Pensiunan PT Chevron Pacific Indonesia. Menjadi Pemerhati aspal Buton sejak 2005.

Aspal Buton: Kritik dan Sekaligus Solusi untuk Prabowo

5 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Prabowo Subianto
Iklan

Satu tahun berlalu, dan tidak ada langkah nyata dari Pak Prabowo untuk mengangkat Aspal Buton.

***

Kritik sering dianggap tidak berguna jika tidak disertai solusi. Padahal, anggapan ini adalah sebuah kesesatan berpikir yang menumpulkan suara rakyat. Kritik bukanlah barang sia-sia, apalagi dalam konteks demokrasi. Kritik adalah napas kebebasan dan tanda rakyat masih hidup.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertama, kritik adalah alarm sosial. Seperti alarm kebakaran, kritik memberi tanda ada bahaya besar yang sedang mengancam. Alarm tidak memadamkan api, tetapi membangunkan orang yang sedang tidur. Kritik adalah tanda, bahwa ada kebijakan yang salah arah dan harus diperbaiki.

Kedua, kritik menciptakan akuntabilitas. Dengan kritik, pemerintah tidak bisa lagi pura-pura tuli atau buta. Kritik membuat kekuasaan tidak bisa bersembunyi di balik alasan teknis atau janji manis. Kritik menyingkap tabir kepura-puraan yang terlalu lama menutup kenyataan.

Ketiga, kritik adalah tekanan publik. Tekanan ini membuat pemerintah tidak bisa nyaman dalam status quo. Tanpa tekanan, kekuasaan akan berleha-leha dan melupakan janji. Dengan kritik, rakyat memaksa adanya perubahan nyata.

Keempat, kritik membuka pintu solusi baru. Kita mungkin tidak langsung menemukan jalan keluar. Tetapi kritik membuka ruang dialog dan percakapan kolektif. Dari suara-suara itulah solusi bersama bisa lahir.

Kelima, kritik adalah fondasi demokrasi sehat. Bayangkan jika semua orang diam menunggu solusi matang sebelum bersuara. Dunia akan sunyi, penuh kepatuhan palsu, dan tak seorang pun berani speak up. Kritik adalah tanda bahwa rakyat masih berani menagih janji kekuasaan.

Karena itu, kritik tanpa solusi tetaplah bermakna. Kritik adalah hak rakyat yang tidak bisa dibungkam. Tidak semua rakyat harus menjadi teknokrat atau pejabat untuk berbicara. Demokrasi tidak menuntut rakyat diam, justru menuntut mereka bersuara.

Diam adalah pilihan, dan diam berarti setuju. Jika rakyat bungkam, maka kekuasaan akan semakin sewenang-wenang. Jika rakyat diam, maka harga beras, biaya sekolah, hingga ongkos rumah sakit akan terus membebani tanpa ada perlawanan. Maka, diam adalah bentuk kepengecutan yang dibungkus dengan kepasrahan.

Sekarang mari kita bicara soal Aspal Buton. Selama satu tahun kekuasaan Prabowo, aspal Buton tetap berjalan di tempat. Padahal Indonesia memiliki deposit aspal alam terbesar di dunia. Apakah ini yang disebut kepemimpinan tegas dan berdaulat?

Kementerian Perindustrian sudah membuat Peta Jalan Hilirisasi Aspal Buton dengan target Swasembada Aspal 2030. Dokumen resmi ini bukan rahasia, dan seharusnya sudah ada di meja presiden. Lalu pertanyaannya: apakah Prabowo tahu? Dan kalau tahu, mengapa hanya diam?

Nasionalisme seorang pemimpin diuji bukan dengan pidato, melainkan dengan tindakan. Satu tahun berlalu, dan tidak ada langkah nyata dari Pak Prabowo untuk mengangkat Aspal Buton. Padahal ia pernah bicara lantang tentang kedaulatan ekonomi. Tetapi pada kasus Aspal Buton, nasionalisme itu dipertanyakan.

Apakah kepemimpinan itu hanya berani pada retorika? Apakah berdaulat hanya slogan, sementara kebijakan tunduk pada kepentingan asing? Aspal Buton adalah cermin yang menyingkap wajah asli kekuasaan. Dan wajah itu kini tampak gamang dan rapuh.

Solusinya tidak rumit. Prabowo cukup menerbitkan Keppres Swasembada Aspal 2030. Dengan satu tanda tangan, semua kementerian, pelaku usaha, dan masyarakat akan bergerak serentak dalam satu irama dan arah. Itulah langkah konkret yang ditunggu rakyat.

Tetapi jika langkah sederhana itu saja tidak mau diambil, maka apa artinya semua janji besar? Apa artinya bicara kedaulatan pangan, energi, atau sumber daya, jika aspal saja dibiarkan terus impor? Apa artinya bicara Indonesia Emas 2045, jika emas hitam di Buton dipandang sebelah mata? Janji besar runtuh jika keberanian kecil saja tidak pernah lahir.

Rakyat tidak bisa dibodohi selamanya. Petisi Aspal Buton daring sudah beredar di dunia maya sejak 19 Agustus 2025. Gerakannya memang masih lambat, tetapi tujuannya jelas menuju istana. Ini tanda rakyat sudah muak dengan kebijakan yang hanya omong kosong.

Pak Prabowo tidak perlu menunggu petisi itu mengetuk pintu istana. Jika benar Bapak seorang pemimpin negara, seharusnya Bapak sendiri yang datang ke Pulau Buton. Jika benar berani, seharusnya Bapak yang berdiri paling depan menegakkan kedaulatan. Jika bukan Pak Prabowo, lalu siapa lagi yang bisa?

Waktu tidak pernah menunggu. Tahun demi tahun terus berjalan, dan 2030 makin dekat. Setiap hari yang terlewat tanpa kebijakan adalah bentuk pengkhianatan pada rakyat. Sejarah tidak akan memaafkan pemimpin yang hanya diam.

Aspal Buton bukan hanya sumber daya, tetapi simbol harga diri bangsa. Ketika pemimpin diam, rakyat akan bersuara lebih keras. Dan ketika suara rakyat membesar, kekuasaan yang tuli bisa runtuh oleh gaungnya sendiri. Itu hukum sejarah yang tidak bisa dibantah.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler