Penulis lepas, seringnya berpuisi tapi juga suka bercerita. Memiliki koleksi delapan buku ber-ISBN, salah-satunya mendapatkan penghargaan dari Kemendikbudristekdikti. Sekarang masih menulis dan akan selalu begitu.

Biar Dunia Tahu Bahwa Aku Sedang Sedih

Rabu, 2 Juli 2025 14:58 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Marah
Iklan

Aku muak dengan mereka yang justru mengobral kesedihanku pada orang-orang, menganggap deritaku adalah bahan tontonan dan cerita.

Aku ingin seluruh dunia tahu—bahwa aku tengah sakit hati. Bukan sekadar sedih, bukan patah kecil yang bisa diperbaiki dengan tidur panjang atau secangkir teh.

Ini luka yang membakar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ini nyeri yang nyata.

Terus terang aku muak dipaksa untuk tetap terlihat kuat oleh tatanan sosial yang mengagungkan "senyum sebagai tanda kekuatan."

 

Aku menulis ini dengan air mata yang jatuh diam-diam dan darah yang mendidih di kepalaku, dan aku ingin dunia tahu bahwa aku tidak baik-baik saja.

Dengar: Aku tidak baik-baik saja.

Sebab di dunia ini, mereka yang menyembunyikan luka dipuja sebagai manusia tangguh, dan mereka yang menangis di depan umum dianggap lemah.

Betapa bangkrutnya moral publik ketika tawa menjadi lebih penting daripada tangis, ketika empati ditukar dengan komentar basi soal move on.

 

Aku muak.

Aku tidak sedang memohon pengertian—aku sedang mendeklarasikan kenyataan.

Bahwa aku telah terlalu sering ditendang oleh kepura-puraan, oleh basa-basi manusia yang menganggap luka batin hanyalah lelucon musiman.

Mereka tertawa, memelintir cerita, mempermainkan hati—dan tetap tidur nyenyak malam harinya.

Sementara aku, bergelut dengan rasa sakit yang bahkan Tuhan pun mungkin sudah bosan mendengarnya.

 

Jadi untukmu yang membaca ini, untukmu yang mungkin tertawa di atas kesedihanku,

Untukmu yang menjadikan aku objek cerita dan bukan subjek rasa—

Ketahuilah: aku tidak akan pura-pura kuat lagi.

 

Aku lelah. Aku sakit dan aku marah. Karena kadang, amarah adalah satu-satunya bentuk jujur dari cinta yang dikhianati.

 

Kau tahu, karena terlalu sering aku berpura-pura dalam rasa sakit, aku sampai tak mengenali siapa diriku sendiri di cermin.

Bayangan yang kulihat bukan aku—hanya seonggok tubuh yang dipaksa tersenyum, dipaksa tegak, padahal jiwanya sudah lama rubuh.

Aku muak, benar-benar muak dengan orang-orang terdekat, tapi paling dulu mengadili ceritaku.

Mereka meremehkan tangisku, menyederhanakan sedihkuku, seolah aku hanya butuh istirahat dan segelas air putih untuk melupakan semua luka. Aku tak boleh protes menurutnya.

Mereka tak pernah tahu bagaimana rasanya menahan sesak di dada, seperti terserang asma yang tak kunjung reda.

Mereka tak tahu bagaimana rasa sakit bisa menjelma demam, menggigil di tengah malam ketika tak satu pun mata peduli, ketika tak satu pun tangan terulur.

Dan parahnya: dunia menganggap itu biasa.

Padahal tak ada yang biasa dari rasa sakit—rasa sakit bukan kompetisi.

Bukan ajang untuk dibandingkan, diperingkatkan, lalu dicemooh jika dianggap tak sepenting luka orang lain.

 

Aku menulis ini karena aku muak.

Muak dengan tingkah laku mereka yang merasa dirinya utuh dan sempurna.

Padahal aku tahu—dan mereka pun tahu—hati mereka penuh borok.

Tubuh mereka rusak, jiwanya compang-camping, dan akal mereka tak lebih dari brosur kosong yang dipoles oleh ego dan kemunafikan.

Mereka menjual moral, padahal tak punya nilai. Mereka menghakimi, padahal tak mampu bercermin.

 

Dan di tengah kerumunan manusia yang kian bising ini, aku berdiri—sendiri.

Menulis, bukan karena ingin didengar. Tapi karena tak ada lagi tempat yang benar-benar mendengar.

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Rama Kurnia Santosa

Rama Kurnia Santosa

4 Pengikut

img-content

Kematian yang Tak Mereka Kenali

Senin, 6 Oktober 2025 18:54 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler