x

Salah satu band jazz saat pengisi acara musik Jazz di Atas Awan di pelataran Candi Arjuna Dieng (30/8). Pertunjukan Jazz ini dibalut dengan suhu yang mencapai 4 derajat celcius. TEMPO/Aris Andrianto

Iklan

Ni Made Purnama Sari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Misalkan Puisi dalam Melodi

Alih kreasi antarbidang seni makin intens dilakukan. Makin memperkaya makna puisi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seringkali kita mengibaratkan aneka hal elok sebagai puisi.

Salah satu pemisalannya yang tersohor adalah kutipan Pablo Neruda, penyair ngetop asal Chili, yang menyebut sepotong roti ialah cerminan dari puisi. Filosofinya menarik. Baginya, puisi tak perlu sekadar indah. Lebih jauh, puisi harus menemu perannya yang paling utama bagi kemanusiaan kita. Puisi yang baik serupa roti yang mengenyangkan batin kita, dan dengan demikian turut menyembuhkan berbagai kelindan persoalan kehidupan. Perumpamaannya ini tak pelak memukau hadirin yang menyaksikan penganugerahan Nobel baginya, nun di Swedia sana, pada tahun 1971.

Pengibaratan puisi lainnya dari Czelaw Milosz, sastrawan Cekoslowakia, mungkin kedengaran lebih tragik. Kurang lebih ia menyebut begini dalam salah satu esai dahsyatnya yang dirangkum dalam buku terjemahan bertajuk ‘Yang Terpasung’: Puisi adalah pekik tertahan seorang gadis Yahudi yang ditembak mati di jalanan kota Ceko lantaran gegas melarikan diri dari Ghetto. Ini jelas penggambaran yang tak romantik, berbeda dari citraan bahwa puisi merupakan seni untuk berbunga-bunga kata—yang kadangkala entah karena saking rigid molek, ia justru tak dimengerti oleh pembacanya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi, beberapa komposer akan mencoba memaknai puisi dengan cara mereka sendiri. Tahun ini, Dewan Kesenian Jakarta kembali menggelar Pekan Komponis Indonesia, satu program yang dimaknai sebagai wadah pertemuan dan diskusi para komponis muda dalam berinteraksi, bertukar pikiran, dan berdialog dengan para pakar musik yang kompeten di bidangnya. Digelar sejak tahun 1979, kegiatan ini digelar dengan maksud mendorong komponis Indonesia dalam mencipta musik atau ‘bunyi baru’ yang segar. Khusus tahun ini, acara yang dikemas dalam bentuk festival ini menghadirkan musik keroncong terpilih sebagai bagian dari upaya menghidupkan kembali langgam musik yang sarat makna estetis dan sejarah kebangsaan tersebut.

Nah, untuk mewarnai Pekan Komponis Indonesia yang digelar 22-26 Oktober 2014 itu, dihadirkan satu sesi diskusi yang membahas pertautan antara puisi dalam melodi. Yang hendak diungkap ialah perihal proses adaptasi puisi menjadi karya musik—hal yang sebenarnya membutuhkan tahapan-tahapan tersendiri.

Mengacu pada dua sajak yang dipilih khusus sebagai tema bahasan pada diskusi ini, antara lain Kangen ciptaan Rendra dan Que Sera-sera dari Nenden Lilis Aisyah, pembicara yang terdiri dari Fikar W. Eda  dan Linda Christanty--sama-sama menjabat di Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta—menajamkan topik perihal peran seni dalam kehidupan kekinian kita, termasuk juga kemungkinan alih kreatif antarbidang penciptaan sebagai ragam kreasi baru.

Bagaimana tantangan alih kreasi ini, serta proses apa saja yang harus ditempuh agar esensi puisi tidak tercerai dari eloknya lantunan melodi? Atau mungkinkah dengan upaya eksplorasi seni ini akan makin mendekatkan puisi pada masyarakat, sekaligus memberi peran yang lebih nyata lagi kontekstual bagi sajak-sajak kita, di tengah arus percepatan perubahan yang melanda segala lini?

Bagi yang ingin tahu hal-hal seputar alih kreasi itu, diskusi ini akan digelar pada Sabtu, 13 September 2014, pukul 16.00 di Kineforum, Taman Ismail Marzuki.

 

(Sumber foto: arsip tempo.co)

Ikuti tulisan menarik Ni Made Purnama Sari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu