x

Iklan

Ni Made Purnama Sari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Lubang Kunci

Cerita pendek

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sambil memperbaiki ikatan sarungnya, dengan setengah hati, Nang Leong mengintip lewat lubang kunci itu. Di sebelah kanannya, seorang lelaki pendek berhidung pesek berdiri cemas seraya berulang meremas kedua tangannya, dan mencuri-curi pandang ke wajah Nang Leong yang lugu itu. Ia terlihat panik, berbicara cepat seraya mengguncang-guncangkan bahu Nang Leong, terus mendesaknya untuk segera saja mendobrak pintu kamar itu. Tetapi yang terakhir ini terlihat ragu, hanya sesekali mengangguk sekadarnya. Matanya merah, rambutnya acak-acakan, ia sesungguhnya masih mengantuk.

“Pak Leong, saya takut sekali. Tadi saya mendengar suara-suara dari dalam, seperti bunyi derit meja, gesekan kursi dan juga benda-benda terjatuh. Jangan-jangan itu maling, Pak Leong. Ya, saya yakin, saya yakin itu maling! Tolonglah, Pak, saya benar-benar takut, kalau-kalau pencuri itu keburu mengambil kotak uang di balik lemari. Ayolah Pak, dobrak saja pintunya!” ujar Pan Gembul tak sabar.

“Ahh,” Nang Leong menyela dengan nada enggan. Ia sebenarnya jengkel. Bagaimana tidak, Pan Gembul, pemilik toko roti itu, tak peduli malam telah larut, tiba-tiba saja menggedor pintu ruang pos jaga, yang merangkap jadi kamar istirahatnya. Baru saja sedikit terbuka, duda yang tinggal sendirian itu, tanpa permisi lagi, segera saja menerobos masuk. Tubuhnya yang tambun membuat Nang Leong terguling di lantai. Bukannya menolong, si gendut tak tahu diri itu terus saja menyerocos bahwa kamar pribadinya sedang disantroni maling. “Ayolah, Pak, ayo bantu saya menangkap maling itu…” Meskipun Nang Leong telah berusaha mengelak dengan berbagai alasan, tetap saja Pan Gembul bersikukuh memohon bantuannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Kenapa Bapak suruh saya menangkap maling itu? Bukankah ada satpam yang bertugas di bawah?” tanya Nang Leong ketus. Ia sebenarnya baru saja tertidur dan bermimpi tentang wanita-wanita cantik ber-rok mini yang lenggak lenggok di trotoar depan rumah susun, tapi sayang, ia tersentak terbangun oleh ketukan deras di pintu. “Saya juga sedang tak enak badan, jadi sebaiknya Bapak telepon saja polisi,” sergah Nang Leong lagi.

Namun lelaki berwajah lebar itu bersikeras memaksanya untuk menolong. Berkali ia membujuk, tentu saja dengan iming-iming hadiah. Terus terang, sebenarnya Nang Leong memang keberatan membantu. Pedagang itu terlalu pelit dan sering kali berlagak tuan besar saat mereka berpapasan di jalan. Selain itu, kupingnya yang besar sebelah, entah kenapa, membuat Nang Leong kian tak menyukainya. Menurutnya, jika telinga seseorang tidak sama ukurannya, pastilah ia memiliki hati yang culas dan tak bisa dipercaya.

Namun ketika Pan Gembul menawarkan selembar uang dua puluh ribu rupiah sebagai imbalan, Nang Leong mengerutkan dahi sejenak. Dengan uang sebanyak itu, pikirnya, ia bisa mentraktir si Kerti, pembantu di sebelah yang telah lama merampas sebagian hatinya. Sudah berbagai rayuan maut dilancarkannya, namun gadis pujaannya itu dingin-dingin saja. Ketika ingat sikap Kerti itu, tanpa sengaja Nang Leong mengerutkan dahi untuk kedua kalinya. Melihat reaksinya, Pan Gembul, meski gugup, dengan sigap mengulurkan tambahan uang lima puluh ribu. Nang Leong berulang mengedipkan matanya, tak percaya akan kenyataan itu. Lantaran ingin memastikan, ia buka mata sipitnya itu lebar-lebar, dahinya terlihat seakan berkerut lagi. Pan Gembul salah duga, ia cepat-cepat merogoh sakunya, kali ini uang seratus ribuan bergambar mawar dengan setengah terpaksa diselipkan ke tangan Nang Leong. Giliran Nang Leong, dengan sigap pula menyelipkan semua uang itu ke saku bajunya. Tanpa pikir panjang lagi ia meraih pentungan karet yang tergeletak di atas meja.

Sejenak Pan Gembul terlihat lega sewaktu Nang Leong mulai mengintip ke dalam kamar. Ia yakin penjaga keamanan rumah susun ini, akan sanggup meringkus maling itu. Ia sungguh tak percaya dengan si Tito, satpam kerempeng yang sebetulnya mendapat giliran jaga malam ini. Pikirnya, satpam baru itu tentulah belum memiliki pengalaman. Sedangkan Nang Leong, telah lima tahun bertugas dan selama ini aman-aman saja. Lagi pula badan Nang Leong yang kekar mengingatkannya pada Mike Tyson. Sekali pukul, batinnya, pasti maling sialan itu akan terjungkal.

“Seminggu lalu, sama seperti hari ini, ada suara-suara yang mencurigakan di kamar itu. Saya tak berani masuk, jangan-jangan si maling membawa golok atau celurit. Setelah ditemani tetangga, saya baru berani. Sungguh mati Pak Leong, saat sampai di dalam, jendela kamar sudah terbuka! Saya yakin maling itu  kabur melalui jendela,” bisik  Pan Gembul.  Anehnya, pada waktu itu tak ada barang yang hilang, bahkan jendela tak sedikit pun mengalami kerusakan.

Nang Leong ingat kisah itu. Selama berhari-hari cerita tentang maling di kamar Pan Gembul terus jadi gunjingan penghuni rumah susun. Tetangga yang ikut masuk ke dalam kamar sewaktu kejadian itu berhari-hari pula masih memendam kejengkelannya. “Mau apa lelaki sombong itu, datang dengan panik dan mengganggu kita. Dia bilang ada pencuri, tapi kamarnya aman-aman saja. Jangan-jangan ia hanya mengarang cerita sensasi, sekadar mau pamer rumahnya yang bagus dan perabotnya yang mahal-mahal,” tandas salah seorang tetangga yang tinggal se-blok dengan rumah Pan Gembul.

***

Pan Gembul menelan ludah. Matanya masih khawatir, terus memandang sekeliling, seakan mencari komplotan pencuri lainnya yang mungkin saja sedang mengendap-endap mengawasi mereka. Tangannya yang gemetar dikepalkan, seolah menggenggam sisa keberaniannya. Berkali-kali dengan gugup ia mengibaskan rambutnya yang disisir dengan rapi itu. Nang Leong melirik, tak suka pada tingkahnya. Konsentrasinya terganggu lantaran ocehan tak perlu yang dibisikkan Pan Gembul di dekat kupingnya.

Kalaupun benar ada maling di dalam kamar ini, Nang Leong ragu-ragu untuk meringkusnya. Sesungguhnya, ia sendiri takut berhadapan dengan penjahat, apalagi kalau betul-betul bersenjatakan golok. Meskipun dirinya sudah cukup lama bekerja sebagai tenaga pengaman, sejatinya ia belum pernah sekali pun menangkap seorang copet atau pencuri. Kecuali pada suatu hari, secara kebetulan saja, ia memergoki seorang anak yang kedapatan mengantongi sebungkus kacang goreng di warung dekat rumah susun itu.

Sehari-hari, saat mendapat giliran jaga, Nang Leong cuma duduk-duduk di dalam pos satpamnya, bersenandung kecil sembari mengikuti lagu dari siaran radio. Dan pada pukul enam sore, Nang Leong dengan penuh semangat berdiri di depan pintu gerbang, merapikan seragamnya, menyisir rambutnya dengan jari lantas menggoda wanita-wanita yang baru pulang dari kantor. Hanya pada saat itulah Nang Leong merasa dirinya benar-benar menjadi seorang lelaki sejati. Ia semakin sumringah bila salah seorang dari wanita-wanita itu melempar senyum padanya. Ia tak peduli apakah itu senyum tanda suka, ataukah hanya senyum sinis kejengkelan.

Sewaktu kecil dulu, ia ingin sekali jadi polisi seperti ayahnya. Setiap kali sang ayah akan berangkat kerja, Nang Leong diam-diam memasuki kamar orangtuanya dan perlahan membuka laci lemari di dekat tempat tidur. Ia menyentuh senjata itu lalu mengangkatnya dengan hati-hati. Pistol itu terasa berat, namun tak menghalanginya untuk memegang dan meraba-raba semua bagiannya. Ia kagum dengan bentuk senjata yang kukuh itu, sama seperti perasaan bangganya terhadap sosok ayahnya yang tinggi dan tegap. Nang Leong membayangkan suatu hari nanti, ia pun akan memiliki pistol  dan juga berhasil menembak seorang penjahat seperti yang pernah dilakukan ayahnya.

Sebagaimana biasa, suatu hari Nang Leong dengan penuh semangat berangkat sekolah.  Namun pagi itu, tasnya terasa lebih berat. Di tikungan, tak jauh dari rumah, Nang Leong sempat hendak memeriksanya. Hal ini diurungkannya, ia menduga pastilah ibu memberinya bekal makan siang dengan lauk pauk yang lebih banyak. Lantas sewaktu bel istirahat, dengan riang ia buka tasnya di hadapan semua teman-temannya sambil berjanji akan membagikan bekal makanannya. Akan tetapi seketika kelas itu geger, anak-anak panik berlarian seraya menunjuk-nunjuk penuh ketakutan ke arah Nang Leong yang kebingungan. Rupa-rupanya Nang Leong tak sengaja membawa pistol ayahnya ke sekolah. Tanpa pikir panjang, sambil memohon kepada teman-temannya agar tak melaporkannya kepada Bu Guru, ia bergegas pulang.

Setibanya di rumah, ia pun menyelinap diam-diam ke kamar tidur ayahnya. Beruntung ibunya sedang di dapur. Sambil menarik napas, segera senjata itu ia kembalikan ke dalam laci. Belum sempat meninggalkan kamar, ayahnya menerobos masuk. Nang Leong tercekat, tangannya pura-pura sibuk merogoh tas sekolahnya. Sementara itu ayahnya, terlihat bingung memeriksa seluruh isi kamar, termasuk lemari dan juga tak ketinggalan kolong tempat tidur. Setengah putus asa ayahnya menarik laci. “Lho, kok ada di sini?” ujar ayahnya setengah takjub namun terdengar gembira. “Padahal tadi pagi kucari-cari tak ada,” tambahnya. Sewaktu hendak berangkat kerja ayah Nang Leong memang sempat kebingungan mencari pistolnya. Lalu dengan tergesa-gesa, ia pergi ke kantor karena mengira senjatanya itu tertinggal di sana.

***

Nang Leong menyentuh permukaan pintu dengan sangat perlahan, sementara itu napas Pan Gembul tertahan di dekat telinganya. Nang Leong merasakan jantungnya kian berdegup kencang, menduga-duga apa sekiranya yang akan terjadi. Seorang pencuri mungkin saja tengah menggasak isi laci pedagang itu. Atau jangan-jangan ia tengah bersiap-siap menyambut dirinya dengan tebasan golok. Nang Leong bergidik ngeri oleh bayangan pikirannya.

Pan Gembul yang sudah tak sabar, semakin sering menggosokkan kedua belah tangannya. Nang Leong bertambah ragu, ciut nyalinya. Sekali lagi ia menempelkan matanya di lubang kunci itu, pikirannya menerawang  terkenang pada suatu peristiwa di masa kecilnya.

Saat berusia sepuluh tahun, Nang Leong mengalami kejadian yang tak pernah dilupakannya. Ia terpaksa bersembunyi di kamar mandi rumahnya. Melalui celah kecil di pintu, Nang Leong melihat ayahnya tengah berhadapan dengan seorang lelaki asing, yang wajahnya bertopeng.

Keluarga kecil itu baru saja pulang setelah menjenguk kakek di desa. Saat mereka membuka pintu kamar tidur, ibunya memergoki seorang laki-laki tengah mengaduk-aduk isi lemari. Ayah Nang Leong, dengan penuh kewaspadaan, mendekat dan memerintahkan agar pencuri itu menyerahkan diri. Dan di tengah situasi mencekam ini, diam-diam Nang Leong segera diselamatkan ibunya ke kamar mandi pribadi yang ada di ruang itu.

Lelaki asing itu berdiri membelakanginya, sementara sang ayah berdiri menatap pencuri itu dengan raut wajah tegang. Mereka mengatakan sesuatu, tetapi Nang Leong tak bisa mendengarnya jelas. Sesaat kemudian, terlihat ayahnya mengatupkan bibir rapat-rapat, otot rahangnya seketika mengeras. Ia mundur perlahan ke arah meja dan tangannya tampak mengais-ngais sesuatu dalam laci. Seketika Nang Leong panik, ia yakin ayahnya tengah berusaha menemukan pistolnya. Ia baru ingat, kemarin malam, sebagaimana biasanya, senjata itu diam-diam ia selipkan di bawah bantalnya, tentu setelah puas menimang-nimangnya. “ Ahh, kenapa aku lupa mengembalikannya...” keluh Nang Leong.

Pencuri itu menggeleng sedikit lalu bergerak maju seakan hendak menyudutkan ayah. Nang Leong melihat pisau yang digenggamnya berkilat-kilat. Nang Leong bertambah cemas, bagaimana nanti jika ayah tertusuk oleh pisau itu, lalu maling itu menyandera ibu dan mengancam akan membunuhnya? Ia semakin erat memegang pegangan pintu, bersiap untuk keluar bila terjadi sesuatu terhadap ayahnya.

Belum usai Nang Leong membatin, terdengar suara gaduh dari luar. Segera ia mengintip melalui celah pintu. Ia terkejut, kedua lelaki itu tengah bergumul. Pisau tadi sempat terlepas, tetapi segera diraih kembali oleh si pencuri. Kening ayahnya berdarah, Nang Leong mendengar ibunya memekik. Seseorang berteriak kesakitan, kian banyak suara benda terjatuh. Menyaksikan ayahnya yang berdarah-darah, urunglah niat Nang Leong untuk keluar. Malahan, tangannya kian kuat berpegangan pada gagang pintu. Ia terus mengintip dan mencoba membuka matanya lebar-lebar, tak terasa air matanya menetes. 

Pintu kamar mandi itu berderak, Nang Leong tersentak, lalu mundur selangkah. “Mereka bertarung di depan pintu ini, mereka bertarung di depan pintu ini! Bagaimana nanti jika pencuri itu masuk dan menemukanku?” Nang Leong kian panik, ia merapatkan tubuhnya yang gemetar ke dinding, berdoa dalam hati semoga pintu itu tidak terbuka.

Sebuah pekik panjang mengakhiri kegaduhan itu. Sejenak suasana hening, hanya terdengar isak ibunya. Jantung Nang Leong berdetak kencang, ia bertanya-tanya, apakah yang telah terjadi? Ia mengintip, lantas terkesiap. Ia melihat ayahnya terkapar di lantai, darah mengucur dari dadanya. Sejurus Nang Leong tak percaya, benarkah ayah tewas begitu saja? Tangannya menyentuh daun pintu, Nang Leong mulai terisak. Kemudian, dari lubang kunci, ia melihat maling itu berdiri terpaku, tutup kepalanya terlepas. Wajah maling itu begitu dingin. Matanya tajam, seolah ia telah sering melakukan pembunuhan. Ada guratan luka di pipinya, pastilah karena pertarungan tadi. Nang Leong bertambah ngeri, telinga kanan lelaki itu terpotong rata, tapi tak terlihat darah setetes pun.

Maling itu sesaat menoleh ke belakang, ke arah kamar mandi. Nang Leong memejamkan matanya, tubuhnya lunglai terkulai di lantai. 

***

Terdengar suara benda yang pecah dari dalam ruangan. Lamunan Nang Leong seketika buyar. Ia memandang Pan Gembul, yang juga balas memandangnya. Pan Gembul semakin kuat meremas jari-jarinya, “Aduh barang-barangku, disikat sudah,” batin Pan Gembul pasrah. Keduanya berkeringat dingin dan menelan ludah bersamaan. Nang Leong lantas memalingkan wajahnya, berpura-pura mengintip ke dalam. Ia mencoba menyembunyikan rasa takutnya, namun tangannya yang memegang gagang pintu gemetar dengan hebatnya. Pan Gembul mengerutkan kening, berusaha menepis kecemasannya, kemudian ia bertanya, “Apa yang terjadi di dalam, Pak?”

Nang Leong menatap wajah lelaki itu, hampir seperti merawang. Napasnya terengah, ingin sekali  berterus terang pada Pan Gembul bahwa ia tak sanggup meringkus maling itu. Nang Leong merasa keberaniannya semakin berkurang, tubuhnya kian lemas saja. Nang Leong benar-benar ketakutan, keringat kian deras mengucur, kakinya gemetaran dan pandangannya mulai mengabur. Seandainya saja ia bukan penjaga keamanan, ia tentu akan meninggalkan tempat itu segera dan kembali tidur di kamarnya.

“Pak Leong, ada apa?” suara Pan Gembul menyadarkannya. Nang Leong terkejut dan segera menyembunyikan wajahnya yang pias itu. Ia membetulkan sarung yang melorot dan tiba-tiba mengambil uang dari sakunya dan membentangkannya. Uang itu basah oleh keringat. Pan Gembul tidak mengerti, dan berulang memandangi wajah satpam kekar itu. Dalam hati ia mendesak Nang Leong agar segera saja mendobrak pintu dan meringkus maling yang tengah beraksi dalam kamarnya. Baginya setiap detik sangat berharga.

Pan Gembul sungguh heran saat Nang Leong dengan tiba-tiba menyodorkan uang itu padanya.

“Pak Leong tak jadi menolong saya?” tanya Pan Gembul cemas. Lelaki itu menggosok-gosokkan tangannya dan matanya menatap penuh harap. Penjaga keamanan itu diam saja. “ Ayolah Pak, ayo tolong saya,” pinta Pan Gembul dengan nada memelas.

Nang Leong terus menunduk. Ia mendengarkan suara-suara di dalam kamar. Ia mendengar lagi beberapa benda yang terjatuh dan bunyi derit benda yang digeser.

“Pak Leong,” Pan Gembul mengeluarkan dua lembar seratus ribuan dan menjejalkannya ke dalam tangan Nang Leong. Tanpa berkata-kata, Nang Leong menerima uang itu. Ia menarik napas berat seakan telah memutuskan pilihan yang sangat sulit. Ada lagi suara gaduh dari dalam kamar. Satpam itu memegang pentung karetnya semakin erat. Ia beranikan dirinya.

Sekali tendang, pintu itu terkuak. “Jangan bergerak, nanti saya tembak!” pekik Nang Leong. Ia sendiri heran mendengar ucapannya yang meluncur begitu saja dari mulutnya.

Namun kamar itu kosong. Hanya ada benda-benda berserakan, sebuah cangkir pecah dan taplak meja yang kusut. Angin mendesir, Pan Gembul dan Nang Leong saling pandang, menoleh bersama mencari arah datangnya hembusan itu. Mereka tercekat. Jendela telah terbuka sebagian.

Sesuatu bergerak di sudut,  di balik guci antik yang besar itu. Keduanya seketika waspada, ketegangan menggenangi ruang itu. “Keluar,” Nang Leong memerintah dengan suara parau dan nada datar agar terkesan lebih berwibawa. Ia seketika teringat wajah dingin pencuri yang membunuh ayahnya. Pan Gembul secepatnya memegang lengan Nang Leong. Sesuatu bergerak lagi di balik guci. Nang Leong mundur selangkah, bersiap dengan tongkat karetnya. Tanpa diduga, Nang Leong mengayunkan tangannya kuat-kuat. Brakk, pyarrr, guci itu pecah berantakan!!!

Sebuah bayangan melompat, Pan Gembul menjerit. Seekor kucing. Ya, seekor kucing hitam melompat dan hinggap tanpa suara di bantaran jendela. Sekilas sang kucing menoleh, matanya menyala memandang kedua orang itu. Lalu terjun ke luar, menghilang di kegelapan.

Nang Leong terperangah, terduduk lemas. Napasnya nyaris putus.

“Kucing itu….kucing itu tak punya telinga,” bisiknya lirih.

 

(foto chiby-ciber.com)

Ikuti tulisan menarik Ni Made Purnama Sari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu