbit Lentera Dipantara di Jakarta. Cerita berlatar di Jakarta pada tahun 1950-an dan mengisahkan kehidupan Midah, seorang gadis cantik dari keluarga kaya dan taat beragama yang mengalami perubahan drastis dalam hidupnya.
Novel ini menggambarkan perjuangan Midah mempertahankan hidup dan passion-nya dalam musik di tengah kerasnya kehidupan jalanan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial. Midah juga menghadapi dilema sebagai single parent yang harus membesarkan anaknya seorang diri sambil terus berjuang di dunia yang penuh tantangan.
Midah adalah seorang gadis manis dan anak tunggal dari Haji Abdul, seorang pedagang kaya dari kampung Cibatok yang kini tinggal di Jakarta. Sejak kecil, Midah sangat dimanja oleh orang tuanya, namun setelah kelahiran adik-adiknya, perhatian dan kasih sayang itu mulai berkurang. Merasa kehilangan perhatian, Midah mencari kebahagiaan di luar rumah, terutama melalui kecintaannya pada musik keroncong yang mulai ia gemari sejak kecil.
Ayahnya yang konservatif tidak menyukai selera musik Midah, bahkan pernah merusak koleksi piringan hitam lagu keroncong miliknya, yang meninggalkan luka batin bagi Midah. Ketika beranjak dewasa, Midah dijodohkan oleh ayahnya dengan Haji Terbus, seorang pria kaya dan berpengaruh dari kampung yang ternyata sudah memiliki banyak istri. Setelah mengetahui hal ini saat sudah hamil tiga bulan, Midah memilih melarikan diri dari suaminya dengan membawa janin dalam kandungannya.
Kehidupan baru Midah penuh perjuangan dan kesulitan. Ia tidak berani kembali ke rumah orang tuanya dan memilih tinggal bersama Riah, mantan pembantunya, sebelum akhirnya bergabung dengan kelompok pengamen keroncong. Di tengah kesulitan, Midah melahirkan anaknya yang diberi nama Rodjali. Namun, ia mendapat perlakuan dingin dan diskriminasi dari rombongan pengamen, terutama karena ia menolak lamaran kepala rombongan yang ingin menikahinya.
Untuk memenangkan persaingan dengan penyanyi lain, Midah memasang gigi emas sebagai ciri khasnya, sehingga ia mendapat julukan “Si Manis Bergigi Emas". Meski menghadapi banyak rintangan, Midah tetap gigih merawat anaknya dan meneruskan perjuangan hidupnya sebagai penyanyi keroncong keliling.
Suatu hari, Midah bertemu dengan Ahmad, seorang polisi yang juga pecinta seni dan pernah membelanya dari perlakuan kasar di rombongan pengamen. Ahmad melatih Midah bernyanyi dan membawanya ke dunia radio, membuka peluang baru dalam karier musiknya. Namun, hubungan mereka tidak berjalan mulus. Ketika Midah mengandung anak Ahmad, ia malah dituduh tidak setia dan dijebak, yang menambah penderitaannya.
Berita tentang Midah sampai ke orang tuanya yang merasa menyesal telah menelantarkan anaknya. Ibu Midah berhasil menemukan Rodjali dan membawanya pulang, namun Midah sendiri masih terus berjuang di dunia musik dan kehidupan keras di jalanan Jakarta.
Lebih dari sekedar cerita tentang cinta dan perjuangan, novel ini mengangkat realitas pahit yang kerap tersembunyi di balik norma dan tradisi masyarakat patriarki, ketidakadilan yang dialami perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.
Midah bukan hanya tokoh fiksi, melainkan cermin dari banyak perempuan yang terkungkung oleh dominasi laki-laki, kekerasan dalam rumah tangga, dan stereotip sosial yang membatasi kebebasan mereka. Melalui perjalanan hidupnya, kita diajak untuk menyelami bagaimana sistem patriarki tidak hanya menekan suara perempuan, tapi juga merampas hak-hak dasar mereka untuk menentukan nasib sendiri.
Bagaimana sebenarnya patriarki membentuk struktur sosial yang timpang? Apa saja bentuk ketidakadilan gender yang dialami Midah dan perempuan lain dalam novel ini? Mari kita kupas lebih dalam untuk memahami kritik tajam yang disampaikan Pramoedya Ananta Toer melalui kisah Si Manis Bergigi Emas, sebuah refleksi penting yang masih relevan hingga kini. Berikut uraian bentuknya:
1. Kekerasan dan Dominasi Patriarki dalam Keluarga
Midah mengalami kekerasan fisik dan verbal dari ayah yang otoriter, misalnya ditampar karena dianggap melanggar norma keluarga. Ini bukan hanya kekerasan semata, tapi simbol dominasi patriarki yang mengekang kebebasan perempuan dan menolak suara mereka dalam keluarga.
2. Marginalisasi Perempuan di Ranah Sosial dan Pekerjaan
Perempuan seperti Riah dipecat secara sepihak tanpa proses yang adil hanya karena dianggap melindungi Midah. Hal ini menunjukkan bagaimana perempuan sering dipinggirkan dan tidak diberi ruang untuk membela diri dalam lingkungan kerja yang didominasi laki-laki.
3. Subordinasi dan Pembungkaman Hak Perempuan
Midah dan perempuan lain dalam novel tidak memiliki hak untuk memilih atau menyampaikan pendapat, baik dalam keluarga maupun kelompok sosial. Contohnya, Nini sebagai satu-satunya perempuan dalam kelompok keroncong tidak boleh memimpin dan harus tunduk pada laki-laki.
4. Stereotip dan Pelabelan Negatif terhadap Perempuan
Midah dipandang rendah dan dicap negatif karena pekerjaannya sebagai penyanyi keroncong, yang dianggap tidak bermoral oleh keluarga dan masyarakat sekitar. Ini mewakili stereotip sosial yang membatasi perempuan pada peran tertentu dan memandang mereka secara negatif jika keluar dari norma.
5. Ketimpangan Kekuasaan dalam Rumah Tangga
Perempuan seperti Midah yang menikah dengan pilihan ayahnya mengalami lebih lanjut, seperti tidak mendapatkan kebebasan dan menjadi objek poligami. Suami yang dominan menganggap dirinya berhak mengambil semua keputusan tanpa mendengarkan pendapat istri.
6. Beban Ganda dan Inferioritas Perempuan
Diartikan memikul beban ganda, yaitu tanggung jawab domestik dan sosial, namun tetap memandang ke sebelah mata dan tidak dihargai. Mereka sering dianggap inferior dan diposisikan sebagai kelas kedua di masyarakat patriarki.
Secara keseluruhan, novel Midah Si Manis Bergigi Emas karya Pramoedya Ananta Toer bukan sekadar kisah perjuangan seorang perempuan dalam menghadapi kerasnya kehidupan dan diskriminasi sosial, melainkan juga cerminan tajam dari realitas patriarki yang mengekang kebebasan dan hak perempuan. Melalui perjalanan hidup Midah, kita diajak untuk memahami bagaimana ketidakadilan gender, kekerasan dalam keluarga, serta stereotip sosial membentuk struktur sosial yang timpang dan membatasi perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.
Novel ini menekankan pentingnya kesetaraan, pemberdayaan perempuan, dan pengakuan atas hak mereka untuk menentukan nasib mereka sendiri. Dengan demikian, Midah Si Manis Bergigi Emas tetap relevan sebagai refleksi dan kritik sosial yang menginspirasi perjuangan emansipasi perempuan hingga saat ini.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Menyingkap Krisis Spiritual dan Sosial dalam Cerpen Klasik A.A. Navis
Kamis, 5 Juni 2025 23:30 WIB
Membongkar Patriarki dan Ketidakadilan Gender dalam Karya Pramoedya Ananta Toer
Rabu, 4 Juni 2025 18:57 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler