Makanan, Gizi, dan Masa Depan Bangsa

1 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Makanan, Gizi, dan Masa Depan Bangsa: Menimbang Dampak Pola Konsumsi terhadap Generasi Mendatang
Iklan

Pengetahuan sekalipun dapat terabaikan jika kebiasaan makan tidak terkendali.

***

***

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Wacana ini ditulis oleh Nur Salsabila, Luthfiah Mawar M.K.M., Helsa Nasution, M.Pd., dan Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si. Lalu diedit oleh Nadia Saphira, Amanda Aulia Putri, Naysila Prasetio, Winda Yulia Gitania Br Sembiring, dan Annisa Br  Bangun dari IKM 5 Stambuk 2025, Fakultas Kesehatan Masyarakat, UIN Sumatera Utara.

Pembahasan ini saya angkat karena realitas yang saya saksikan menunjukkan bahwa anak-anak masa kini cenderung dibiarkan mengonsumsi makanan yang jauh dari kategori sehat, terutama mereka yang masih berada pada usia sekolah dasar. Anak-anak yang sudah bisa membeli jajanan sendiri tidak lagi memikirkan aspek gizi, melainkan hanya mengutamakan rasa enak dan rasa kenyang.

Situasi ini diperburuk oleh tren minuman instan yang semakin merajalela, mulai dari kopi, teh, hingga minuman dengan beragam rasa yang semata-mata diminum untuk menghilangkan dahaga. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana anak-anak pada fase pertumbuhan, yang memiliki rasa ingin tahu tinggi, dibiarkan memilih makanan dan minuman sesuka hati tanpa kendali yang memadai.

Saya sendiri pernah mengalami pengalaman pahit ketika harus menderita muntaber akibat mengonsumsi jajanan yang tidak higienis di sekolah. Waktu itu, karena rasa penasaran dan pengaruh teman, saya mencoba makanan yang dijual di luar kantin. Hasilnya, saya sakit dan harus segera dibawa pulang untuk berobat. Sejak saat itu, ibu saya lebih ketat dalam menjaga konsumsi makanan saya, dengan menitipkan saya di kantin sekolah agar hanya makan di sana. Walaupun saya masih sering berusaha menyelinap untuk membeli makanan lain, ibu saya akhirnya mengambil langkah lebih jauh dengan menyiapkan sendiri makanan dari rumah dan mengantarkannya ke sekolah. Dari pengalaman ini, saya menyadari betapa pentingnya kontrol keluarga dalam membentuk pola makan yang lebih sehat.

Istilah "sesekali tidak masalah" mungkin masih dapat diterima, tetapi dalam praktiknya anak-anak sekolah justru kerap menjadikan mie instan dan minuman kemasan sebagai sarapan sehari-hari. Kebiasaan ini tentu memberi dampak yang serius, baik terhadap kesehatan tubuh maupun perkembangan otak mereka. Banyak orang tua yang akhirnya memilih memberikan uang jajan sebagai solusi cepat karena keterbatasan waktu dan kesibukan pekerjaan, tanpa benar-benar mengetahui apa yang dibeli dan dikonsumsi oleh anak-anak mereka. Meski sebagian orang tua berusaha menasihati agar anak mengonsumsi makanan sehat, keterbatasan pengawasan membuat pilihan instan tetap lebih dominan.

Kisah serupa juga saya dengar dari lingkungan sekitar. Seorang teman ibu saya mengalami nasib tragis akibat kebiasaan mengonsumsi makanan tertentu secara berlebihan. Awalnya penyakit yang muncul hanya sebatas asam lambung, tetapi karena pola makan tidak berubah, kondisi tersebut berkembang menjadi komplikasi serius. Dalam waktu enam bulan, penyakit itu merambat hingga ke otak dan berakhir dengan kematian meski pasien baru saja merintis karier sebagai apoteker di sebuah apotek BUMN.

Peristiwa ini memberi pelajaran berharga bahwa pengetahuan sekalipun dapat terabaikan jika kebiasaan makan tidak terkendali. Bila seorang yang berpendidikan bisa lengah, bagaimana pula dengan masyarakat awam yang harus menghadapi keterbatasan ekonomi, sehingga lebih memilih makanan murah meski kurang sehat hanya karena bisa mengenyangkan.

Kasus yang lebih baru adalah ditemukannya anak-anak dengan cacingan di Bengkulu. Berbeda dengan kasus di Sukabumi yang melibatkan keluarga dengan kondisi sosial khusus, kasus di Bengkulu terjadi pada keluarga yang secara sosial dianggap normal. Kejadian-kejadian semacam ini menunjukkan bahwa persoalan pola makan tidak sehat bukanlah isu sepele, melainkan masalah serius yang dapat menimpa siapa saja. Saya sering menyaksikan fenomena serupa ketika menemani ibu saya berobat di rumah sakit. Di sana, saya melihat secara langsung bagaimana pola hidup dan pola makan yang tidak sehat berujung pada rumah sakit sebagai "tempat rekreasi" yang tak diinginkan, alih-alih pusat perbelanjaan atau ruang publik yang lebih membahagiakan.

Harapan akan terwujudnya "Generasi Emas" tetap terbuka, meskipun tantangannya tidak ringan. Banyak penyakit sebenarnya bisa dicegah sejak dini, tetapi seringkali keterlambatan penanganan membuat usaha penyembuhan gagal. Edukasi tentang makanan sehat tidak harus selalu berskala besar; justru dimulai dari keluarga dan lingkungan terdekat, kesadaran bisa ditanamkan melalui pembiasaan sederhana. Tidak perlu melarang secara mutlak, cukup dengan membatasi konsumsi makanan instan dan minuman manis agar tidak menjadi bagian dari kebiasaan sehari-hari.

Dengan langkah kecil semacam itu, kita bisa berharap menurunnya jumlah anak yang harus menjalani cuci darah akibat diabetes, atau berkurangnya kasus usus buntu yang dipicu konsumsi makanan pedas dan bersaus berlebihan. Bahkan kasus kanker yang dikaitkan dengan pola hidup tidak sehat, seperti begadang akibat kecanduan gawai, bisa diminimalisasi. Perhatian yang lebih besar terhadap apa yang kita makan dan minum menjadi kunci untuk menjaga kesehatan fisik maupun psikologis. Makanan yang baik tidak selalu identik dengan harga yang mahal, sebab pilihan sederhana dan murah pun dapat menjadi asupan bergizi jika dipilih dan diolah dengan tepat.

Dengan demikian, kesadaran kolektif untuk menjaga pola makan merupakan fondasi utama dalam membangun generasi yang sehat, produktif, dan berdaya saing tinggi. Kesehatan bukan sekadar urusan individu, melainkan aset bangsa yang menentukan arah masa depan.

Corresponding Author: Nur Salsabila ([email protected])

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler