RUU PPRT Mangkrak Dua Dekade, Janji Presiden Masih Jadi Wacana

Sabtu, 21 Juni 2025 19:21 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Anggota DPR Rieke Dyah Pitaloka mengikuti Rapat Paripurna DPR Ke-11 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 di gedung DPR, Jakarta, 23 Januari 2025. Tempo/Amston Probel
Iklan

Sudah 20 tahun RUU Perlindungan PRT terombang-ambing di DPR, dan kini rakyat diminta percaya lagi pada janji “tiga bulan kelar” ala Prabowo.

***

Bayangkan, seorang pekerja rumah tangga bangun sebelum ayam bangun, tidur setelah televisi mati, dan tetap digaji setara satu paket nasi uduk. Itulah realitas yang masih kita pelihara dengan manis, sambil DPR RI menguap dalam sidang paripurna sambil menahan kantuk dan janji.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sudah dua dekade, yes dua puluh tahun, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) dipingpong ke sana kemari. Kadang masuk Prolegnas, kadang keluar, kadang lupa, kadang pura-pura amnesia. Yang konsisten cuma satu: RUU ini tidak kunjung disahkan.

Tapi angin baru berembus ketika Presiden Prabowo, dalam pidato penuh semangat di Hari Buruh, berjanji akan menuntaskan RUU PPRT dalam waktu tiga bulan. Sebuah target yang ambisius dan layak diberi standing ovation—kalau bukan karena kita semua sudah terlalu capek berdiri menunggu selama dua dekade.

RUU PPRT dan rutinitas janji politik

Janji tiga bulan itu dilontarkan Presiden pada 1 Mei 2025. Artinya, 1 Agustus tinggal hitungan minggu. Tapi kenyataan di lapangan? Pembentukan panitia kerja (panja) saja belum dimulai. Kalau panja-nya belum ada, apa yang mau dibahas? Naskah akademik dan draf RUU sudah disiapkan oleh JALA PRT, tapi DPR seperti biasa masih sibuk dengan urusan yang lebih penting—seperti tebak-tebakan reshuffle atau studi banding ke negara tanpa PRT.

Anita Jelita dari JALA PRT bahkan sudah berkali-kali tampil di media, seperti kaset rusak yang memutar harapan, sambil mengingatkan pemerintah dan DPR bahwa waktu semakin mepet. Tapi kalau kita percaya pada efisiensi DPR dalam mengesahkan undang-undang, maka kita juga percaya bahwa unicorn itu nyata dan tinggal di Cibubur.

Kekerasan struktural: dari diam jadi diam seribu bahasa

RUU PPRT bukan sekadar soal formalitas atau seremonial legislasi. Ini soal nyawa dan martabat. Dalam kurun 2021-2024, JALA PRT mencatat lebih dari 3.000 kasus kekerasan terhadap PRT. Angka yang tentu saja tak cukup menarik perhatian para pembuat undang-undang yang lebih sibuk mengatur nasib tambang dan dana aspirasi.

Komnas Perempuan juga mencatat 56 laporan kekerasan terhadap PRT hanya dalam satu tahun terakhir. Itu yang berani lapor. Yang lain? Mungkin masih sibuk mencari sinyal di rumah majikan, atau bahkan tidak tahu mereka punya hak untuk marah.

Sertifikasi PRT: solusi atau kamuflase?

Salah satu wacana yang terus bergulir adalah sertifikasi untuk PRT. Tentu niatnya baik: meningkatkan kompetensi. Tapi jangan lupa, ini negara di mana “sertifikasi” bisa menjadi dalih untuk menghambat atau mempersulit akses pekerjaan.

Kita seolah-olah lupa bahwa banyak PRT sudah bekerja belasan tahun, menguasai manajemen rumah tangga lebih baik dari manajer operasional startup. Tapi karena tak punya selembar kertas dari BLK, mereka dianggap tidak profesional. Kalau begitu, tolong juga sertifikasi buat para wakil rakyat: kemampuan hadir tepat waktu, paham isi RUU, dan tidak tidur saat sidang.

Negara terlalu sibuk jadi majikan, lupa melindungi pekerjanya

Di negeri ini, PRT selalu berada di posisi subordinat. Bahkan Undang-Undang Ketenagakerjaan tak mengakui mereka sebagai pekerja formal karena hubungan kerja mereka bersifat "perorangan". Artinya, negara cuci tangan dan bilang, “Urusan rumah tangga, ya urusan lo sendiri.”

Padahal, fungsi negara adalah melindungi yang paling rentan. Tapi jika PRT terus dianggap tidak penting, maka mari kita bayangkan hari tanpa mereka: rumah berantakan, anak terlambat sekolah, orang tua telantar, dan karier ibu kota macet total.

Tapi tentu elite politik tak akan mengalami itu. Mereka punya supir, asisten pribadi, bahkan asisten buat asisten mereka. Wajar jika mereka tak pernah merasa urgensi untuk mengesahkan RUU ini. Toh hidup mereka berjalan normal meski negara tak normal.

Komitmen DPR: antara serius dan serius-sedikit-lagi-hilang

Beberapa anggota DPR, seperti Kurniasih Mufidayati, menyatakan komitmen untuk mendorong RUU ini. Tapi publik tak lagi lapar komitmen. Yang dibutuhkan sekarang adalah aksi konkret, bukan pernyataan manis di media. Sudah cukup kita dimabukkan janji setiap masa sidang tiba.

RUU ini disebut-sebut sudah masuk agenda Baleg. Tapi seperti biasa, agenda bisa berubah tergantung arah angin politik dan jadwal liburan legislator. Yang pasti, rakyat tetap diminta sabar—sebuah keahlian yang makin hari makin terasa seperti hukuman.

Upah rendah, perlindungan nol, dan ekspektasi minus

Menurut BPS, rata-rata upah PRT di Indonesia tahun 2022 hanyalah Rp437.416 per bulan. Bandingkan dengan anggaran kunjungan kerja DPR yang bisa tembus ratusan juta rupiah untuk studi banding ke negara-negara yang sudah lama mengesahkan UU perlindungan pekerja domestik.

Dari angka itu saja sudah tampak ketimpangan moral. Tapi entah kenapa, rasa keadilan kita kerap dimatikan dengan jargon: “Negara ini besar, kompleks, perlu waktu.” Padahal, 20 tahun itu bukan waktu sebentar. Bahkan bayi yang lahir saat RUU ini pertama kali diajukan, sekarang sudah bisa ikut demo bersama ibunya.

Penutup yang tak akan kita akhiri dengan kata ‘penutup’

Karena kenyataannya, perjuangan ini belum selesai. Dan setiap kali rakyat diberi harapan, lalu dikhianati, maka itu bukan hanya kegagalan legislatif—tapi juga kebangkrutan moral.

RUU PPRT mangkrak dua dekade bukan sekadar ironi hukum, tapi juga potret telanjang bagaimana negara memperlakukan rakyat kecil. Presiden boleh janji tiga bulan, DPR boleh berkoar-koar soal komitmen, tapi yang dilihat rakyat adalah hasil, bukan headline.

Dan jika 1 Agustus nanti tidak ada tanda-tanda pengesahan, maka rakyat berhak menyimpulkan bahwa negara lebih suka memelihara kekacauan ketimbang mengatur keadilan.

Karena selama 20 tahun ini, perlindungan terhadap PRT hanyalah satu hal: dongeng pengantar tidur untuk elite, mimpi buruk tanpa akhir bagi pekerjanya.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Rochem

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler