Di era digital yang semakin kompleks, bagaimana kita mengelola dan mengintegrasikan informasi menjadi tantangan yang fundamental. EDAS (Eksternal Detection Akumulatif Strategic) muncul sebagai metodologi revolutionary yang mengubah cara kita memahami pengembangan informasi data dalam jaringan integral. Metodologi ini tidak hanya berkaitan dengan teknologi, melainkan juga dengan bagaimana struktur matematika mempengaruhi sistem bahasa dan komunikasi manusia. EDAS beroperasi melalui prinsip-prinsip yang sederhana namun powerful. Eksternal Detection memungkinkan sistem untuk mengidentifikasi pola-pola informasi dari luar sistem yang sedang dianalisis, menciptakan objektivity yang necessary untuk accurate assessment. Komponen Akumulatif memastikan bahwa data yang dikumpulkan tidak fragmentary, melainkan terintegrasi dalam progression yang meaningful dan comprehensive. Strategic element mengarahkan seluruh proses menuju tujuan yang specific dan measurable, memastikan bahwa pengembangan informasi memiliki directionality yang clear.

Demonstrasi 25 Agustus 2025: Apa Problemnya dan Bukan Siapa Dalangnya

1 hari lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Unjuk Rasa Ojol. Aksi ratusan pengemudi ojol di Markas Brimob Batalyon C Pelopor Solo, Jawa Tengah, 29 Agustus 2025. TEMPO/Septhia Ryanthie
Iklan

Dalam setiap gelombang demonstrasi besar di Indonesia, sering kali publik terjebak pada pertanyaan simplistis: siapa dalangnya? Seakan-akan

 

Oleh : Ahmad Wansa Al-faiz.

EDAS

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

EDAS.


Dalam setiap gelombang demonstrasi besar di Indonesia, sering kali publik terjebak pada pertanyaan simplistis: siapa dalangnya? Seakan-akan sebuah aksi massa yang meledak begitu besar hanya bisa digerakkan oleh segelintir aktor politik di balik layar. Padahal, dalam kasus Demonstrasi 25 Agustus 2025, yang lebih penting bukanlah mencari siapa mengomandoi, melainkan memahami apa problem nyata yang mendorong puluhan ribu orang turun ke jalan.

1. Tunjangan Rumah DPR: Simbol Ketimpangan.

Aksi ini dipicu oleh kabar bahwa anggota DPR menerima tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta per bulan.[1] Di tengah harga kebutuhan pokok yang terus naik, pengangguran yang masih tinggi, dan daya beli rakyat yang tertekan, angka ini tampak seperti tamparan. Ia menjadi simbol betapa jauhnya jarak antara wakil rakyat dengan realitas rakyat yang diwakili.

2. Kemarahan yang Lebih Dalam.

Namun, marah soal tunjangan hanyalah permukaan. Di baliknya, terdapat akumulasi kekecewaan terhadap kesenjangan struktural: praktik korupsi yang berulang, anggaran yang lebih berpihak pada elite dan militer, serta absennya kebijakan yang benar-benar berpihak pada masyarakat bawah.[2] Demonstrasi ini adalah letupan akumulatif dari rasa “tidak adil” yang lama terpendam.

3. Simbolisme Reformasi yang Dikhianati.

Sebagian demonstran—khususnya mahasiswa—mengusung narasi yang lebih luas : oligarki politik dianggap telah mengkhianati cita-cita reformasi 1998.[3] Seruan radikal seperti pembubaran DPR atau perampasan aset koruptor muncul sebagai ekspresi frustrasi terhadap sistem yang dianggap stagnan. Dalam narasi ini, DPR bukan hanya lembaga legislatif, melainkan simbol problem politik itu sendiri.

4. Tragedi yang Memicu Eskalasi.

Aksi 25 Agustus 2025 berubah menjadi lebih emosional setelah seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, tewas terlindas kendaraan taktis polisi.[4] Tragedi ini menjadi titik balik : kemarahan yang awalnya bersifat simbolik berubah menjadi solidaritas emosional. Ia membuktikan bahwa demonstrasi bukan sekadar ritual politik, melainkan respons manusiawi terhadap rasa kehilangan dan ketidakadilan.

5. Apa Problemnya, Bukan Siapa Dalangnya.

Dengan demikian, pertanyaan paling mendasar bukanlah siapa yang mendanai atau menggerakkan, tetapi apa yang membuat ribuan orang rela meninggalkan pekerjaan, kuliah, dan aktivitas mereka untuk turun ke jalan. Jawabannya adanyasederhana sekaligus kompleks, yakni  rasa ketidakadilan.

Ketika jarak antara rakyat dan elite semakin lebar, ketika simbol ketidakpekaan muncul terang-terangan, ketika tragedi menimpa orang kecil, maka aksi massa adalah wujud artikulasi politik rakyat yang tidak menemukan saluran representasi lain.

Penutup

Demonstrasi 25 Agustus 2025 bukanlah sekadar keributan sesaat atau rekayasa kelompok tertentu. Ia adalah cermin retak demokrasi kita. Rakyat marah karena merasa dipinggirkan, sementara elite sibuk mengurus dirinya sendiri. Maka, sebelum sibuk mencari dalang, sebaiknya kita berani mengakui: problemnya ada pada sistem yang tidak adil, bukan sekadar pada aktor yang terlihat di permukaan.


Catatan Kaki.


[1]: Reuters, Indonesian police clash with protesters against parliamentarians' salaries, 25 Agustus 2025.

[2]: The Australian, Indonesian anti-gov protests build amid austerity drive, 2 September 2025.

[3]: Narasi.tv, Poin-Poin Tuntutan Massa dalam Aksi Demo DPR 25 Agustus 2025.

[4]: The Guardian, Indonesia protests explained: why did they start and how has the government responded?, 2 September 2025.


Daftar Pustaka.

  • Reuters. “Indonesian police clash with protesters against parliamentarians' salaries.” 25 Agustus 2025.
  • The Guardian. “Indonesia protests explained: why did they start and how has the government responded?” 2 September 2025.
  • The Australian. “Indonesian anti-gov protests build amid austerity drive.” 2 September 2025.
    Narasi.tv. “Poin-Poin Tuntutan Massa dalam Aksi Demo DPR 25 Agustus 2025.” 25 Agustus 2025.
  • Liputan6. “Ramai Seruan Demo 25 Agustus 2025 di Media Sosial: Apa Tuntutannya?” 24 Agustus 2025.

 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler