Jurnalis, pegiat komunitas warga, dan pengamat sosial perkotaan

Gaza, Trump, dan Pasar dari Puing-puing

Minggu, 20 Juli 2025 07:37 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Gaza
Iklan

Di balik penghancuran Gaza terselip agenda pembangunan infrastruktur.

Oleh: Mahar Prastowo

Tak ada yang tahu persis di mana satu rumah bermula dan satu keluarga berakhir di Gaza hari ini. Sejak langit di atasnya diguratkan jalur api oleh drone dan rudal, kota itu kehilangan tubuh. Yang tertinggal hanya bayangan: gedung-gedung yang tak lagi bernama, jalan-jalan yang tak lagi punya arah.

Di atas reruntuhan ini, sebuah wacana diam-diam tumbuh: pembangunan. Atau lebih tepatnya, penataan ulang ruang—dan kuasa.

Donald Trump barangkali tak pernah menjejakkan kaki di Gaza. Tapi nama itu, seperti ia hadir di menara-menara mewah di Istanbul, Dubai, dan Azerbaijan, bisa saja menjelma dalam papan proyek rekonstruksi sebuah kota yang dulu penuh luka.

Itulah dunia hari ini. Bahkan kehancuran pun punya nilai tukar.

Setelah perang usai—jika perang benar-benar bisa usai—selalu muncul satu pertanyaan yang tidak diajukan oleh politisi atau jurnalis lapangan: siapa yang akan membangun ulang, dan untuk siapa?

Yang hancur memang rumah sakit, sekolah, dan apartemen penduduk. Tapi yang datang biasanya bukan tukang batu dari lingkungan sekitar, melainkan kontraktor global, diplomat pembangunan, dan investor yang membawa peta: bukan peta kota, tapi peta laba.

Pola ini bukan hal baru. Irak melihatnya. Afghanistan merasakannya. Ketika peluru berhenti, mesin-mesin ekskavator asing datang. Mereka membangun jalan dan istana presiden, kadang masjid, tapi juga membangun utang.

Di belakang truk semen itu, IMF menurunkan proposal. Bank Dunia membentangkan dokumen. Di sinilah pembangunan menjadi kalkulasi: bukan sekadar harapan, tapi margin.

Dan Gaza?

Kita bisa membayangkan: sebuah Gaza baru. Mungkin ada waterfront. Ada kawasan ekonomi khusus. Mungkin ada hotel mewah di atas pantai yang dulu diisi tenda pengungsi. Mungkin ada menara berlabel "Trump Gaza Signature Tower". Fantastis? Bisa jadi. Tapi hari ini, fiksi dan kenyataan hanya dipisahkan oleh niat.

Kita sudah pernah menyaksikan bagaimana nama Trump digunakan sebagai label untuk apartemen mewah di Manila dan Panama. Trump Organization tak perlu mengeluarkan banyak modal. Cukup lisensi nama dan manajemen—sisanya dikerjakan oleh mitra lokal dan pengembang asing. Dalam sistem ini, luka sebuah kota bisa dikemas sebagai potensi investasi.

Yang lebih menyakitkan barangkali ini: dalam banyak kasus, rakyat yang semula kehilangan rumah, tak pernah kembali untuk tinggal di rumah yang dibangun di atasnya. Karena rumah itu telah menjadi properti. Menjadi aset. Menjadi bagian dari portofolio.

Maka pertanyaan ini layak diajukan: Gaza akan dibangun untuk siapa?

Apakah untuk perempuan tua yang kehilangan anak dan cucu di Jabalia? Atau untuk investor yang ingin menikmati laba dua digit dari zona rekonstruksi yang dikawal militer?

Dalam sebuah wawancara lama, Trump pernah berkata: “I love deals.” Tapi sejarah mencatat, tak semua kesepakatan menghasilkan keadilan. Sebagian hanya menghasilkan pemindahan kepemilikan.

Mungkin inilah ironi zaman kita: pembangunan bisa dimulai dari penghancuran. Bahkan, kadang penghancuran dibutuhkan agar pembangunan bisa dimulai. Dan dalam sistem itu, penderitaan adalah tahap awal dari sebuah proposal.

Pada akhirnya, puing-puing Gaza mungkin tak hanya dikeruk untuk dibuang, tapi disusun kembali menjadi pondasi bisnis. Dan mungkin, sejarah yang akan menuliskan kalimatnya dengan getir:

“Di atas luka yang belum sembuh, lahirlah kota yang belum tentu milik mereka.”

Catatan: Ini bukan cerita tentang satu orang, bukan pula hanya tentang satu perusahaan. Ini tentang sistem yang membuat kehancuran tak hanya mungkin, tapi juga menguntungkan. Tentang zaman yang memoles puing-puing dengan kata: pembangunan.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Mahar Prastowo

Penulis Indonesiana

5 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler