Game dan Ideologi: antara Hiburan dan Refleksi
2 hari lalu
Video game bukan lagi sekadar hiburan.
Video game telah berevolusi menjadi medium ekspresi budaya, kritik sosial, dan bahkan propaganda politik. Di balik mekanik permainan dan visual yang memukau, banyak game menyisipkan narasi yang menggugah pemikiran tentang dunia nyata—dari konflik geopolitik hingga perjuangan hak asasi manusia.
Dalam kajian akademik, Tony Wibowo menyatakan bahwa “video game dengan naratif yang kuat menjadi salah satu cara mengembangkan media pembelajaran moral. Dengan isu dilema publik, beberapa game dikembangkan dengan isu sosial sebagai ide utama.” (Wibowo, 2020). Pernyataan ini menegaskan bahwa game dapat menjadi ruang refleksi etis dan sosial, bukan sekadar pelarian dari kenyataan.
Ketika Politik Masuk ke Dunia Game
Beberapa game secara terang-terangan menyisipkan kritik terhadap sistem politik atau menggambarkan realitas sosial yang kelam. Papers, Please misalnya, memaksa pemain untuk menjadi bagian dari rezim otoriter, menghadapi dilema antara kemanusiaan dan perintah negara. Sementara This War of Mine menggeser sudut pandang dari tentara ke warga sipil, memperlihatkan betapa perang bukan hanya soal strategi, tapi juga soal bertahan hidup dalam kehancuran.\
Game seperti ini tidak hanya menyuguhkan tantangan teknis, tetapi juga mengundang refleksi: bagaimana jika kita benar-benar berada dalam posisi itu? Apakah kita akan tunduk pada sistem, atau melawan demi nilai-nilai kemanusiaan?
Representasi Sosial dan Minoritas
Video game juga menjadi medium penting untuk menyuarakan kelompok yang selama ini terpinggirkan. Life is Strange membawa isu LGBTQ+, kesehatan mental, dan bullying ke permukaan, sementara Celeste menyampaikan pesan tentang depresi dan penerimaan diri melalui metafora pendakian gunung. Bahkan Never Alone, yang dikembangkan bersama komunitas Iñupiat Alaska, memperkenalkan budaya lokal yang jarang terekspos di media arus utama.
Kehadiran isu-isu ini dalam game menunjukkan bahwa industri tidak lagi hanya mengejar keuntungan, tetapi juga mulai membuka ruang untuk percakapan sosial yang lebih luas.
Refleksi sebagai Gamer Indonesia
Sebagai warga negara Indonesia dan gamer, kita perlu bersikap kritis terhadap konten yang kita konsumsi. Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, toleransi, dan keberagaman. Maka, saat memainkan game yang mengandung muatan ideologis atau sosial, penting untuk memahami konteksnya dan tidak menelan mentah-mentah pesan yang disampaikan.
Game seperti Far Cry 5, yang mengangkat ekstremisme agama, bisa menjadi bahan refleksi tentang bahaya fanatisme. Namun, tanpa pemahaman yang tepat, game semacam ini bisa menimbulkan kesalahpahaman terhadap agama secara umum. Di sisi lain, Life is Strange bisa membuka ruang diskusi tentang empati dan penerimaan, tetapi juga perlu pendampingan nilai agar tidak bertabrakan dengan norma lokal.
Kesimpulan: Bermain dengan Pikiran Terbuka
Video game adalah cermin zaman. Ia merekam keresahan, harapan, dan pertarungan ideologi yang terjadi di dunia nyata. Sebagai pemain, kita punya pilihan: bermain hanya untuk menang, atau bermain untuk memahami. Game dengan muatan politik dan sosial tidak harus dihindari, tetapi perlu dimainkan dengan kesadaran dan refleksi. Dengan begitu, kita tidak hanya menjadi gamer yang terampil, tetapi juga warga yang reflektif—yang mampu melihat dunia, bahkan melalui layar, dengan lebih jernih.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Game dan Ideologi: antara Hiburan dan Refleksi
2 hari laluBaca Juga
Artikel Terpopuler