x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Belajar dari Peraih Prestasi Puncak

Meraih prestasi puncak bukanlah hak istimewa orang tertentu. Siapapun mampu asalkan memahami potensi diri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Peak performers see the ability to manage change as a necessity in fulfilling their missions
--Charles Garfield (Psikolog)

 

Kita barangkali pernah merasa iri mengapa orang lain bisa meraih prestasi sangat bagus? Membandingkan dengan upayanya, kita mungkin merasa sudah bekerja keras. Sangat keras malah, hingga kita melupakan hal-hal lain yang menyenangkan, yang kita sukai. Namun, capaian kita ternyata sedang-sedang saja.

“Mengapa sebagian orang mampu meraih prestasi puncak dan yang lain tidak?” Pertanyaan kita ini serupa dengan pertanyaan yang diajukan Charles Garfield. Beberapa tahun yang silam ia melakukan riset untuk menjawab pertanyaan itu. Bersama stafnya di lembaga riset Peak Performance Center, Berkeley, AS, Garfield mencermati 1.500-an orang yang sukses di berbagai bidang kehidupan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagaimana hasil risetnya? Garfield menyebutkan sejumlah aspek yang membuat orang-orang berkinerja puncak (peak performer) ini meraih keberhasilannya.

Jalanilah hidup sepenuhnya; ini yang pertama. Kita mungkin kerap mendengar adanya orang-orang yang berkemauan keras, hingga membawa pekerjaan kantor ke rumah dan berkutat hingga larut malam. Orang-orang seperti ini, kata Garfield, cenderung mencapai puncaknya pada saat yang dini. Lalu prestasinya akan menurun. Mereka asyik dengan pekerjaan itu sendiri dan tidak peduli pada hasilnya.

Orang-orang yang berprestasi puncak memang selalu bekerja keras, tapi dalam batas-batas yang tegas dan jelas. Bagi mereka, bekerja bukanlah segala-galanya. Dalam risetnya, Garfield mewancarai pimpinan puncak 10 perusahaan. Mereka, menurut Garfield, justru tahu bagaimana bersantai, mereka tak mau membawa pekerjaan ke rumah, dan mereka berteman akrab dengan tetangga dan sahabat.

Garfield juga mendapati bahwa orang-orang yang meraih prestasi puncak memilih pekerjaan yang benar-benar mereka senangi. Mereka memakai dua pertiga waktu kerjanya untuk menyelesaikan pekerjaan yang mereka sukai dan waktu sisanya untuk menggarap pekerjaan lain. Mereka menginginkan kepuasan yang lebih “dalam” daripada kepuasan “luar” seperti kenaikan pangkat, gaji, dan kekuasaan.

Namun pada akhirnya seringkali mereka memperoleh keduanya. Ini bisa dimengerti. Lantaran mereka menikmati apa yang mereka lakukan, maka hasilnya menjadi lebih baik dan gaji mereka pun jadi lebih baik. Di dalam kesenangan lazimnya tersimpan passion. Karena senang, kita mengerjakan sesuatu dengan penuh semangat dan suka cita. Hasilnya niscaya lebih bagus ketimbang bila bekerja di bisang yang kurang atau malah tidak disukai.

Kebiasaan melakukan mental exercise juga berkontribusi positif. Maksudnya adalah melakukan latihan di dalam pikiran guna menghadapi tugas-tugas yang menanti. Sebelum masuk ke dalam situasi sulit yang nyata, menurut Garfield, para peraih prestasi puncak membayangkan tindakan yang akan mereka ambil bila menemui situasi itu.

Mereka bukan mengkhayal, melainkan melakukan kalkulasi mental yang melibatkan ketrampilan yang dibutuhkan untuk suatu aktivitas. Hasilnya ternyata luar biasa. Seorang pemain piano berkebangsaan China, yang selama masa Revolusi Kebudayaan, ditahan di penjara selama tujuh tahun, masih mampu bermain piano dengan baik pada saat ia keluar dari penjara. “Setiap hari saya melakukan latihan di dalam pikiran,” ujarnya.

Mereka mengejar hasil, bukan kesempurnaan. Banyak orang yang ambisius dan bekerja habis-habisan untuk mengejar kesempurnaan, tapi hasil yang dicapai begitu kecil. Seorang manajer menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk menyelesaikan rencana pemasaran, dan ketika rencana itu dieksekusi pasar sudah berubah sebab para pesaing yang bekerja lebih cepat lebih dulu menuai hasil.

Garfield menyebutkan bahwa mereka yang berpenampilan puncak selalu bebas dari keinginan untuk sempurna. “Mereka tidak menganggap kesalahan sebagai kegagalan,” katanya. “Bahkan dari kegagalan, mereka belajar untuk tampil lebih baik pada kesempatan berikutnya.”

Orang-orang yang prestasinya bagus umumnya orang-orang yang rela menanggung risiko. Banyak orang yang senang menetap di zona kenyamanan (comfort zone). Daripada mengambil kesempatan baru, betapapun menggiurkan, banyak orang lebih suka berada di wilayah yang aman, kendati ia harus membayar hal itu dengan keadaan yang biasa-biasa saja dan rasa bosan. Tak banyak orang yang sanggup dan berani memikul tanggung jawab besar dengan keluar dari zona kenyamanan.

Mereka yang mampu meraih prestasi puncak, menurut Garfield, berani memikul risiko sebab mereka telah mempertimbangkannya secara cermat, termasuk bagaimana mereka akan bersikap jika ternyata gagal. Di sinilah kontribusi mental exercise sangat berperan.

“Jika saya ingin mengambil keputusan penting,” ujar seorang eksekutif, “maka di dalam imajinasi saya, saya membuat kalkulasi mengenai situasi yang paling buruk. Saya membayangkan hal terburuk yang bisa terjadi jika rencana itu saya jalankan, dan saya bertanya pada diri sendiri, apa yang akan saya lakukan? Dapatkah saya hidup dengan kegagalan itu? Seringkali, saya menjawab ya. Jika tidak, saya tidak mau mengambil peluang itu.”

Dengan membangun “skenario kasus yang paling buruk” seperti kata Garfield, Anda bisa membuat pilihan yang rasional. Jika Anda tetap terpukau oleh ketakutan, Anda tak akan mempunyai pilihan sama sekali.

Terkadang orang menyepelekan potensi orang lain, tapi yang lebih buruk dari itu ialah menyepelekan potensi diri sendiri. Kita mungkin lebih terbiasa melihat keterbatasan-keterbatasan yang ada dalam diri kita ketimbang melihat kelebihan-kelebihah yang kita punya. Dalam banyak hal, apa yang kita “tahu” mengenai keterbatasan itu bukan fakta yang nyata, melainkan hanya kepercayaan yang membatasi diri sendiri. “Ini merupakan kendala terbesar untuk meraih prestasi tinggi,” ujar Garfield.

Dahulu, orang “tahu” bahwa “tidak mungkin” bagi manusia untuk lari sejauh 1,5 km dalam waktu kurang dari 4 menit. Berbagai tulisan di jurnal kedokteran, menurut Garfield, juga telah “membuktikan” bahwa tubuh manusia tidak mungkin melakukannya. Tapi kemudian, pada 1954, Roger Bannister menembus batas 4 menit itu. Dua tahun berikutnya, ada 10 atlet lagi yang mengikuti jejaknya.

Fakta itu bukan berarti manusia tidak memiliki batas kecepatan. Namun, sebenarnya kita jarang mengetahui secara tepat di mana batas itu. Tak heran bila banyak di antara kita yang menetapkan ambang batas jauh di bawah apa yang sebenarnya dapat kita raih. Para peraih puncak justru mampu mengabaikan batas-batas semu ini.

Mereka yang berpenampilan puncak lebih memusatkan perhatian pada bagaimana melakukan usaha yang lebih baik dari sebelumnya ketimbang sekedar menaklukkan pesaing. Kerisauan terhadap kemampuan pesaing acapkali membawa pengaruh yang merusak diri kita. Alih-alih memikirkan persaingan dengan orang lain, mereka memilih bersaing dengan diri sendiri.

Para peraih prestasi puncak umumnya mampu melakukan kerja dengan standar sendiri. Mereka cenderung menjadi “pemain inti” daripada “pemain tunggal”. Mereka tahu bahwa persoalan yang rumit akan bisa ditangani dengan lebih baik oleh kelompok daripada oleh orang per orang. Mereka rela membiarkan orang lain melakukan peranannya atas pekerjaan itu. “Pemain tunggal”, yang acapkali terlalu takut terhadap pesaing, tak bisa mendelegasikan pekerjaan atau pengambilan keputusan yang penting. Penampilan mereka terbatas sebab mereka ingin melakukan segalanya sendiri.

Jika ingin lebih memanfaatkan bakat Anda, belajarlah mempergunakan ketrampilan itu. Anda mempunyai daya untuk mengubah kebiasaan berpikir Anda dan memperoleh kekuatan tertentu. Jika ini yang Anda lakukan, Anda bisa meningkatkan kinerja, produktivitas, dan kualitas keseluruhan hidup Anda. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler