x

Iklan

arjunaputra aldino

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Wacana Pilkada dan Opera Komedi Putar

Gajah-gajah bertarung, pelanduk mati terinjak-injak. Itulah diorama yang pas untuk menggambarkan kondisi pertengkaran elite nasional dewasa ini terkait wacana Pilkada. Sementara keadaan rakyat tetap tak banyak berubah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Wacana tentang pemilihan kepala daerah, atau yang biasa disebut dengan Pilakada, kini mencuat di berbagai diskusi publik bahkan tumbuh subur hampir di semua media massa. Wacana yang muncul menginginkan pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung, dengan alasan yang salah satunya menyatakan bahwa pemilihan langsung dengan model one man one vote dianggap tak efisien, memakan biaya tinggi dan memunculkan berbagai bentuk pelanggaran seperti money politic, suap-menyuap sampai model transaksional-dagang sapi. Namun anggapan itu patutlah diuji, apakah benar bahwa sistem pemilihan langsunglah yang menyebabkan biaya politik melambung tinggi? 

 

Benarkah yang menyebakan habitat politik kita penuh dengan intrik politik kotor adalah sistem pemilihan langsung? Seolah-olah sistem pemilihan langsunglah yang menjadi akar demokrasi kita menjadi defisit, sistem pemilihan langsung seolah-olah menjadi kambing hitam dari segala rusaknya demokrasi kita. Hal yang mengejutkan publik, keluhan terhadap sistem pemilihan langsung tiba-tiba meuncul begitu saja, padahal kita sudah melaksanakan sistem pemilihan langsung selama 15 tahun. Entahlah, apa motif dari itu semua.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

 

Jika kita bicara soal demokrasi maka kita tak bisa menghindar dari pembicaraan soal makna atau substansi dari demokrasi itu sendiri. Abraham Lincoln misalnya menyampaikan, bahwa demokrasi ialah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kata “untuk rakyat” disini berarti bahwa proses demokrasi diharapkan ada untuk rakyat, terutama proses demokrasi yang berjalan mampu menyejahterahkan kehidupan rakyat. Sedangkan perkara sistem pemilihan langsung ataupun tidak langsung ialah perkara tata cara atau mekanisme, perkara bagaimana proses demokrasi yang berjalan dipastikan memuat aspirasi, harapan dan keinginan yang berasal “dari rakyat”. Lantas berlanjut pada soal keterwakilan yang termuat dalam kata “oleh rakyat”, yakni untuk memastikan bahwa proses demokrasi yang berjalan dibawah kendali rakyat, kedaulatan politik berada di tangan rakyat.

 

 

Berbicara soal tata cara atau mekanisme, baik dalam bentuk pemilihan langsung maupun tidak langsung akan menjadi lebih substansial jika ia terlebih dulu mampu menjawab pertanyaan, apakah demokrasi yang sedang berjalan sudah benar-benar memuat aspirasi, harapan dan keinginan yang berasaldari rakyat? Jika kita menyentuh soal aspirasi dan harapan rakyat, maka kita bicara soal “agen” penyampai aspirasi rakyat yakni Partai Politik. Di dalam negara demokrasi, Partai Politik berfungsi sebagai wadah aspirasi rakyat dan pelaksana dari aspirasi tersebut. Mau tak mau, partai politik ialah agen penyampai aspirasi rakyat dan mewujudkannya dalam bentuk kebijakan publik. Karena partai politiklah yang dapat mengambil kebijakan publik melaui perwakilannya di parlemen dan pemerintahan. Sehingga Partai Politiklah yang mampu memastikan apakah aspirasi yang di usungnya benar-benar berasal dari rakyat, apakah perwakilannya di dalam parlemen dan pemerintahan benar-benar mewakili rakyat, dan apakah semua kebijakan publik yang diambil dari meja parlemen dan program pemerintah benar-benar untuk rakyat?

 

 

Apapun bentuk tata cara atau mekanisme pemilihan baik langsung maupun tidak langsung, jika Partai Politik tak mampu menjadi penyambung aspirasi rakyat, maka kedaulatan politik tidak berada di tangan rakyat. Perwakilan di parlemen dan pejabat pemerintahan tidak mewakili rakyat. Dan dapat dipastikan, demokrasi yang sedang berjalan bukan untuk rakyat. Sehingga akar permasalahan mengapa ruang-ruang politik kita penuh dengan money politic, suap-menyuap, politik transaksional-dagang sapi sampai defisitnya demokrasi kita ialah pada diri Partai Politik itu sendiri. Jika di lacak secara mendalam, kegagalan partai politik dalam menjalankan fungsinya hanyalah akibat dari perselingkuhan haram antara elite Oligarki dengan para pemburu rente.

 

 

Elite Oligarki ialah mereka elite-elite ekonomi-politik yang menguasai sumber-sumber ekonomi penting di negeri ini. Di tangan merekalah proses alokasi sumber daya ekonomi dipegang penuh. Mereka membutuhkan payung politik untuk memenuhi nafsu ekonominya melalui akses kebijakan seperti alokasi anggaran publik (APBN) sampai kebijakan yang terkait sektor bisnis seperti kontrak karya pertambangan, bisnis perminyakan, lisensi ekspor-impor dll. Untuk meraih nafsu ekonominya itu, mereka menggunakan jasa para pemburu rente yakni para politisi makelar yang menguasai sumber daya politik di republik ini. Mereka membutuhkan dana untuk mempertahankan kekuasaannya, untuk memelihara hubungan politik dengan basis konstituennya dengan menggunakan cara-cara instan seperti serangan fajar, dan bantuan-bantuan dana sosial dalam berbagai bentuk. Agar mereka dapat memenangkan dan menjadi juara bertahan di ajang pemilihan umum. Bahkan perkembangan terkini antara Oligarki dan pemburu rente nampak dalam satu wujud yakni pengusaha-politisi dan politisi-pengusaha.

 

 

Akhirnya fungsi kaderisasi politik partai dijalankan secara instan pula, dengan memberikan akses masuknya para pemodal. Bahkan kaderisasi partai sengaja dilakukan untuk merawat trah kekuasaan serta menjaga keberlangsungan karier politik dan mempertahankan penguasaan atas akses ke sumber-sumber finansial dengan memberikan akses leluasa kepada kerabat elit politik, dan kerabat birokrat (pejabat birokrasi) tanpa melalui seleksi yang terprogram. Partai hanya berfokus pada konsolidasi kekuatan finansial sebagai jalan utama untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan politiknya. Dan mau tak mau, proses pendidikan kader yang dipersiapkan untuk menduduki jabatan publik pun tak dijalankan bahkan partai pun defisit regenerasi kepemimpinan. Yang menjadi korban ialah menurunnya kualitas kinerja lembaga-lembaga negara, baik legislatif maupun eksekutif.

 

 

Senyawa antara Oligarki dan pemburu rente inilah yang menjadi sutradara dari semua skenario di panggung politik nasional kita. Mereka yang menentukan bagaimana demokrasi harus berjalan, ke arah mana keuntungan-keuntungan ekonomi-politik mengalir hingga akhirnya mengubah fungsi negara. Gerak politik nasional kita hanya berjalan melingkar dalam pusaran senyawa Oligarki dan para pemburu rente ini. Termasuk munculnya wacana terkait sistem pemilihan Pilkada yang ada saat ini hanyalah “opera komedi putar” dari para Oligarki dan pemburu rente berebut sumber daya politik dan ekonomi dengan penentuan format prosedur pemilihan kepala daerah.

 

 

Gajah-gajah bertarung, pelanduk mati terinjak-injak. Itulah diorama yang pas untuk menggambarkan kondisi pertengkaran elite nasional dewasa ini terkait wacana Pilkada.  Sementara keadaan rakyat tetap tak banyak berubah. Rakyat malah makin terjepit. Kemiskinan, kelaparan, dan beragam penderitaan masih mencengkeram sebagian besar rakyat kita. Mereka menggunakan jargon-jargon mulia seperti demokrasi, HAM, kepentingan rakyat untuk melindungi kepentingannya. Padahal bagi rakyat kecil, prosedur demokrasi baik pemilihan langsung ataupun tak langsung tidaklah penting. Bagi rakyat kecil, hasil akhir suatu proses politik jauh lebih penting, yakni tingkat kesejahteraan yang membaik, pendidikan murah, pangan yang cukup, harga BBM yang terjangkau, lapangan kerja tersedia, dan suasana damai. 

Ikuti tulisan menarik arjunaputra aldino lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler