x

Narapidana kasus korupsi, M Nazaruddin, usai mencoblos pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di penjara khusus koruptor Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, Rabu 9 Juli 2014. TEMPO/Prima Mulia

Iklan

Ni Made Purnama Sari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Akhir Gembira Tanpa Efek Jera

Seperti novel besutan Anthony Burgess, pelaku kejahatan memang dihukum di negeri ini. Namun sungguhkah telah beri efek jera?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Selama berhari-hari media massa tak henti menayangkan berita dinamika politik Indonesia. Selama berhari-hari pula, nyaris di setiap tempat yang saya datangi, orang-orang berdebat seru tentang langkah-langkah Jokowi, penilaian atas sikap SBY, atau kecemasan akan bercokolnya kekuasaan oligarkhi. Bila tak ikut nimbrung, kadangkala saya lebih suka mencuri dengar percakapan mereka, yang opini-opininya dilontarkan begitu bersemangat laiknya para pengamat di televisi itu.

Namun lama-kelamaan, di tengah hangatnya debat-debat di akar rumput itu, entah mengapa saya justru teringat pada novel lama yang pernah saya tamatkan, 'A Clockwork Orange' besutan Anthony Burgess. Ini boleh dikata hal yang mengherankan, karena sejujurnya bagi saya itu buku bukanlah karya yang terbilang baik, terutama karena isi adegan per adegan tidak senonoh, memuat kebandelan anak remaja yang 'kebangetan', dan juga kata-kata kotor yang bertaburan di sana-sini. Lain dari itu, agaknya 'A Clockwork Orange' sama sekali tak ada hubungannya dengan kemelut politik dan pertentangan kekuasaan para elit yang mengemuka belakangan ini--terkecuali mungkin, satu bagian buku yang menerangkan rekayasa pemerintah dalam membentuk nilai-nilai keluhuran masyarakat.

Ya, nilai-nilai keluhuran di masyarakat. Bila Anda pernah membaca buku yang dibuat paruh tengah abad ke-20 itu, akan ditemukan satu bagian yang cukup menarik. Alex, si tokoh utama pada novel, lantaran tindak kejahatan yang dilakukannya (tanpa sengaja membunuh seorang wanita tua saat percobaan perampokan), dijatuhi hukuman bertahun-tahun penjara. Kebetulan, setelah dua tahun menjalani nasib di bui, pemerintah mencanangkan teknik baru bagi para napi yang ingin lekas bebas: si terdakwa harus menyaksikan film-film berbau kekerasan, sadistis, dan kekejaman tak terkira selama empat hari empat malam. Mungkin syarat bebas ini kedengaran gampang. Akan tetapi, ternyata tidak begitu jadinya. Alex yang tergiur oleh praktik 'cuci otak' secara instan itu, malahan menderita karena beban psikologis pasca menyaksikan film-film tersebut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Alex harus membayar kebebasaannya dengan harga yang sedemikian mahal. Ia tidak diterima oleh keluarganya, sebab dianggap sebagai anak muda kurang ajar. Ia dikhianati teman satu geng bahkan dipukuli sampai nyaris pingsan. Belum sampai di sana, ia pun dihajar habis-habisan oleh kutu buku perpustakaan yang dulu sempat dijahilinya. Sebagai penutup kesialannya, Alex berhadapan dengan pria penulis yang istrinya pernah ia gagahi secara brutal bersama teman satu gengnya, yang notabene masih kanak-kanak remaja itu. Bukannya membalas perlakuan buruk yang diterimanya, Alex justru tak berdaya. Ia bukan laki-laki yang gampang marah dan adu tinju sebagaimana dulu. Cuci otak di penjara itu telah melumpuhkan niatan kekerasan dalam hatinya. Alhasil, Alex mesti mengalami kekerasan secara bertubi-tubi.

Adakah kita harus bersimpati padanya? Di sinilah konflik yang dihadapi oleh pembaca. Bisakah kita bersimpati pada pelaku kejahatan yang tindakannya sudah sangat keterlaluan? Atau, bila dikaitkan dengan kenyataan sekarang, sanggupkah kita meyakini bahwa niatan buruk dan curang seseorang dapat memudar dengan sendirinya, kendati ia telah menjalani hukuman pidana yang dijatuhkan? Bahwa si jahat kelak dapat menjadi sosok baik?

Setidak-tidaknya, buku itu membuat saya merenung: apakah betul ada hukuman yang benar-benar setimpal bagi orang-orang bersalah? Satu koruptor yang merugikan negara miliaran rupiah dan nilai uang itu setara dengan biaya pendidikan 12 tahun bagi ribuan anak-anak miskin di Indonesia, ternyata hanya mendekam empat tahun penjara. Itu pun bisa dipotong dengan remisi di sana-sini, atau subsider ini-itu. Selepas bebas, ia pun masih punya akses ekonomi dan kuasa, sehingga masih berkesempatan hidup 'layak'. Pendeknya, kisah pelaku korupsi di negeri ini berakhir 'happy-ending', hampir mirip kisah Alex yang namanya diputihkan dan beroleh simpati dari pemerintah yang menyatakan bahwa program 'cuci otak' itu sungguh gagal total.

Adakah koruptor kita pun punya karakter sama seperti Alex, yang pada akhir buku disebutkan bahwa kendati tuntas menjalani 'cuci otak' itu, naluri kejahatannya justru muncul kembali di saat semua orang bersikap baik terhadapnya. Entahlah. Entahlah.

Kalau melihat kondisi itu, mungkinkah, kita bisa menemukan seorang pelaku kejahatan di Indonesia yang benar-benar jera dan bersungguh tak mengulangi kecurangannya lagi?

Sumber foto: Arsip Tempo.co

Ikuti tulisan menarik Ni Made Purnama Sari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu