Jurnalis Publik Dan Pojok Desa.
Horizon Politique dan La Politique dalam Senyawa Rasionalitas Kolektif
Jumat, 25 Juli 2025 09:25 WIB
***
Konsepsi Jacques Derrida tentang demokrasi to come (à venir) dalam Rogues: Two Essays on Reason (2005) menghadirkan perspektif filosofis yang mendasar tentang temporalitas politik yang tidak pernah sepenuhnya terealisasi. Demokrasi, dalam pandangan Derrida, bukanlah entitas yang dapat dikonseptualisasikan secara final, melainkan struktur keterbukaan yang selalu menunda kedatangannya sendiri.
Ketika dikaitkan dengan distingsi Alain Badiou antara politique sebagai politik sejati yang transformatif dan la politique sebagai praktik politik konvensional dalam Metapolitics (2005), kita menemukan kerangka teoretis yang relevan untuk memahami kompleksitas rasionalitas politik Indonesia.
Dalam konteks ke-Indonesian, horizon to come ini tidak dapat dipisahkan dari proses historis pembentukan subjektivitas kolektif yang berakar pada sintesis kreatif antara universalitas nilai-nilai transformatif dengan partikularitas kultural Nusantara.
Dekonstruksi Temporal dalam Politik Indonesia
Struktur temporal à venir yang dikemukakan Derrida memiliki resonansi khusus dalam konteks sejarah politik Indonesia. Kemerdekaan Indonesia pada 1945 bukan sekadar momen historis yang telah berlalu, melainkan janji (promesse) yang terus-menerus harus diaktualisasikan.
Pancasila, sebagaimana dirumuskan oleh Soekarno, merepresentasikan horizon to come dalam pengertian Derridean. Ia bukan dogma yang tertutup, melainkan prinsip-prinsip yang selalu terbuka untuk interpretasi dan reinterpretasi sesuai dengan dinamika sejarah (Latif, 2011). Konsep Bhinneka Tunggal Ika mengandung struktur paradoksal yang mirip dengan pemikiran Derrida tentang impossible possibility, yakni persatuan yang hanya mungkin melalui pengakuan terhadap perbedaan yang tidak dapat direduksi.
Temporal kemerdekaan Indonesia dengan demikian tidak pernah present-at-hand, melainkan selalu dalam modus kedatangan yang menuntut aktualisasi terus-menerus melalui prkasis politik yang transformatif.
Politique vs La Politique dalam Konteks Organisasi Islam Indonesia
Munculnya organisasi-organisasi Islam modern seperti Nahdlatul Ulama (1926) dan Muhammadiyah (1912) dapat dipahami sebagai manifestasi dari distingsi Badiou antara politique dan la politique. KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy'ari, setelah kepulangan mereka dari tanah suci, tidak sekadar mengimpor praktik keagamaan Arab, melainkan menciptakan subjektivitas Muslim Indonesia yang baru (Feillard dan Madinier, 2011).
Muhammadiyah, dengan penekanannya pada pemurnian akidah dan modernisasi pendidikan, merepresentasikan politique dalam pengertian Badiou, yakni upaya transformasi radikal terhadap struktur sosial eksisting melalui penciptaan subjek-subjek politik baru yang tidak terpetakan dalam konfigurasi kolonial.
NU, dengan pendekatannya yang lebih adaptif terhadap tradisi lokal, juga menunjukkan dimensi politique melalui upayanya mengintegrasikan Islam universal dengan kearifan lokal Nusantara, menciptakan synthesis yang tidak dapat direduksi kepada salah satu komponennya.
Rasionalitas Kolektif sebagai Senyawa Ke-Indonesian
Konsep "senyawa rasionalitas kolektif" dalam konteks ke-Indonesian mengacu pada proses epistemologis yang kompleks di mana berbagai tradisi intelektual - Islam, Jawa, Batak, Minang, dan lain-lain - tidak sekadar berdampingan secara plural, melainkan membentuk synthesis kreatif yang menghasilkan modus rasionalitas baru. Clifford Geertz dalam "The Religion of Java" (1960) telah mengidentifikasi proses sinkretisme ini, meskipun analisisnya perlu dikritisi karena kecenderungannya untuk mengessentialisasi kategori-kategori kultural.
Rasionalitas kolektif ke-Indonesian tidak dapat dipahami sebagai agregasi mekanis dari rasionalitas-rasionalitas partikular, melainkan sebagai emergence dari proses dialogis yang menghasilkan horizon pemahaman baru. Pancasila, dalam konteks ini, bukan sekadar kompromi politik, melainkan representasi dari "aql jama'i" (rasionalitas kolektif) yang memungkinkan artikulasi visi peradaban yang distinktif Indonesia.
Kritik terhadap La Refrein Konflik Primordial
Fenomena kontemporer yang mengulang pola-pola konflik primordial dalam Islam dapat dipahami sebagai bentuk "la refrein" dalam pengertian Deleuzian - pengulangan diferensial yang justru menghalangi kemungkinan transformasi (Deleuze dan Guattari, 1980). Diskursus yang membongkar nilai-nilai Islam sebagai sumber identik Indonesia sering kali terjebak dalam logika "la politique" - mobilisasi identitas untuk kepentingan elektoral jangka pendek tanpa visi transformatif jangka panjang. Pengulangan kisah perselisihan kabilah-kabilah Arab dalam konteks Indonesia merupakan anachronisme yang kontraproduktif, karena mengimpor konflik yang secara historis dan kultural tidak relevan dengan realitas Indonesia. Islam Indonesia, sebagaimana diartikulasikan oleh para founding fathers seperti KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy'ari, justru merepresentasikan kemungkinan aktualisasi Islam sebagai "rahmat li'l-'alamin" yang tidak terikat pada partikularitas kultural Arab.
Implikasi untuk Demokrasi Indonesia Kontemporer
Dalam konteks demokrasi Indonesia kontemporer, aplikasi kerangka teoretis Derrida dan Badiou menuntut rekonseptualisasi fundamental terhadap praksis politik. Demokrasi Indonesia tidak dapat dipahami sebagai mekanisme prosedural belaka (la politique), melainkan harus diaktualisasikan sebagai horizon transformatif (politique) yang memungkinkan emergence subjektivitas kolektif yang genuinely Indonesian. Hal ini memerlukan apa yang dapat disebut sebagai "ijtihad peradaban" - upaya kreatif untuk mengaktualisasikan potensi-potensi transformatif yang terkandung dalam tradisi-tradisi intelektual Indonesia tanpa terjebak dalam fundamentalisme atau relativisme kultural.
Organisasi-organisasi seperti NU dan Muhammadiyah, dalam visi aslinya, merepresentasikan kemungkinan ini - Islam sebagai "civilizing force" yang memungkinkan transformasi sosial tanpa kehilangan akar spiritual.
Horizon to come dalam konteks Indonesia bukanlah utopia yang tidak dapat dicapai, melainkan struktur temporal yang memungkinkan transformasi terus-menerus melalui aktualisasi potensi-potensi yang terkandung dalam senyawa rasionalitas kolektif ke-Indonesian. Distingsi antara politique dan la politique membantu kita memahami bahwa politik sejati dalam konteks Indonesia tidak dapat direduksi kepada mekanisme elektoral atau administratif, melainkan harus diaktualisasikan sebagai proses transformasi kolektif yang mengintegrasikan berbagai tradisi intelektual dalam synthesis yang kreatif.
Tantangan utama bagi demokrasi Indonesia kontemporer adalah bagaimana menghindarkan diri dari "la refrein" konflik primordial yang anakronistik sambil tetap mempertahankan keautentikan kultural yang distinktif. Dalam konteks ini, warisan intelektual para pendiri organisasi Islam modern Indonesia seperti KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy'ari tetap relevan sebagai sumber inspirasi untuk aktualisasi Islam Indonesia sebagai "politique" yang transformatif dan membebaskan.
Referensi
Badiou, A. (2005). Metapolitics. London: Verso.
Deleuze, G., & Guattari, F. (1980). Mille Plateaux. Paris: Les Éditions de Minuit.
Derrida, J. (2005). Rogues: Two Essays on Reason. Stanford: Stanford University Press.
Feillard, A., & Madinier, R. (2011). The End of Innocence? Indonesian Islam and the Temptations of Radicalism. Honolulu: University of Hawaii Press.
Geertz, C. (1960). The Religion of Java. Chicago: University of Chicago Press.
Latif, Y. (2011). Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Penulis Indonesiana
2 Pengikut

Parau
Senin, 1 September 2025 14:51 WIB
Mahmudat Ikhwanat Dipanggil Hamidah, Sebuah Anekdot Linguistik
Senin, 1 September 2025 14:50 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler