saya seorang tenaga pengajar di SMP Negeri 22 Bandar Lampung. saat ini menjadi Ketua MGMP PAI Kota Bandar Lampung, Pengurus APKS PGRI Propinsi Lampung. Pengurus Forum Guru Motivator Penggerak Literasi (FGMP;) Lampung. \xd Guru Penggerak angkatan 7 dan Pengajar Praktik angkatan 11 kota bandar Lampung.\xd saya aktif menulis di berbagai media elektronik daerah/nasional

AI Kecerdasan yang Menjanjikan atau Jalan Matinya Nilai Kemanusiaan?

Minggu, 15 Juni 2025 23:21 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
AI menulis buku
Iklan

Peran manusia sebagai penjaga nilai dan etika menjadi kunci utama agar AI benar-benar menjadi mitra yang mencerahkan, bukan ancaman menyesatkan

Oleh: [Herimirhan]

Ketua MGMP Pendidikan Agama Islam Kota Bandar Lampung, Pengiat Forum Guru Motivator Penggerak Literasi (FGMPL) Lampung. Pengurus APKS PGRI Propinsi Lampung. Pengajar di SMP Negeri 22 Bandar Lampung.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Artificial Intelligence (AI) menjadi salah satu penemuan teknologi paling revolusioner abad ini. Daya transformasinya terlihat dalam berbagai sektor: pendidikan, kesehatan, ekonomi, hingga tata kelola pemerintahan. Namun, di balik potensi positifnya, 

AI juga memunculkan berbagai persoalan etis, seperti penyalahgunaan data, bias algoritma, dan ancaman serius terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan pembentukan unsur karakteristik 

tulisan ini mengeksplorasi dua sisi AI sebagai kecerdasan yang menjanjikan dan sekaligus berpotensi membuka jalan bagi keculasan matinya nilai nilai kemanusiaan dan karakteristik serta pentingnya pendekatan humanistik dan etis dalam pengembangannya.

Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence atau AI) semakin tak terpisahkan dari kehidupan manusia modern. Perangkat lunak cerdas kini membantu menentukan arah perjalanan, memberikan rekomendasi film, hingga menganalisis hasil pemeriksaan kesehatan. 

Di satu sisi, AI dianggap sebagai simbol kemajuan peradaban; di sisi lain, kehadirannya juga menimbulkan keresahan, terutama terkait privasi, pekerjaan, dan keadilan sosial. Apakah AI akan menjadi penerang zaman atau alat kegelapan digital ?

Kemajuan AI telah mendorong efisiensi dan inovasi yang luar biasa. Dalam bidang medis, misalnya, AI digunakan untuk membaca hasil MRI dan CT Scan dengan akurasi tinggi, mempercepat diagnosis dan menyelamatkan nyawa. 

Di bidang pendidikan, AI memfasilitasi pembelajaran adaptif yang menyesuaikan gaya belajar siswa, meningkatkan partisipasi dan capaian belajar.

Di sektor publik, pemerintah mulai menggunakan AI untuk mendeteksi korupsi, menganalisis data kependudukan, hingga memantau kualitas udara secara real-time. Dalam konteks ini, AI jelas menawarkan potensi pencerahan: membantu manusia mengolah data kompleks menjadi solusi nyata, mempercepat proses pengambilan keputusan, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Namun, AI tidak netral. Algoritma dibangun oleh manusia yang memiliki bias, dan data yang digunakan untuk melatih AI pun bisa mencerminkan ketimpangan yang ada dalam masyarakat. Misalnya, beberapa sistem rekrutmen berbasis AI dilaporkan mendiskriminasi pelamar perempuan karena dilatih dengan data historis yang bias gender.

Lebih jauh lagi, AI dapat dimanfaatkan secara culas untuk tujuan manipulatif. Deepfake, algoritma penyebar hoaks, serta pengawasan massal yang tidak etis menjadi contoh nyata. Keputusan yang diambil oleh AI sering kali tidak transparan, menciptakan apa yang disebut sebagai black box decision-making, di mana tidak ada yang benar-benar tahu mengapa sistem membuat keputusan tertentu.

AI juga menimbulkan disrupsi besar dalam dunia kerja. Otomatisasi membuat sejumlah pekerjaan manusia tergantikan oleh mesin. Sektor manufaktur, transportasi, bahkan layanan pelanggan menghadapi ancaman besar dari sistem AI yang lebih efisien dan murah. Ketimpangan digital pun kian lebar, menciptakan jurang antara mereka yang memiliki akses terhadap teknologi dan yang tidak.

Jika tidak diantisipasi dengan kebijakan yang inklusif, AI justru akan memperkuat struktur ketimpangan dan membuka jalan bagi keculasan sistemik: dominasi korporasi besar, eksklusi sosial, dan pelanggaran HAM berbasis algoritmik.

Untuk menghindari AI menjadi alat keculasan, diperlukan pendekatan yang etis dan humanistik. Pengembangan AI tidak cukup hanya berbasis kemampuan teknis, tetapi juga harus mempertimbangkan prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas. Pembuatan regulasi dan etika AI menjadi langkah krusial yang tidak boleh ditunda.

AI perlu diarahkan agar senantiasa menghormati martabat manusia dan hak-haknya. Literasi digital dan etika teknologi harus ditanamkan sejak dini agar masyarakat tidak sekadar menjadi konsumen pasif, tetapi juga pengawal moral teknologi itu sendiri.

Pada akhirnya, AI ibarat dua mata pisau: ia dapat menjadi sumber pencerahan atau alat keculasan, tergantung bagaimana manusia mengarahkan dan mengawalnya. Dalam menghadapi era digital ini, pertanyaannya bukan lagi sekadar bisa atau tidak AI menggantikan manusia, melainkan apakah kita mampu memastikan bahwa AI tetap berada dalam kendali nilai-nilai kemanusiaan.

Peran manusia sebagai penjaga nilai dan etika menjadi kunci utama agar kecerdasan buatan benar-benar menjadi mitra yang mencerahkan, bukan ancaman yang menyesatkan.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler