Tidak Jauh Berbeda Dari Manusia Bumi Lainnya

Dewata Pernah Bermimpi, Tapi Kami Masih Lapar

Rabu, 6 Agustus 2025 17:02 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Pantai Teluk Buton
Iklan

Pesta Sorok gemerlap, rakyat menari, namun di balik cahaya, suara kebenaran terkubur dalam gelap dan tanya tanpa jawaban.

Angin malam menyapu pelan, mengaduk rasa yang tertahan dalam detak-detakan hati yang terpukul. Meski hari telah petang, tanah masih menyimpan hangat sisa terik siang, terasa hingga ke bibir pantai. Di sana, kerak lumut mengering karena kemarau baru saja dimulai. Pemandangan ini tak jauh berbeda dengan tanah Kahuripan wilayah luas yang kaya akan warisan sejarah.

Konon, sebelum menjadi satu daratan, tanah ini terdiri dari beberapa pulau kecil yang kemudian menyatu karena mimpi para Dewata. Beberapa resi bahkan percaya bahwa tanah Kahuripan adalah serpihan surga yang tertinggal di dunia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di ujung timur Kahuripan, terdapat sebuah kadipaten terpencil bernama Sorok. Daerah ini terkenal dengan tradisi jamuan rakyat dan hiburan yang meriah. Setiap beberapa waktu, Adipati Sorok menggelar pesta besar. Tarian memabukkan, iringan kendang, dan hewan-hewan jinak seperti marmut, kelinci, hingga rusa menari di alun-alun kota.

Adipati duduk di tengah para punggawa, menikmati alunan musik sambil mengangguk-angguk. Sorok bersinar terang malam itu, dengan lampu "colok" dari batang bambu menyala menerangi tanah lapang yang dipadati pengunjung.

Di barat, para bangsawan memamerkan perhiasan emas dan perak. Di tengah, rakyat jelata menari penuh gairah dengan pakaian sederhana. Sedangkan di timur, beberapa kelompok berdiri dalam gelap, menyilangkan tangan, menyaksikan dari kejauhan. Mereka tidak diwajibkan hadir, namun secara tak langsung dipaksa mengakui perhatian sang Adipati terhadap kesenian dan kebahagiaan rakyatnya, walaupun kenyataannya mereka masih hidup dalam kemiskinan dan pembangunan justru tertinggal dibanding kadipaten lain.

Di atas pentas, penari menggoda, menari dengan lincah sambil melilitkan selendang ke leher seekor biawak. Ia menggoyangkan pinggulnya dengan percaya diri, membuat Adipati tertawa lepas. Ia menoleh kepada panitia acara dan berkata "Lihatlah, mereka semua bahagia. Inilah seharusnya wajah Kadipaten Sorok, menjunjung tinggi tradisi masa lalu. Satu bulan lagi, kita akan adakan acara besar untuk merayakan hari penyatuan tanah Kahuripan!" 

Ketua panitia tersenyum mendengar ucapan itu. "Enggeh, Tuan. Kami siap menjalankan perintah kembali." Adipati mengangguk-angguk sambil mengingatkan, "Jangan lupa kewajibanmu juga." Panitia menjawab cepat, "Sudah kami serahkan kepada permaisuri, separuh dari dana anggaran acara ini." Adipati tertawa puas, "Bagus! Ini yang namanya sama-sama untung, rakyat senang kita pun untung."

Namun tawa mereka hilang tertelan suara gamelan dan tepuk tangan penonton. Yang tampak di luar hanyalah gemerlap pesta dan pinggul yang menari riang.

Di sisi lain, di ujung timur yang tak tersentuh cahaya colok, sekelompok hewan dari berbagai latar belakang berkumpul dalam kesunyian. Mereka memandang pesta dengan getir. "Kenapa lebih mementingkan pesta? Sedangkan esok pun tak semua dari kita bisa makan," keluh seekor kambing.

"Apa yang bisa kita perbuat?" tanya yang lain. Burung puyuh menimpali "Gagak, kau penyebar kabar. Kabarkan pada semua bahwa rakyat telah ditipu oleh Adipati."

Gagak menatap mereka dengan mata yang sarat beban, "Kalian tak mengerti. Teman-temanku sudah disandera. Apa gunanya suara jika orang-orang masih menikmati manisnya pesta?" Mereka terdiam. Satu suara kebenaran tak mampu menandingi puluhan kabar baik palsu. Gagak melanjutkan, "Tidak hanya kawanku yang ditahan. Lihatlah mereka yang menari, mereka tahu pesta ini mahal, tapi tetap tersenyum. Mereka lupa penderitaannya. Lalu, kalian ingin menyadarkan?"

Suara gamelan terus berdentum, mengiringi renungan mereka yang sunyi. "Aku pun bingung di mana posisiku. Temanku bersuara hanya saat tak dapat bagian. Kalian rakyat tahu soal itu. Lalu, mana suara kebenaran?"

Pertanyaan itu seperti duri menusuk kesadaran mereka. "Mungkin kita bisa tanya pada Katak Resi, penasihat Adipati," ucap salah satu. Semua mengangguk, tapi Gagak menyambung, "Apa dia suara Tuhan? Surau tempatnya mengajar telah dimanja dan dihadiahi Adipati. Jangankan menasihati, kepentingan dunianya pun belum selesai."

Mereka hanya bisa memandangi rakyat yang menari dalam sukacita di tengah alun-alun, sementara cahaya colok di tempat mereka kian meredup, diterpa angin keputusasaan. Tak jelas, apakah cahaya itu akan padam selamanya, atau justru berubah menjadi api harapan yang membakar seluruh kadipaten.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Amirul M

Penulis Indonesiana

2 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

Lihat semua