Tidak Jauh Berbeda Dari Manusia Bumi Lainnya

Angin dari Sayap yang Terluka

Sabtu, 26 Juli 2025 06:18 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Hutan Cemara
Iklan

Di balik bisikan senja, tersembunyi kebenaran yang tak sempat diumumkan. Diam bahasa terakhir bagi mereka yang tak lagi percaya pada suara

Nafas langit sore itu begitu hangat, menerpa dari timur ujung mata. Di pinggiran pantai, tempat manusia biasa menghabiskan perasaan dan menegaskan bisikan relung hati, kini hanya tersisa jejak. Sejak tak ada lagi manusia, sisi timur Pantai Kahuripan kembali menjadi tempat favorit bagi para binatang. Laut yang mulai dangkal menandakan bahwa musim kemarau telah tiba.

Seiring waktu, pasar dadakan pun dimulai. Disediakan tempat nyaman untuk anak-anak bermain, para ibu berbelanja, dan para ayah berdiskusi sambil menggoda. Di antara mereka, tampak "Migeriming", seekor kuda putih bersayap, penjaga warung kopi yang cantik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Seandainya aku kenal kau lebih dulu, tentu sudah kupilih kau," ucap seekor kuda merah berponi hitam sambil tertawa.

"Eh, tunggu dulu, masih ada aku yang bujang!" sanggah seekor kijang.

"Kamu punya apa? Tempat tinggalmu saja masih di hutan belantara," sindir gagak.

"Jangan begitu lah. Katanya kau pengirim kabar, kok tidak tahu hal yang seremeh ini? Di sana, Adipati Sorok dapat program bagus dari raja. Hewan yang rumahnya tak layak dapat bantuan dari kerajaan."

Gagak terdiam, menunduk. Bukan karena menyimak, tetapi menyembunyikan pengetahuannya.

"Iya betul itu, Mas,"

ucap Migeriming dengan nada kesal.

"Di rumahku memang ada bantuan dari kerajaan, tapi sekarang sedang diperiksa. Soalnya banyak potongannya, dan yang dapat malah hewan-hewan kaya."

Semua mata tertuju penuh heran dan ingin tahu lebih lanjut.

"Padahal Kadipaten Sorok bukan kadipaten miskin. Tanahnya subur, air dan minyak untuk menyalakan lampu sudah banyak dikeruk. Tapi hewan-hewan di sana masih jauh dari sejahtera. Ribuan rumah, tahu, Mas!"

Mereka serempak menggeleng, tak tahu harus berkata apa.

"Benar-benar bajingan,"

gumam seekor anjing hutan.

"Katanya Musang sudah ditangkap. Ia ketua program bantuan itu. Baru-baru ini ia 'ngijhung'. Ada kalangan gagak juga yang menerima uang untuk menutup kabar. Yang mengejutkan, salah satu bawahan Adipati datang meminta bagian. Si Buaya dan Kadal, katanya disuruh Adipati."

Semua terdiam, sesekali melirik sinis ke arah Gagak.

"Iya iya, jangan melirikku begitu. Tak semua gagak sama. Memang sebagian dapat bagian, tapi aku benar-benar tak tahu soal itu,"

ucap Gagak, merasa jadi sorotan.

"Benar apa kata Gagak,"

sambung Tupai.

"Ia tak bersalah. Soal menutupi kaumnya, itu haknya, meski tak elok bagi penyampai kabar."

Beberapa hewan mengangguk menyetujui.

"Kemarin Adipati dipanggil Menteri. Persoalan ini akan ditindak tegas. Menteri menemukan banyak kecurangan: rumah-rumah mewah yang mendapat bantuan, nota palsu, hingga pembayaran bantuan oleh Demang,"lanjut Gagak lirih.

"Tidak usah takut atau malu,"

Tupai mengelus lembut sayap Gagak.

"Jika kau menyampaikan kabar, para hewan akan tahu bahwa tak semua gagak seperti itu. Semoga saja cerita ini salah."

"Di sana itu rumit. Para Demang bermain api dengan petinggi kadipaten. Kalian tahu sendiri, di mana ada bawahan tanpa arahan?"

Riuh mulai terdengar. Umpatan dan kata-kata kasar memenuhi udara warung kopi. Di antara keributan, satu kalimat terus terulang di seantero hutan:

"Kapan Kahuripan maju?"

Migeriming tidak dapat menerima kenyataan. Kelembutan hatinya berubah menjadi amarah. Ia mengepakkan sayapnya, menciptakan hembusan angin keras, lalu berteriak.

 "Diam semuanya! Gagak, ceritakan padaku tentang Paman Adipati!"

Semua mata tertuju pada Gagak, penuh tanya. Ada apa dengan Paman Adipati, hingga membuat sang kuda lembut begitu murka?

 "Dia..."

Gagak bicara dengan hati-hati.

Namun, sebelum ia melanjutkan, terdengar suara anak kecil memanggil.

 "Ayo bapak, pulang."

Gagak pun terbang, meninggalkan senja yang mendung dan kebingungan yang menggantung. Satu per satu binatang pergi, menyisakan Migeriming yang larut dalam rindu akan kampung halamannya, Kadipaten Sorok.

Dengan langkah terbata sebagai pengembara, syair Tupai menggema pelan.

Senja ini sudah berulang kali karam,

Dan malam selalu menyebutkan mimpi nan indah,

Namun kita tetap sama,

Menanti waktu merubah segalanya.

 

 

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Amirul M

Penulis Indonesiana

2 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

Lihat semua