Ketua Program Studi S2 Magister Perencanaan Wilayah dan Kota (Planologi) Fakultas Teknik Unissula Semarang. Juga sebagai Sekretaris I Bidang Penataan Kota, Pemberdayaan Masyarakat Urban, Pengembangan Potensi Daerah, dan Pemanfaatan SDA, ICMI Orwil Jawa Tengah. Selain itu juga sebagai Sekretaris Umum Satupena Jawa Tengah.

Kolaborasi Aktif Mengatasi Bencana Tak Terduga

Rabu, 16 Juli 2025 18:04 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Penulis Indonesiana
Iklan

Bencana tak terduga merusak fisik, sosial, dan ekosistem; ketidakpedulian manusia jadi akar risiko serius yang harus diatasi bersama

Bencana, baik yang berasal dari alam maupun akibat ulah manusia, selalu menjadi peristiwa tak terduga dengan dampak serius. Kerusakan fisik hanyalah sebagian konsekuensi yang terjadi; bencana juga mengganggu tatanan sosial-ekonomi dan keseimbangan ekosistem. Ironisnya, banyak bencana ini timbul karena kelalaian dan kurangnya kesadaran manusia terhadap lingkungan sekitar.

Oleh karena itu, penting untuk memahami proses terjadinya bencana dan mengenali faktor pemicunya, mulai dari aktivitas manusia seperti deforestasi, alih fungsi lahan, pembangunan tanpa kajian lingkungan, hingga perubahan iklim dan kegagalan teknologi. Dengan pemahaman tersebut, semua pihak dapat berperan aktif dalam pencegahan dan mitigasi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Selain itu, penataan ruang berbasis prinsip ekologi dan mitigasi bencana sangat diperlukan guna mengurangi risiko dan dampak negatif bencana di masa depan. Ketidakpedulian terhadap lingkungan merupakan akar persoalan utama, di mana kurangnya kesadaran ekologis menyebabkan kasus bencana semakin banyak, seperti pembangunan permukiman di daerah rawan longsor, pembangunan industri tanpa AMDAL, serta pencemaran air dan udara. Ketidakpedulian ini menimbulkan kerentanan baru yang memperbesar risiko terjadinya bencana

Peran Masyarakat, Suasta, dan Pemerintah

Masyarakat berperan aktif dalam menjaga lingkungan dengan melakukan pemilahan sampah, menanam pohon, serta tidak membuang limbah ke sungai. Selain itu, masyarakat juga meningkatkan literasi dan kesiapsiagaan bencana melalui partisipasi dalam pelatihan atau simulasi bencana.

Pemerintah berperan dengan menyusun regulasi tata ruang yang berbasis mitigasi bencana dan menjaga keseimbangan ekosistem, menegakkan hukum lingkungan secara konsisten terhadap pelaku kerusakan ekosistem dan pelanggaran tata ruang, serta menyediakan sistem peringatan dini dan program rehabilitasi pasca-bencana.

Sementara itu, suasta atau investor diharapkan melaksanakan bisnis yang ramah lingkungan dan bertanggung jawab, serta melakukan penanaman modal yang mendukung konservasi sumber daya alam dan rekayasa lingkungan berkelanjutan.

Pembaruan Tata Ruang Berbasis Ekologi dan Mitigasi Bencana

Kondisi tata ruang yang mengabaikan prinsip keseimbangan ekosistem terbukti menjadi penyebab meningkatnya risiko bencana. Oleh karena itu, perencanaan tata ruang harus dilaksanakan melalui langkah-langkah berikut: pertama, mengadopsi pendekatan sistem ekologi dalam menetapkan fungsi wilayah lindung dan wilayah budidaya; kedua, merumuskan strategi perencanaan, pengendalian, dan pemanfaatan ruang agar tercipta interaksi harmonis antara manusia dan alam; serta ketiga, mengembangkan alternatif penanggulangan yang mencakup aspek preventif (pencegahan), mitigasi (pengurangan risiko), dan rehabilitasi (pemulihan pascabencana).

Perspektif ekistik yang dikemukakan oleh Constantin Doxiadis dalam “The Ekistic” (1980) menegaskan pentingnya keseimbangan antar elemen tata ruang melalui konsep Human Settlement, yang meliputi tiga unsur utama, yaitu manusia dan masyarakat sebagai subjek penataan ruang, unsur alam seperti tanah, laut, udara, fauna, dan flora, serta ruang buatan berupa infrastruktur, perumahan, dan jaringan transportasi. Penerapan konsep ini menuntut adanya struktur ruang yang mendukung aktivitas sosial-ekonomi secara berjenjang dan fungsional guna mewujudkan tata ruang yang berkelanjutan.

Dengan pemahaman integrasi sistem ekologi serta keterlibatan aktif seluruh pemangku kepentingan, pengelolaan tata ruang berbasis mitigasi bencana dapat menciptakan wilayah yang lebih tangguh dan ramah lingkungan. Oleh karena itu, penyusunan tata ruang di masa depan harus secara cermat mengatur distribusi kawasan lindung untuk konservasi dan kawasan budidaya untuk pembangunan, agar keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan lingkungan tetap terjaga.

Kesimpulan

Bencana dengan dampak serius, yang seringkali dipicu oleh kelalaian manusia dan kurangnya kesadaran lingkungan, bukan hanya menyebabkan kerusakan fisik tetapi juga mengganggu tatanan sosial-ekonomi dan keseimbangan ekosistem. Oleh karena itu, pemahaman menyeluruh tentang penyebab dan faktor pemicu bencana, mulai dari aktivitas manusia hingga perubahan iklim, sangat krusial untuk pencegahan dan mitigasi yang efektif.

Kunci utama dalam menghadapi masalah ini adalah melalui kolaborasi aktif antara masyarakat, suasta, dan pemerintah, di mana masyarakat berperan dalam menjaga lingkungan dan meningkatkan kesiapsiagaan, pemerintah bertanggung jawab dalam regulasi, penegakan hukum, dan penyediaan sistem peringatan dini, sedangkan suasta diharapkan menjalankan bisnis yang ramah lingkungan dan bertanggung jawab.

Selain itu, pembaruan tata ruang berbasis ekologi daan mitigasi bencana, dengan mengadopsi pendekatan system ekologi dan konsep keseimbangan Human Settlement, sangat mendesak untuk mengurangi risiko dan menciptakan wilayah yang tangguh serta berkelanjutan di masa depan.

Referensi:

BNPB, “Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Ekosistem”
KLHK, “Strategi Implementasi Tata Ruang Berbasis Mitigasi Bencana”
UNDRR, “Ecosystem-Based Disaster Risk Reduction (Eco-DRR)

Dr. Ir. Mohammad Agung Ridlo, M.T.

  • Ketua Program Studi S2 Magister Perencanaan Wilayah dan Kota (Planologi) Fakultas Teknik Unissula Semarang.
  • Sekretaris I Bidang Penataan Kota, Pemberdayaan Masyarakat Urban, Pengembangan Potensi Daerah, dan Pemanfaatan SDA, ICMI Orwil Jawa Tengah.
  • Sekretaris Umum Satupena Jawa Tengah

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler