Penulis, aktivis, sociopreneur.\xd\xd\xd Menyuarakan nalar kritis dan semangat mandiri dari pesantren ke publik digital #LuffyNeptuno
Rokok Tanpa Cukai dan Negara yang Terlalu Mahal untuk Rakyatnya
Kamis, 24 Juli 2025 08:59 WIB
Rokok ilegal bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi cermin ketimpangan ekonomi dan kegagalan pemerintah dalam memahami realitas rakyat kecil.
***
Pada tahun 2024, pemerintah Indonesia menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) rata-rata sebesar 10%, dengan alasan utama pengendalian konsumsi rokok dan optimalisasi penerimaan negara. Cukai rokok sendiri menyumbang lebih dari 12% dari total penerimaan perpajakan nasional, dengan angka tembus Rp 232,5 triliun pada tahun itu. Namun ironisnya, kenaikan tarif cukai ini justru memperlebar jurang antara negara dan rakyat kecil.
Di banyak wilayah Indonesia, terutama pelosok Jawa, Sumatera, hingga kawasan timur seperti NTT dan Maluku, rokok tanpa cukai alias rokok ilegal bukan lagi fenomena baru. Ia bukan sekadar produk pelanggaran hukum, tetapi telah menjelma sebagai “penyelamat” ekonomi bagi petani tembakau, buruh linting, pengusaha kecil, hingga masyarakat konsumen kelas bawah yang tak mampu membeli rokok bermerek dengan harga selangit.
Rokok Ilegal: Di Mana Letak Masalahnya?
Pemerintah melihat rokok tanpa cukai sebagai masalah hukum dan ekonomi. Menurut Kementerian Keuangan, kerugian negara akibat rokok ilegal mencapai Rp 7–9 triliun per tahun. Namun dalam konteks yang lebih dalam, kehadiran rokok ilegal sebetulnya menyuarakan kritik diam terhadap sistem perpajakan dan kebijakan fiskal yang terlalu memberatkan.
Salah satu pemicu menjamurnya rokok ilegal adalah naiknya cukai yang tak diimbangi dengan dukungan terhadap industri kecil. Banyak pengusaha rokok rumahan tidak mampu memenuhi persyaratan izin cukai karena biayanya tinggi dan prosedurnya rumit. Akibatnya, mereka memilih “jalan tikus” demi bertahan hidup.
Sementara itu, rokok legal yang bercukai semakin tak terjangkau. Di tahun 2024, harga rokok jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM) golongan I bisa mencapai Rp 40.000 per bungkus. Bandingkan dengan rokok ilegal yang bisa dibeli seharga Rp 10.000–15.000 saja. Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, perbedaan ini sangat berarti. Di sinilah letak ironi terbesar: pemerintah mengklaim pro-rakyat, tapi kebijakannya makin menjauh dari realitas rakyat.
Cukai atau Cukai-Cukian?
Argumen pemerintah soal kesehatan sering dijadikan pembenaran kenaikan cukai. Tapi nyatanya, tidak ada anggaran yang proporsional dari hasil cukai untuk program rehabilitasi perokok atau edukasi jangka panjang. Bahkan, hanya 2% dari total penerimaan cukai yang benar-benar disalurkan ke bidang kesehatan. Sisanya? Masuk ke kantong umum negara.
Artinya, cukai rokok lebih sebagai alat fiskal ketimbang alat kesehatan publik. Bila orientasinya adalah kesehatan, seharusnya ada konsistensi dalam penanganan industri-industri lain yang juga merusak lingkungan dan kesehatan. Tapi kenapa hanya rokok yang terus-menerus ditekan?
Mengapa Rokok Ilegal Lebih Merakyat?
Di tengah tekanan hidup yang meningkat, masyarakat butuh pelarian yang murah. Rokok menjadi salah satunya. Rokok tanpa cukai, karena tak melewati beban administrasi negara, justru lebih cepat beredar, lebih dekat dengan rakyat, dan lebih adaptif terhadap kantong masyarakat.
Lebih dari itu, industri kecil rokok tanpa cukai sering kali membuka lapangan kerja lokal. Di Kudus, Madura, hingga Jember, banyak buruh linting dan petani tembakau menggantungkan hidupnya dari pabrik rokok non-reguler. Mereka tidak bekerja di perusahaan besar, tapi di rumah-rumah produksi kecil. Mereka mungkin ilegal menurut hukum negara, tapi justru legal menurut logika hidup mereka sendiri: makan hari ini atau mati pelan-pelan.
Negara Harus Membuka Mata
Alih-alih hanya menindak dan merazia, sudah saatnya pemerintah membuka mata dan telinga. Jika rokok ilegal menjamur, itu bukan karena rakyat ingin melanggar hukum, tapi karena negara terlalu mahal untuk dijangkau oleh rakyatnya sendiri.
Langkah-langkah reformasi yang bisa dilakukan antara lain:
- Membuka akses legalisasi untuk industri rokok kecil, dengan sistem cukai terjangkau dan pembinaan nyata.
- Menyederhanakan birokrasi izin produksi dan distribusi, agar pelaku usaha kecil tidak terus menjadi target razia.
- Memberi perlindungan kepada petani tembakau, yang selama ini tidak mendapat jaminan harga dan akses pasar.
- Memisahkan kebijakan kesehatan dari kebijakan fiskal, agar rakyat tidak terus dijadikan objek pemerasan ekonomi lewat dalih kesehatan.
Suara Rakyat Tak Selalu Teriakan
Rokok tanpa cukai bukan hanya tentang hukum dan pendapatan negara. Ia adalah suara diam dari rakyat yang lelah dengan janji negara, tapi tak pernah mendapat tempat dalam ruang kebijakan. Dalam banyak kasus, rokok murah justru lebih jujur pada kenyataan: tak perlu kampanye kesehatan yang menggurui, tak perlu iklan patriotik—cukup dengan harga yang bisa dibeli, dan rasa yang bisa menemani hari-hari yang makin sulit.
Negara harus memutuskan: apakah akan terus mengejar pemasukan dengan menindas ekonomi rakyat, atau mulai merumuskan ulang sistem fiskal yang memihak, adaptif, dan berpihak pada pelaku ekonomi kecil?
Sebab tidak ada negara yang sehat jika rakyatnya terus dicekik dalam sunyi.
Ditulis oleh: Lutfillah Ulin Nuha

Sociopreneur | Founder Neptunus Kreativa Publishing
8 Pengikut

Oase Pengetahuan di Tengah Krisis Membaca
3 hari laluBaca Juga
Artikel Terpopuler