Jurnalis Publik Dan Pojok Desa.

DIM Menciptakan Pembentukan Hukum yang Abu-abu

Sabtu, 16 Agustus 2025 06:39 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Mahatva.id Wamenkum Edward Hiariej dan Haris Azhar Debat Terbuka RUU KUHAP di Yogyakarta: Advokat Wajib Dampingi Sejak Penyelidikan - Kreatif, Aktual dan Terpercaya
Iklan

Daftar Inventarisir Masalah (DIM) mengambang dalam ketidakjelasan status hukum, menciptakan celah dalam demokrasi partisipatif Indonesia.

 geotimes Ahmad Wansa Al-faiz, Pengarang GEOTIMES

Oleh : Ahmad Wansa Al-faiz

 

Dalam ruang-ruang diskusi para praktisi hukum, sebuah akronim sederhana namun kontroversial kerap muncul: DIM. Daftar Inventarisir Masalah ini, meski terdengar teknis dan birokratis, sejatinya menyimpan problematika fundamental dalam sistem perundang-undangan Indonesia. Bagaimana mungkin sebuah dokumen yang memiliki pengaruh signifikan dalam pembentukan undang-undang justru tidak memiliki status hukum yang jelas?

 Editor.id Debat Panas Eddy Hiariej vs Haris Azhar Bahas RJ & Judicial Scrutiny di RUU KUHAP - Editor.id

Hantu di Mesin Legislasi

 lawnow.org · Terjemahan Hantu” dalam KUHP - Majalah LawNow

Bayangkan Anda sedang mencoba memahami bagaimana sebuah undang-undang lahir. Anda akan menemukan berbagai tahapan formal: pembahasan di komisi, rapat paripurna, harmonisasi dengan kementerian terkait. Namun, di antara tahapan-tahapan itu, bersembunyi sebuah dokumen yang fungsinya vital namun statusnya misterius: DIM.

Haris Azhar, pegiat transparansi hukum yang vokal mengkritisi persoalan ini, menggambarkan DIM sebagai "bukan dokumen legal" yang paradoksnya memiliki "pengaruh substansial." Analoginya sederhana namun menohok: DIM adalah seperti hantu di mesin legislasi—tidak terlihat dalam struktur formal, tetapi pengaruhnya sangat nyata.

Ketidakjelasan ini bukan sekadar persoalan teknis administratif. Ia mencerminkan masalah yang lebih dalam: bagaimana mungkin masyarakat dapat berpartisipasi secara bermakna dalam proses legislasi jika dokumen-dokumen kunci tidak memiliki status yang jelas? Bagaimana kita bisa menuntut akuntabilitas jika instrumen yang digunakan dalam pembuatan hukum berada dalam zona abu-abu?

Dua Kubu, Satu Persoalan

Perdebatan tentang DIM memunculkan dua perspektif yang menarik dari para ahli hukum terkemuka. Di satu sisi, Haris Azhar mengembangkan kritik yang berakar pada tradisi socio-legal studies. Baginya, persoalan DIM tidak dapat dipisahkan dari konteks politik dan sosial yang lebih luas. Ketidakjelasan status DIM adalah manifestasi dari sistem hukum yang masih berkarakter elitis dan tidak partisipatif.

Azhar memperkenalkan konsep "habit of law"—kebiasaan dalam sistem hukum yang membuat instrumen-instrumen informal seperti DIM memiliki kekuatan de facto meskipun tidak memiliki legitimasi de jure. Ini adalah bentuk "behaviorisme hukum" yang khas Indonesia: hukum yang berfungsi berdasarkan kebiasaan dan pola perilaku, bukan semata-mata berdasarkan aturan tertulis.

Di sisi lain, Prof. Edy OS Hiariej, pakar hukum pidana yang dikenal dengan pendekatan formalis-prosedural, menekankan aspek kepastian hukum. Bagi Hiariej, ketidakjelasan status DIM berpotensi mengancam prinsip rule of law yang menjadi fondasi negara hukum. Setiap instrumen yang digunakan dalam proses legislasi harus memiliki kedudukan yang jelas dalam hierarki norma.

Perbedaan pendekatan ini mencerminkan tensasi klasik dalam teori hukum: antara fleksibilitas yang responsif terhadap perubahan sosial dengan stabilitas yang menjamin kepastian hukum. Azhar lebih menekankan adaptabilitas dan partisipasi, sementara Hiariej mengutamakan konsistensi dan prediktabilitas.

Dinamika Hukum: Statis atau Responsif?

Pertanyaan yang menggelitik muncul: apakah produk hukum yang telah disahkan masih dapat berubah sebagai respons terhadap dinamika sosial? Dalam konteks DIM, persoalan ini menjadi kompleks karena tidak ada mekanisme jelas untuk menentukan kapan dan bagaimana perubahan dapat dilakukan.

Azhar berargumen bahwa hukum harus mampu merespons perubahan sosial melalui apa yang ia sebut "living law interpretation." Hukum yang tidak responsif terhadap dinamika masyarakat akan menjadi fosil yang kehilangan relevansinya. DIM, dalam pandangan ini, bisa menjadi instrumen untuk menjaga agar hukum tetap hidup dan adaptif.

Namun Hiariej mengingatkan bahwa stabilitas hukum juga penting. Perubahan yang terlalu sering atau tidak terprediksi dapat mengancam kepastian hukum yang menjadi hak dasar masyarakat. Bagi praktisi dan masyarakat, hukum harus dapat diprediksi konsekuensinya.

Perdebatan ini mengingatkan pada konsep "responsive law" yang dikembangkan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick: sistem hukum yang ideal adalah yang mampu menyeimbangkan antara stabilitas dengan kemampuan beradaptasi.

Partisipasi yang Bermakna atau Sekedar Formalitas?

Salah satu aspek paling krusial dari problematika DIM adalah dampaknya terhadap partisipasi publik. Konsep "meaningful participation" yang dikemukakan Azhar mengacu pada partisipasi yang tidak sekedar formalitas, tetapi benar-benar memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mempengaruhi hasil.

Ketika status DIM tidak jelas, bagaimana masyarakat bisa memberikan input yang efektif? Bagaimana organisasi masyarakat sipil bisa mengadvokasi perubahan terhadap dokumen yang posisinya tidak pasti dalam proses legislasi?

Persoalan ini mengungkap kontinuitas pola otoritarian dalam era demokratis. Meski Indonesia telah mengalami reformasi dan demokratisasi, pola-pola elitis dalam pembuatan kebijakan masih mengakar kuat. Proses legislasi masih cenderung bersifat top-down dengan partisipasi publik yang lebih bersifat ritualistik daripada substantif.

Azhar mengkritik fenomena ini sebagai "participatory theater"—sandiwara partisipasi yang memberikan kesan demokratis tanpa memberikan pengaruh nyata kepada masyarakat. DIM menjadi salah satu instrumen yang melanggengkan pola ini karena ketidakjelasannya membuat masyarakat sulit untuk terlibat secara efektif.

Behaviorisme Hukum dan Konstruksi Sosial

Konsep "behaviorisme of law construction" yang berkembang dalam diskursus hukum Indonesia menawarkan perspektif yang menarik untuk memahami fenomena DIM. Pendekatan ini melihat hukum tidak hanya sebagai sekumpulan aturan tertulis, tetapi sebagai konstruksi sosial yang dibentuk melalui interaksi antara norma formal dan praktik sosial.

Dalam konteks DIM, behaviorisme hukum menjelaskan mengapa instrumen ini bisa memiliki pengaruh signifikan meskipun status formalnya tidak jelas. Ada pola-pola perilaku yang terlembagakan dalam sistem hukum Indonesia yang membuat DIM berfungsi dalam praktik.

Namun, pola perilaku ini juga menciptakan masalah. Ketika sistem hukum terlalu bergantung pada "institutional habits" dan pola-pola informal, akuntabilitas dan transparansi menjadi terancam. Masyarakat tidak bisa menuntut pertanggungjawaban atas sesuatu yang tidak memiliki status formal yang jelas.

Ke Arah Reformasi Sistemik

Solusi terhadap problematika DIM memerlukan reformasi yang komprehensif. Tidak cukup hanya dengan memberikan status formal kepada DIM, tetapi perlu perubahan mendasar dalam cara kita memahami dan mengelola proses legislasi.

Pertama, diperlukan klarifikasi status hukum yang jelas bagi semua instrumen yang digunakan dalam proses legislasi. Hierarki norma harus diperjelas sehingga masyarakat bisa memahami kedudukan dan fungsi setiap dokumen.

Kedua, perlu pengembangan sistem informasi publik yang memungkinkan akses masyarakat terhadap semua dokumen yang relevan dalam proses legislasi. Transparansi tidak hanya soal mempublikasikan dokumen final, tetapi juga memberikan akses kepada proses dan pertimbangan-pertimbangan yang melatarbelakanginya.

Ketiga, diperlukan penguatan kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi secara efektif dalam proses legislasi. Literasi hukum dan kemampuan analisis hukum masyarakat perlu ditingkatkan agar partisipasi tidak hanya bersifat emosional tetapi juga substantif.

Pelajaran untuk Demokrasi Indonesia

Kasus DIM memberikan pelajaran penting tentang kualitas demokrasi Indonesia. Demokrasi tidak hanya soal pemilihan umum yang bebas dan fair, tetapi juga soal proses pembuatan kebijakan yang transparan dan partisipatif.

Ketidakjelasan status DIM mencerminkan masalah yang lebih luas: sistem hukum Indonesia masih dalam proses transisi dari pola otoritarian menuju demokratis. Reformasi kelembagaan masih belum tuntas, dan masih ada ruang-ruang abu-abu yang memungkinkan praktik-praktik tidak transparan.

Namun, perdebatan tentang DIM juga menunjukkan dinamika positif. Semakin banyak akademisi, praktisi, dan aktivis yang mengkritisi dan mendorong reformasi sistem hukum. Kesadaran akan pentingnya transparansi dan partisipasi dalam proses legislasi semakin menguat.

Masa Depan yang Lebih Transparan

Ke depan, Indonesia memerlukan sistem hukum yang tidak hanya demokratis secara formal tetapi juga substantif. Sistem yang memberikan ruang nyata bagi partisipasi masyarakat dan menjamin akuntabilitas dalam setiap proses pembuatan kebijakan.

Problematika DIM mungkin terlihat teknis dan birokratis, tetapi ia menyimpan pertanyaan fundamental tentang karakter sistem hukum Indonesia. Apakah kita akan memilih untuk mempertahankan pola-pola lama yang elitis dan tidak transparan, atau bergerak menuju sistem yang benar-benar demokratis dan partisipatif?

Jawaban atas pertanyaan ini tidak hanya menentukan masa depan sistem hukum Indonesia, tetapi juga kualitas demokrasi kita secara keseluruhan. Transparansi dalam proses legislasi adalah salah satu indikator penting dari kesehatan demokrasi.

DIM mungkin hanya satu contoh kecil dari persoalan yang lebih besar. Namun, cara kita menangani persoalan ini akan menentukan arah perkembangan sistem hukum Indonesia di masa depan. Akankah kita terus hidup dengan zona-zona abu-abu yang menguntungkan elite, atau bergerak menuju sistem yang benar-benar transparan dan akuntabel?

Pilihan ada di tangan kita semua—tidak hanya para pembuat kebijakan, tetapi juga masyarakat yang harus terus menuntut transparansi dan akuntabilitas dalam setiap proses pembuatan hukum dan kebijakan public.


Penulis adalah peneliti hukum dan kebijakan publik. Artikel ini ditulis berdasarkan analisis terhadap berbagai diskusi dan publikasi tentang problematika sistem perundang-undangan Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagikan Artikel Ini
img-content
Kontributor Pojok Desa

Penulis Indonesiana

2 Pengikut

img-content

Parau

Senin, 1 September 2025 14:51 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler