x

Amarah. Ilustrasi

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengubah Amarah Jadi Produktif

Penting bagi siapapun untuk menyadari manakala dirinya tengah marah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

--Setiap kali engkau marah, engkau meracuni dirimu sendiri.

(Alfred Montapert, penulis buku The Supreme Philosophy of Man)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Siapapun yang tengah berpuasa, ia niscaya tengah berlatih untuk bersabar. Berlatih untuk tidak gampang marah. Lebih penting dari itu ialah berlatih untuk menyadari bahwa dirinya akan atau tengah marah.

Amarah yang tidak disadari, kata para psikolog, bisa merusak, bukan saja orang lain—hubungan menjadi buruk, bawahan jadi takut—tetapi juga mengganggu diri sendiri. Kemarahan yang meledak-ledak, bahkan untuk sebab-sebab sepele, juga bisa menghancurkan diri.

Kalaupun akhirnya amarah meletup, nasihat para psikolog, yang terpenting ialah menyadari bahwa kita sedang marah. Dengan begitu, kita lebih mampu mengendalikan amarah. Seorang kawan yang lain pernah marah besar dan membanting laptopnya. Ketika kemarahannya reda, ia menyesal melihat kepingan-kepingan laptop di lantai.

Mengendalikan amarah merupakan salah satu cara mengelola energi (Benar kata kawan saya, marah itu menghabiskan banyak energi). Marah yang terkendali berarti penggunaan energi kita terkendali juga—energi itu mencakup fisik, emosi, pikiran, dan spirit.

Betapa sering amarah kita menyedot keempat ragam energi itu dan membuat kita lemah. Sehabis marah, capek. (For every minute you remain angry, you give up sixty seconds of peace of mind, ujar sastrawan Ralph Waldo Emerson). Berpuasa berarti melatih diri agar sanggup mengendalikan seluruh energi itu.

Emosi-emosi negatif, seperti kemarahan, kadang-kadang melumpuhkan kreativitas, namun sains menyebutkan bahwa emosi-emosi ini bisa pula digunakan untuk memantik kreativitas. Syarat pertamanya ialah kita menyadari bahwa kita sedang marah.

Para peneliti Ghent University, Belgia, mempelajari kebiasaan 100 profesional kreatif, dan memeringkat emosi mereka pada pagi dan sore hari. Mereka menemukan bahwa profesional yang memulai harinya dengan emosi-emosi negatif tapi mengakhiri harinya dengan emosi positif mampu menghasilkan karya kreatif yang hebat. Artinya, para profesional ini mampu menyalurkan kemarahan mereka dengan cara yang tepat ke dalam pekerjaan.

Amarah bisa disalurkan ke hal-hal positif. Jika kita senang melukis, tumpahkan kemarahanmu di atas kanvas. Jika kita suka bermusik, tuangkan kemarahanmu dengan mencipta lagu. Energi besar yang bakal terbuang memang lebih baik disalurkan ke situ,” ujar kawan saya.

Kawan saya memberi nasihat seperti ini: “Jadikanlah emosi negatif sebagai bahan bakar yang sanggup menyalakan api kreasimu. Jadikan emosi negatif sebagai penolong untuk menggali lebih dalam suatu persoalan dan menemukan solusi yang membuatmu lebih bahagia.”

Banyak orang beranggapan bahwa mengekspresikan kemarahan itu buruk. Mereka ngeri terhadap kemarahan orang lain. Atau jika mereka mengungkapkan kemarahan, reaksi yang terungkap ialah sikap tidak respek.

Mengubah kemarahan jadi produktif memerlukan keterampilan untuk menggeser fokus kemarahan dari lingkungan eksternal menjadi fokus ke dalam, terhadap keinginan kuat untuk berubah atau mengubah.  Kemarahan dapat menjadi mobilisator hebat bagi aksi-aksi positif. Namun, kemarahan yang berkelanjutnya dapat merusak fisik tubuh dan secara eksternal merusak dunia sekeliling Anda.

Kemarahan, frustrasi, stres dan bentuk emosi negatif lainnya dapat memicu otak untuk melepaskan adrenalin dan kortisol berlebihan dan menyebabkan tekanan darah naik, ketidakseimbangan hormonal, penyakit jantung, melemahnya sistem kebebalan tubuh, dan sebagainya. Mengubah marah menjadi energi positif merupakan perjalanan transformatif. Caranya, Anda harus menggeser fokus Anda dari apa yang hilang dalam hidup Anda serta memicu kemarahan kepada apa yang mendorong semangat Anda untuk berkreasi secara positif.

Banyak godaan di saat belajar bersabar, karena kita memang tidak bisa benar-benar mengambil jeda dari aktivitas sehari-hari. Kita juga tidak bisa sepenuhnya menarik diri dari lingkungan. Begitu tidak mudah menemukan waktu setidaknya sekali dalam setahun, selama beberapa minggu, untuk berdiri di luar arus dan mengamati apa yang tengah terjadi. Melakukan hal-hal yang tidak biasa Anda kerjakan dapat mengalihkan kemarahan Anda kepada aktivitas positif. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler