x

Iklan

Yuli Afriyandi

Konsultan Koperasi dan UMKM
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pangan Kita Belum Merdeka!

Negara-negara adi daya dan kuat memiliki kelebihan pada ketahanan pangan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tanpa terasa kita telah merayakan hari ulang tahun kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang ke-69. Hari ulang tahun NKRI itu jatuh di bulan Syawal 1435 H yang beberapa minggu lalu umat Islam merayakan hari kemenangan setelah 1 bulan menjalankan ibadah puasa. Jadi, momentum hari kemenangan yakni kemerdekaan NKRI, juga masih bercampur dengan hari kemenangan hara raya Idul Fitri. Tentu dua simbol kemenangan ini akan berarti penting pada saat sekarang ini.

            Di tengah semarak euphoria kemenangan, bangsa Indonesia sadar atau tidak masih dihadapkan pada ancaman krisis pangan. Dengan terus meningkatnya jumlah pertumbuhan penduduk yang pada tahun 2013 mencapai 248,8 juta tentu berdampak pada meningkatnya permintaan bahan pangan baik jumlah, mutu dan keragaman. Pangan yang merupakan kebutuhan pokok hidup masyarakat yang hampir setiap rumah tangga membelanjakan minimal setengah dari pengeluarannya untuk membeli kebutuhan pangan itu. Kekhawatiran pada ancaman krisis pangan ini tentu beralasan ketika kita melihat semakin meningkatnya fenomena ketergantungan pada pangan impor.

            Besarnya nilai impor barang konsumsi pada April 2014 secara keseluruhan mencapai US $ 1,13 milyar. Hal ini meningkat dari bulan sebelumnya Februari dan Maret yang hanya mencapai US $ 898,6 milyar dan US $ 1,08 milyar (Sumber: BPS, Juni 2014). Dengan masih tingginya nilai impor barang konsumsi terutama bahan pangan ini merupakan salah satu indikator adanya potensi kerawanan pangan.  Impor bahan pangan bagi Indonesia yang berpenduduk besar dengan laju pertumbuhan penduduk 2010-2013 sebesar 1,42 persen pertahun merupakan potret buruk ketergantungan pada pihak asing dan tentu saja jika terus dibiarkan akan berdampak berbahaya bagi kedaulatan Negara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Tentu potensi kerawanan pangan ini mempunyai korelasi positif dan erat kaitannya dengan kemiskinan yang hingga saat ini penduduk miskin di Indonesia pada September 2013 masih mencapai 28,55 juta, dimana 10,6 juta diperkotaan (8,52%) dan 17,9 diperdesaan (14,42%). (Sumber; BPS, Juni 2014). Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan dimana masih tingginya penduduk miskin terutama di daerah perdesaan yang semestinya menjadi lumbung ekonomi. Alih-alih menjadi lumbung ekonomi, yang lebih mengkhawatirkan lagi selain tingkat kemiskinan yang tinggi, fenomena ketergantungan pada pangan yang sedemikian besar itu juga terjadi pada masyarakat perdesaan atau rumah tangga pertanian.

Kemerdekaan Pangan

Pada masa dahulu, Bung Karno, sang proklamator kemerdekaan Republik Indonesia telah menggelorakan kata ‘makanan adalah senjata’.  Hal ini Ia katakan jauh sebelum kalimat ‘food is a weapon’. Dari sini tentu kita dapat memetik makna bahwasanya perang belumlah usai dan mungkin tidak akan pernah usai. Namun sampai saat ini kita masih belum tersadarkan bahwasanya perang bukanlah harus ada bau mesiu, dentuman senjata dan genangan darah.

Perang yang harusnya kita fahami saat ini adalah perjuangan dalam mewujudkan kedaulatan pangan, melepas belenggu impor. Perang yang semestinya kita menjadi pemenang karena kita memiliki tanah yang subur, air yang berlimpah yang ini merupakan amunisi tak terhingga. Ketidak mampuan meraih kemerdekaan pangan berarti ketidakberdaulatan sebuah bangsa. Dan ketahanan suatu Negara tidak terlepas dari ketahanan pangan dari Negara tersebut. Kita masih mengingat jatuhnya Uni Soviet atau kekaisaran Romawi juga tidak terlepas dari melemahnya ketahanan pangan di Negara tersebut.

Menurut Agus Pakpahan (Tempo, 2012), Negara-negara besar (adi daya) dan kuat seperti Amerika Serikat atau Uni Eropa memiliki kelebihan pada ketahanan pangan. Adapun ciri utama dari kedua negara adidaya tersebut adalah tingkat kesejahteraan petaninya yang dijamin oleh negara dan sistem pertaniannya yang terus berkembang sebagaimana diperlihatkan oleh tingkat produktivitas per tenaga kerjanya serta oleh skala usaha lahannya yang semakin meluas.

Bagi Indonesia, kesejahteraan petani yang dijamin oleh Negara, serta meningkatnya produktivitas pangan, hanya menjadi harapan usang yang kerap berhenti di meja-meja diskusi. Kita mungkin pernah berbangga ketika pada tahun 1984 Indonesia mencapai swasembada beras. Namun itu adalah cerita lama yang kerap di ulang-ulang. Tidak adanya ketegasan pemerintah saat ini dalam membuat kebijakan investasi yang berkeadilan bagi penambahan lahan pertanian baru, pembangunan, dan rehabilitasi infrastruktur, seperti jaringan irigasi dan lain sebagainya yang itu tentu akan meningkatkan luas panen dan produktivitas.

Untuk itu, kedepan, siapapun yang menjadi pemimpin di Negeri gemah ripah loh jenawi ini harus bisa membangun kerjasama yang apik antara pemerintah pusat dan daerah, swasta dan BUMN, serta petani dalam upaya peningkatan produksi pangan domestik. Dan juga harus dapat mengatur dan menjaga keseimbangan antara kepentingan petani dan masyarakat umum agar produk pangan lokal tidak kalah pamor dengan produk impor baik dari segi kualitas maupun harga.

Karena pangan adalah kemerdekaan. Ketika Indonesia telah dapat mandiri dan tidak terikat dengan Negara lain dalam menentukan kebijakan pangannya guna menjamin hak atas pangan bagi rakyatnya dengan sumber daya lokal yang dimiliki, maka inilah kemerdekaan sesungguhnya. Namun jika belum, pertanyaannya adalah masihkah kita bangga merasa merdeka lalu merayakan kemerdekaan di saat kedaulatan pangan masih terjajah?.

Ikuti tulisan menarik Yuli Afriyandi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler