Mari sama sama lampaui keterbatasan manusia sebagai makhluk sosial yang nisbi, yakinlah bahwa semenyerah apapun kita tuhan tidak pernah menyerah untuk kita.
Dari Dana Haji ke Meja Korupsi, Agama Sekalipun Berani Mereka Kotori
10 jam lalu
Menolak keras segala bentuk korupsi dalam pengelolaan ibadah haji, Mari bersama mengawal kasus ini hingga tuntas.
Oleh: Fikhar Nur Ramadhan, Mahasiswa Manajemen Haji dan Umroh UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Kesakralan ibadah haji tercoreng oleh mencuatnya dugaan korupsi kuota haji 2024 yang menyeret nama mantan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas. Kasus ini bukan hanya soal pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan moral terhadap jutaan umat islam Indonesia yang menanti dengan sabar kesempatan menunaikan ibadah ke tanah suci.
Penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Panitia Khusus DPR menemukan adanya manipulasi distribusi kuota tambahan dari Kerajaan Arab Saudi. Ketentuan yang seharusnya 92% untuk jamaah reguler dan hanya 8% untuk jamaah khusus, justru dibagi rata secara tidak sah. Akibatnya, antrean panjang jamaah reguler makin terabaikan, sementara pihak tertentu menikmati jalur kilat dengan cara transaksional. KPK bahkan telah menyita aset senilai puluhan miliar rupiah, termasuk uang tunai, kendaraan, dan properti, serta mencegah Gus Yaqut bepergian ke luar negeri.
Kasus ini memperlihatkan betapa rapuhnya tata kelola haji kita. Padahal, menurut prinsip good governance (Dwiyanto, 2006), pengelolaan pelayanan publik harus menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan keadilan. Ketika prinsip itu diabaikan, korupsi tumbuh subur dan kepercayaan masyarakat hancur. Lebih jauh, korupsi dalam sektor ibadah adalah “dosa ganda”: melanggar hukum positif sekaligus merampas hak spiritual orang lain.
Korupsi haji 2024 harus ditempatkan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime). Bukan hanya karena nilai materinya besar, tetapi karena dampak sosial dan moralnya yang menghancurkan. Seperti dikatakan Quraish Shihab, ibadah adalah ruang sakral yang tak boleh dikotori oleh kepentingan duniawi. Maka, praktik memperjualbelikan kuota haji adalah penghinaan terhadap agama itu sendiri.
Di tengah kasus ini, publik menuntut dua hal: penegakan hukum tanpa pandang bulu dan reformasi tata kelola haji. KPK harus menuntaskan penyidikan secara transparan, memastikan semua pihak yang terlibat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Di sisi lain, sistem distribusi kuota perlu didigitalisasi dan diawasi oleh lembaga independen yang melibatkan ormas Islam, akademisi, serta masyarakat sipil. Tanpa pengawasan publik, kasus serupa akan terus berulang.
Korupsi haji 2024 memberi pelajaran pahit bahwa kesucian ibadah bisa ternodai oleh kerakusan segelintir elit. Namun, dari kasus ini pula kita bisa meneguhkan tekad: bahwa ibadah haji harus kembali pada hakikatnya, bersih, suci, dan adil bagi semua umat. Haji tidak boleh menjadi komoditas. Hak jamaah tidak boleh diperdagangkan. Dan negara, melalui aparat hukumnya, wajib memastikan ibadah umat Islam ini bebas dari tangan-tangan kotor.

Penulis Indonesiana
1 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler