Rektor UI Heri Hermansyah Jadi Target Isu Zionis; Siapa Penumpang Gelapnya?

5 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Universitas Indonesia
Iklan

Fenomena serangan terhadap rektor tak bisa dilepaskan dari adanya “penumpang gelap” yang menunggangi isu emosional,

Kisruh yang terjadi di Balairung Universitas Indonesia (UI) pada 11 September 2025 meninggalkan jejak panjang. Pidato Rektor UI, Prof. Heri Hermansyah, yang seharusnya berisi penjelasan soal program Dana Abadi UI, mendadak dipotong teriakan “zionis” dari sebagian hadirin. Sorakan itu viral, melabeli rektor sebagai sosok yang berseberangan dengan aspirasi solidaritas Palestina. 

‎Namun jika ditelusuri lebih dalam, narasi tersebut bukan sekadar ekspresi spontan mahasiswa, melainkan bagian dari dinamika yang lebih kompleks—di mana isu moral dijadikan kendaraan untuk menyerang reputasi pribadi dan lembaga.

‎UI menegaskan bahwa insiden itu dipicu misinformasi. Dana Abadi, yang dimaksudkan untuk mendukung riset, beasiswa, dan pengembangan kampus, disalahpahami seolah-olah dipungut langsung dari wisudawan. Klarifikasi resmi menyebut kontribusi bersifat sukarela dan tidak pernah diwajibkan. 

Tapi di era media sosial, satu label singkat lebih keras gaungnya daripada klarifikasi berlembar-lembar.

‎Label “zionis” terhadap rektor menemukan momentumnya karena ada jejak peristiwa sebelumnya. UI memang sempat menuai kritik saat menghadirkan Peter Berkowitz, akademisi Hoover Institution yang dikenal pro–Israel, dalam acara orientasi pascasarjana. Kehadiran Berkowitz dipandang kontraproduktif dengan sikap publik Indonesia yang secara luas mendukung Palestina. 

‎Sejatinya, undangan itu datang atas rekomendasi Ketua PBNU, Yahya Cholil Staquf, yang kala itu dianggap relevan dalam konteks dialog akademik. Fakta ini jarang diangkat, dan narasi publik justru diarahkan seolah rektorat secara sepihak memberi panggung pada akademisi pro–Israel.

‎Tak berhenti di situ, Fakultas Ilmu Budaya UI (FIB UI) kembali menjadi sasaran polemik. Nama FIB dicatut oleh Yayasan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) dalam sebuah kegiatan akademik yang menghadirkan Prof. Dr. Ronit Ricci dari Jerusalem University. 

‎Kehadiran Ricci memicu kegaduhan baru, meski sejatinya acara itu bukan inisiatif langsung FIB. Namun lagi-lagi, rektorat dan institusi UI diposisikan sebagai tersangka di ruang publik. Dua peristiwa beruntun ini membuat UI dan rektornya seolah menjadi pusat serangan, meskipun konteks faktualnya lebih rumit.

‎Ironisnya, pada masa kepemimpinan Heri Hermansyah, arah kebijakan UI justru jauh dari tuduhan yang dilabelkan. UI bersama elemen kampus lain mengakomodir rencana pembentukan Palestine Center sebagai wujud nyata solidaritas akademik. 

Lebih jauh, rektor memberi akses pendidikan bagi korban konflik dengan membuka kesempatan tiga mahasiswa asal Palestina berkuliah di Fakultas Kedokteran UI mulai tahun ini melalui skema beasiswa. Fakta-fakta ini jelas bertolak belakang dengan stempel zionis yang dilemparkan kepadanya.

‎Inovasi dan Operasi 'Penumpang Gelap'

‎Di saat yang sama, Heri Hermansyah berani mengambil terobosan besar di bidang tata kelola keuangan kampus. Ia menjadi inisiator program Dana Abadi Universitas Indonesia dengan target mencapai Rp1 triliun. 

Gagasan ini tidak sekadar simbol, melainkan strategi agar UI punya fondasi pendanaan jangka panjang yang tidak bergantung pada UKT semata. Lebih dari itu, ia juga mendorong kapitalisasi aset-aset tidur UI dengan membuka akses tol langsung ke kampus serta merancang pembangunan Central Business District (CBD) di kawasan UI. 

Konsep inovatif ini diarahkan untuk menghasilkan sumber pemasukan baru bagi kampus, dan bahkan dijadikan percontohan oleh Kemenristekdikti. Dengan strategi semacam ini, UI berpotensi meningkatkan kualitas pendidikan tanpa membebani mahasiswa.

‎Inisiatif itu juga terhubung dengan misi sosial: membuka akses lebih luas bagi mahasiswa dari daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar). Melalui jalur masuk khusus seperti SNBP, PPKB, hingga beasiswa afirmasi seperti ADik 3T, UI memperkuat keberpihakan pada pemerataan pendidikan tinggi. 

Semua ini menunjukkan arah kebijakan rektor yang visioner: membangun kampus berkelas dunia dengan pembiayaan mandiri, sekaligus tetap menjaga akses untuk kalangan yang rentan secara ekonomi dan geografis.

‎Fenomena serangan terhadap rektor tak bisa dilepaskan dari adanya “penumpang gelap” yang menunggangi isu emosional. Sorakan “zionis” mungkin lahir dari kekecewaan tulus, tetapi amplifikasi dan framing yang diarahkan pada rektor adalah produk agenda lain. 

Masalah teknis dana abadi bergeser menjadi persoalan moral global. Ketidakpuasan terhadap kebijakan kampus, termasuk polemik Iuran Pengembangan Institusi (IPI), ikut digabungkan dalam arus besar anti-zionis. Akhirnya, semua keluhan diarahkan ke satu titik: figur rektor sebagai wajah simbolik universitas.

‎Fakta lain yang kerap luput dari sorotan adalah bahwa Heri Hermansyah menjadi satu-satunya rektor UI dalam beberapa tahun terakhir yang berani memberikan pernyataan resmi terkait aksi demonstrasi mahasiswa.

Ia tidak memilih jalan diam atau sekadar membiarkan polemik mereda, melainkan menyampaikan klarifikasi terbuka, mengakui kekeliruan, dan berjanji memperbaiki tata kelola. 

Lebih dari itu, ia juga tampil layaknya seorang orang tua yang memberikan pesan moril kepada mahasiswa yang hendak berunjuk rasa: bahwa kebebasan berekspresi harus dijaga, tetapi disertai tanggung jawab dan kedewasaan sikap. 

Gaya komunikasinya yang mengayomi justru menjadi bukti keberanian politik akademik, meskipun kemudian dimanfaatkan lawan-lawan simboliknya untuk menambah tekanan.

‎Padahal, bukti yang terkonfirmasi jelas menunjukkan bahwa rektor bukan bagian dari proyek zionisme. UI telah menyampaikan klarifikasi, meminta maaf, membentuk agenda nyata untuk Palestina, memberikan beasiswa kepada mahasiswa Palestina, serta menginisiasi strategi keuangan yang berpihak pada kualitas pendidikan dan akses bagi mahasiswa dari daerah 3T. 

Menyematkan label zionis kepada rektor hanya menguntungkan pihak-pihak yang ingin menggerus legitimasi kepemimpinan kampus. Prof. Heri Hermansyah, dalam hal ini, adalah korban dari narasi yang ditunggangi, sebuah upaya sistematis membunuh karakter pribadi sekaligus institusi UI.

‎Pelajaran dari Rektor UI 

‎Kasus ini menjadi pelajaran penting tentang bagaimana isu internasional bisa dipelintir untuk kepentingan lokal. Solidaritas terhadap Palestina tentu sah dan perlu, tetapi jika dijadikan senjata politik internal kampus, ia justru kehilangan kedalaman moralnya. 

Kritik terhadap kebijakan kampus seharusnya disampaikan secara argumentatif, bukan diselipkan dalam stempel stigma yang mengorbankan reputasi pribadi.

‎Insiden Balairung menunjukkan betapa rapuhnya reputasi akademik ketika diguncang slogan emosional. Di balik sorakan “zionis”, terlihat jelas ada pihak-pihak yang menumpang isu, memperalat simpati terhadap Palestina untuk menyerang legitimasi rektorat. Di sini, Prof. Heri Hermansyah justru bukan aktor, melainkan target. 

Mengidentifikasi penumpang gelap dan membedakan kritik substantif dari serangan oportunis adalah syarat pertama untuk menyelamatkan wibawa universitas. Sekaligus memastikan solidaritas terhadap Palestina tetap berdiri di atas landasan pengetahuan dan moral, bukan sekadar emosi yang mudah dibajak.(*)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler