Fenomena Bendera One Peace: yang Dilarang Berkibar Adalah Kesadaran
Rabu, 6 Agustus 2025 07:59 WIB
Ketika bendera bajak laut lebih jujur dari slogan kemerdekaan, rakyat kecewa, negara panik, dan simbol jadi medan perlawanan baru.
Menjelang peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia, sebuah fenomena yang tampaknya remeh di permukaan justru menyedot atensi publik: pengibaran bendera bajak laut One Piece, Jolly Roger, di berbagai rumah dan kendaraan masyarakat. Diunggah pertama kali oleh beberapa warganet di media sosial, bendera bergambar tengkorak dan tulang bersilang itu sontak menjadi simbol perlawanan baru. Bukan terhadap negara, tapi terhadap stagnasi, ketimpangan, dan kekosongan makna dari kata "merdeka" yang kini lebih sering digaungkan di panggung seremonial daripada diwujudkan dalam kehidupan nyata.
Pemerintah pun bereaksi cepat. Sejumlah pejabat mengecam tindakan tersebut sebagai bentuk penghinaan terhadap simbol negara. Ada yang bahkan mengancam akan menindak secara hukum para pengibar bendera bajak laut ini dengan dalih menjaga martabat nasional. Namun, publik dengan cepat membalikkan logika itu: di mana negara saat rakyat kelaparan? Mengapa negara lebih cepat merespons selembar kain bergambar tengkorak ketimbang laporan korupsi, kemiskinan struktural, atau kekerasan aparat?
Fenomena ini tentu tidak berdiri di ruang hampa. Ia muncul sebagai manifestasi dari kontradiksi-kontradiksi sosial yang selama ini ditumpuk di bawah permukaan. Simbol bajak laut dari serial anime Jepang ini, yang dalam narasi fiksinya memperjuangkan kebebasan dari tirani dunia fasis, kini direklamasi oleh rakyat Indonesia sebagai lambang kritik terhadap oligarki, birokrasi tumpul, dan elite yang abai. Ironis, bahwa justru bendera dari dunia fiksi mampu mewakili perasaan kolektif yang tidak tertampung dalam partai politik atau institusi resmi.
Hal ini memperlihatkan betapa jauhnya jarak antara negara dengan rakyat. Kita menyaksikan sebuah negara yang cepat bereaksi terhadap hal-hal simbolik, tetapi lamban dan bahkan bungkam terhadap substansi penderitaan warga. Pemerintah yang alergi terhadap ekspresi rakyat, betapapun nyelenehnya, sesungguhnya sedang mengungkapkan wajah aslinya: otoritarianisme yang membungkus diri dengan jargon demokrasi prosedural. Dalam sistem seperti itu, rakyat tidak diharapkan untuk berpikir, hanya diminta memilih setiap lima tahun dan kemudian diam.
Tapi rakyat tidak diam. Melalui bendera Jolly Roger, mereka bersuara dengan cara yang tidak konvensional, tidak normatif, dan mungkin tidak nyaman bagi para penguasa. Di sinilah letak keberanian aksi ini: ia mengguncang stabilitas semu. Ia menunjukkan bahwa rakyat masih punya imajinasi politik, bahwa mereka tidak harus tunduk pada definisi-definisi usang tentang nasionalisme. Bahwa mereka berani berkata: kami tidak sedang menghina negara, kami sedang memanggil kembali jiwa kemerdekaan yang telah dicuri oleh kekuasaan.
Perlu kita ingat, bahwa sepanjang sejarah, simbol adalah senjata bagi yang tak punya kekuasaan. Dari bendera merah revolusi hingga poster Che Guevara, rakyat kecil menggunakan simbol sebagai cara bertahan dan melawan. Ketika partai-partai politik juga sibuk mencetak bendera dan baliho demi elektabilitas, rakyat menciptakan simbol perlawanan baru. Mereka tidak butuh lembaga, mereka hanya butuh pengakuan bahwa hidup mereka penting. Dan ketika negara tidak memberi ruang bagi ekspresi itu, maka ekspresi akan mencari jalannya sendiri, melampaui kanal-kanal formal, hingga ke jendela rumah dan kaca mobil.
Lucunya, negara tidak marah ketika bendera partai dikibarkan di mana-mana. Jalanan dipenuhi spanduk tokoh politik, ruang publik dikapling untuk kampanye, anak-anak dicekoki slogan partai tanpa paham isinya. Namun negara tiba-tiba marah ketika rakyat mengibarkan bendera bajak laut. Ini bukan soal estetika atau kesopanan, ini soal siapa yang berhak menyatakan simbol. Negara mengklaim monopoli atas makna, sementara rakyat justru berusaha merebut kembali ruang simbolik itu.
Dalam konteks ini, kita sedang melihat sebuah benturan antara dua kelas: penguasa yang mempertahankan hegemoni simboliknya, dan rakyat yang mencoba membongkar itu dengan humor, ironi, dan kreativitas. Bendera One Piece bukan sekadar kain. Ia adalah peluru ideologis. Dan seperti semua bentuk seni perlawanan, ia lebih ampuh dari pidato menteri.
Pelarangan simbol ini justru memperkuat tesis bahwa negara merasa terancam oleh bentuk-bentuk ekspresi rakyat. Bukannya berdialog atau memahami, pemerintah memilih jalan represi. Ini menunjukkan bahwa negara tidak sedang merayakan kemerdekaan, tetapi sedang mempertahankan kekuasaan. Padahal, bukankah inti kemerdekaan adalah keberanian untuk berbeda? Jika rakyat dilarang menunjukkan ekspresi kecewa, lalu apa gunanya kemerdekaan?
Kita bisa belajar dari sejarah. Setiap simbol perlawanan awalnya dianggap remeh, lalu ditertawakan, lalu dilarang, lalu ditakuti. Dari situasi ini kita bisa melihat gejala krisis kepercayaan yang kian dalam antara rakyat dan pemerintah. Dan seperti semua krisis, ini bukan soal moral individu, tapi soal struktur yang timpang. Negara yang terus membiarkan jurang antara janji dan kenyataan, antara slogan dan kenyataan hidup, akan terus dilawan, dengan atau tanpa bendera bajak laut.
Di media sosial, gelombang solidaritas muncul. Rakyat saling menyemangati, berbagi cerita, bahkan menjadikan Jolly Roger sebagai avatar profil mereka. Ini bukan sekadar fandom. Ini adalah ruang di mana rakyat merasa lebih didengar ketimbang di parlemen. Negara harus mulai belajar: suara rakyat hari ini tidak lagi bergema di mimbar resmi, tapi di timeline dan komentar-komentar yang sering mereka anggap sepele.
Demokrasi seharusnya menjamin kebebasan ekspresi, terutama ekspresi yang berbeda, nyeleneh, atau bahkan mengejutkan. Karena dari sanalah lahir dinamika berpikir dan kemajuan budaya politik. Negara yang menekan ekspresi simbolik hanya akan menghasilkan stagnasi, ketakutan, dan apatisme. Dan rakyat yang takut, bukanlah rakyat yang merdeka.
Kita tidak sedang membela bajak laut. Kita sedang membela hak rakyat untuk kecewa. Untuk marah. Untuk menyindir. Karena dalam demokrasi, semua itu bukan kejahatan, melainkan tanda bahwa rakyat masih peduli.
Maka ketika Jolly Roger berkibar di bulan Agustus ini, jangan buru-buru menghapusnya. Dengarkan dulu apa yang ingin dikatakan rakyat melalui kain itu. Mungkin, justru di sanalah semangat kemerdekaan yang sesungguhnya sedang bersemayam.

Penulis
3 Pengikut

Fenomena Bendera One Peace: yang Dilarang Berkibar Adalah Kesadaran
Rabu, 6 Agustus 2025 07:59 WIB
Sejarah Milik Siapa? Menolak Distorsi dan Pengingkaran Negara
Kamis, 19 Juni 2025 21:51 WIBArtikel Terpopuler