Pengamat kondisi sosial yang suka mengomentari sekitar

Para Petarung: Teater Kelas Pekerja dan Ruang Bernapas di Tengah Paradoks

2 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Ilustrasi Pertunjujan Teater. Gambar oleh Image Joanjo Puertos Mu\xf1oz dari Pixabay
Iklan

Pertunjukan Para Petarung bukan sekadar drama musikal, melainkan potret kehidupan yang mengalir dari panggung ke nurani penonton.

***

Sebagai sebuah karya teater, pertunjukan Para Petarung oleh Teater Djarum yang dipentaskan pada Jumat, 26 September 2025 di Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah menjadi menarik bukan hanya tentang siapa yang tampil, melainkan juga bagaimana pertunjukan itu dibangun. Lakon musikal ini, yang ditulis sekaligus disutradarai Asa Jatmiko, sekilas mengikuti struktur dramatik yang cukup konvensional: eksposisi, konflik, klimaks, hingga resolusi. Namun kehadiran para pemainnya menjadikannya sesuatu yang lain. Mereka bukan aktor profesional, melainkan satpam, HRD, tukang kebun, teknisi, hingga buruh linting—orang-orang yang sehari-harinya berada di balik mesin produksi atau di pos satpam, kini berdiri di panggung sebagai pusat perhatian.

Kehadiran mereka di panggung sudah menjadi pernyataan politik tersendiri: kelas pekerja yang biasanya hanya dihitung sebagai angka produksi, kini tampil sebagai subjek naratif.

Dalam kerangka Performance Studies, Richard Schechner menyebut bahwa pertunjukan bukan sekadar peristiwa estetik, melainkan juga peristiwa sosial. Para Petarung membuktikan hal itu dengan jelas. Panggung yang biasanya milik seniman profesional, kali ini menjadi ruang sosial di mana kelas pekerja menegosiasikan identitasnya. Melalui tubuh mereka sendiri, mereka mendefinisikan ulang siapa yang berhak bicara, siapa yang berhak didengar, dan siapa yang berhak menjadi pusat cerita.

Secara dramaturgi, pertunjukan ini menghadirkan konflik klasik antara pemilik modal dan pekerja. Lakon dibuka dengan adegan penuh euforia—buruh borongan yang naik status menjadi buruh harian. Namun, ironi segera terasa: apa yang disebut “kenaikan kelas” sesungguhnya hanyalah bentuk kontrol baru. Tragedi Suli kemudian menjadi titik balik, memperlihatkan bagaimana tubuh perempuan pekerja rentan pada lapis-lapis penindasan: subordinasi di tempat kerja dan stigma sosial di luar. Dari sini cerita bercabang pada intrik, pengkhianatan, hingga kehancuran Den Karso, sang pemilik perusahaan—menandai runtuhnya kuasa yang semula tampak absolut.

Asa memilih panggung minimalis: kursi, bingkai, dan backdrop hitam. Kesederhanaan ini bukan keterbatasan, melainkan strategi estetik. Kursi bergeser dari sekadar benda fungsional menjadi simbol kuasa dan hierarki; bingkai kosong berdiri sebagai metafora siapa yang boleh masuk “gambar besar” perusahaan; sementara backdrop hitam menyimpan ironi sejarah buruh yang sering berakhir dalam gelap. Estetika ini mengingatkan pada teater epik Brechtian, di mana panggung tidak dibiarkan menipu, melainkan didorong untuk berbicara secara simbolik.

Namun kekuatan utama Para Petarung bukan terletak pada teks atau setting, melainkan pada tubuh para aktornya. Dramaturgi Kernodle menekankan pentingnya hubungan teks, aktor, dan konteks, dan di sinilah aktor nonprofesional itu memberi warna khas. Tubuh satpam yang terbiasa berdiri tegak, tangan buruh yang ritmenya dibentuk mesin, napas terengah pekerja lembur—semua ini menghadirkan kejujuran yang tak mungkin dipalsukan. Mereka tidak sedang “memerankan” pekerja, mereka adalah pekerja itu sendiri. Dari sini, keaktoran mereka terasa jujur, karena apa yang ditampilkan bukan hasil konstruksi semata, melainkan pengalaman hidup yang nyata.

Paradoks manusiawi juga hadir lewat arahan Asa. Pertunjukan ini tidak hanya bicara tentang pertarungan kelas, tetapi juga tentang sisi gelap manusia. Bahwa orang yang tampak baik tidak selamanya hanya baik; ada rapuh, ada marah, ada gelap yang tersembunyi. Di panggung, paradoks itu ditampilkan dengan telanjang. Dalam istilah Erving Goffman, batas antara front stage (peran publik yang penuh kepatuhan) dan back stage (ruang pribadi yang penuh kegelisahan) runtuh. Justru di panggung inilah para pekerja memperlihatkan paradoks itu secara jujur, sehingga akting mereka menyentuh bukan hanya logika, tapi juga nurani penonton.

Dalam wawancara saya dengan beberapa anggota Teater Djarum, hampir semuanya menyebut kelompok ini sebagai “rumah.” Ada satpam yang berkata, “Di sini saya bukan satpam, saya aktor.” Ada buruh linting yang mengaku baru pertama kali berani bicara di depan banyak orang berkat teater. Testimoni ini menguatkan bahwa Para Petarung bukan sekadar pertunjukan, melainkan ritus sosial yang memberi ruang setara bagi mereka yang biasanya terpinggirkan.

Tetapi di balik itu, ada ambiguitas yang tak bisa diabaikan. Pertunjukan memang memberi ruang simbolis, tetapi ruang itu bersifat sementara. Begitu lampu padam, para aktor kembali ke mesin produksi, ke laporan bulanan, ke pos satpam. Inilah yang Victor Turner sebut sebagai “ruang liminal”—momen bebas sementara yang membalik tatanan, namun cepat berlalu. Pertanyaan besar pun muncul: bisakah energi panggung itu menembus batas auditorium dan menggema ke dunia nyata?

Sebagai kritikus sekaligus penonton, saya melihat Para Petarung sebagai eksperimen sosial sekaligus estetis. Ia mengingatkan kita bahwa teater tidak hanya domain seniman, melainkan juga ruang artikulasi politik kelas pekerja. Sebagaimana diyakini Augusto Boal, teater dapat menjadi “teater yang membebaskan,” tempat mereka yang biasanya diam akhirnya bersuara.

Dan sebagai manusia, saya merasa disentuh. Malam itu, di atas panggung sederhana dengan kursi dan bingkai kosong, saya tidak hanya menyaksikan drama musikal. Saya menyaksikan kehidupan yang jujur, paradoks yang akrab, dan keberanian yang lahir dari tubuh-tubuh pekerja yang biasanya tak kita pandang. Para Petarung tidak berhenti di kepala, ia mengetuk hati—mengajak kita bertanya: berapa banyak suara yang selama ini teredam, dan siapa yang bersedia mendengar mereka di luar panggung?

Bagikan Artikel Ini
img-content
Arrauna Bening Aji Kus Indriani

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler