x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Recall Mobil, Tekanan Persaingan, dan Pertumbuhan Agresif

Setiap tahun, jutaan kendaraan dari berbagai merek ditarik dari peredaran. Pertumbuhan agresif dapat menciptakan risiko yang tak dapat dikelola.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Hanya dengan memeriksa persoalan secara langsung, seseorang dapat membuat keputusan dari perspektif pelanggan.”
--Akio Toyoda (CEO Toyota Motor Corp., 1956-...)

 

Setiap tahun, recall mobil menjadi fenomena yang selalu terjadi. Beragam merek dari berbagai produsen mobil ditarik dari peredaran karena produsen harus mengutamakan keselamatan konsumen dalam berkendaraan. Dalam beberapa kasus, recall menjadi peristiwa yang menarik perhatian kalangan yang sangat luas.

Pada tahun 2009-awal 2010, misalnya, merek Toyota menghadapi guncangan. Setelah menghentikan sementara penjualan dan produksi delapan jenis mobil yang paling laku di Amerika Serikat, dan menarik kembali (recall) lebih dari 9 juta unit mobil di seluruh dunia, Toyota menghadapi kemungkinan rugi jutaan dolar AS. Menjaga reputasi bagus perusahaan di abad ke-21 memang urusan yang sangat sukar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jika Anda meng-google Toyota, maka pada Februari tahun itu, di antara berita yang muncul dalam daftar teratas antara lain adalah “Toyota recall”, khususnya di Amerika Serikat. Di mana-mana orang membicarakannya, sehingga orang membandingkannya dengan krisis yang dialami Johnson & Johnson pada 1982 ketika beberapa orang meninggal karena keracunan sianida dari botol Tylenol—yang kemudian diketahui bahwa kejadian ini bukan akibat dari produk yang cacat.

Situasinya sama-sama krisis, namun kabar buruk yang menimpa Johnson & Johnson tidak menyebar secepat yang dialami Toyota. Saat itu, Johnson & Johnson tidak harus mencemaskan Internet, sebab Internet memang belum lagi ada. Di saat sekarang, strategi untuk menangani krisis mungkin saja serupa, tetapi eksekusinya berbeda.

Gene Grabowski, chair of crisis and litigation practice di Levick Strategic Communications, ketika itu mengatakan kepada majalah Newsweek bahwa Toyota harus memanfaatkan media sosial untuk mengatasi persoalan, tanpa perlu bertanya lagi. Tidak ada keraguan bahwa banyak sekali halaman dan grup Facebook Toyota di luar sana. Toyota perlu memposting kepada mereka, bergabung dengan mereka, dan harus memulai halaman recall yang resmi di Facebook, di mana para insinyur dapat mem-posting solusi yang mereka tawarkan. Toyota harus mengambil jalan ini sebagai cara agar pesainnya sampai ke luar, bukan lari dari mereka—yang di antaranya pasti konsumen Toyota.

Pelanggan dapat menerima bahwa Anda dan perusahaan Anda tidak sempurna. “Yang mereka tidak bisa terima,” kata Grabowski, “ialah bahwa Anda tidak transparan. Kasus ini menunjukkan bahwa Anda tidak lagi memiliki kontrol penuh atas rantai pasokan Anda.”Dalam suatu konferensi pers di markas Toyota, Jepang, Februari 2010, CEO Toyota Motor Corporation Akio Toyoda—yang juga cucu pendiri Toyota—menyangggah bahwa ia bersembunyi dari wartawan saat isu berkembang. “Saya hanya terlambat mengeluarkan pernyataan ini,” tukasnya.

Isu pasokan muncul dalam kasus penarikan-kembali mobil Toyota, sebab karpet lantai dan pedal gas dibuat oleh perusahaan lain. Pedal gas untuk Toyota dibuat oleh perusahaan CTS dari Elkhardt, Indiana, AS. Ketika ditanya oleh suratkabar The New York Times mengenai masalah yang mungkin disebabkan oleh CTS, juru bicara Toyota Mike Michels berkata, “Saya tidak ingin masuk ke dalam percekcokan dengan CTS. Posisi kami mengenai pemasok selalu jelas bahwa Toyota bertanggungjawab atas mobil-mobil itu.”

Memantau rantai pasokan merupakan faktor kritis bagi perusahaan yang mengandalkan pemasok pihak ketiga. Hal ini semakin berlaku bagi berbagai industri yang lebih luas, bukan hanya mobil, sebab bisnis tumbuh semakin global. Perusahaan yang cerdas akan berusaha mengenal lebih dekat pemasok mereka, mengetahui kekuatan dan kelemahan masing-masing—bukan untuk menekan, melainkan untuk saling mengisi kekurangan.

Diwilayah ini Toyota kelihatannya bertindak dengan baik, mengambil tanggung-jawab atas kondisi mobil yang diterima konsumen, walaupun menurut para pengamat mungkin agak terlambat bertindak. Duapuluh tahun sebelumnya atau tahun 1990, ketika Audi menghadapi isu keselamatan yang serupa dengan Toyota, kata David Cole, waktu itu Direktur Center for Automotive Research, AS, Audi mengambil posisi bahwa “itu kesalahan pengemudi.” Reaksi atas pernyataan itu, menurut Cole, telah merusak reputasi Audi.

Sebagai respons atas gangguan pada mobil yang sudah dipasarkan dan kemudian ditarik kembali, Akio Toyoda mengaku sudah bergerak cepat dengan mengunjungi beberapa dealer Toyota dan memastikan para mekanik melakukan perbaikan dengan tepat dan cepat. Ini merupakan upaya untuk menghimpun fakta dan mengelola risiko dengan segera. Salah satu aspek yang lebih sukar dalam recall Toyota ialah sumber persoalan yang berlainan.

Sejumlah kritikus menyatakan, ketidakpastian bukanlah aset, terutama ketika nyawa dipertaruhkan. Sementara itu, perusahaan pada umumnya tidak mampu memprediksi kapan krisis mungkin terjadi. Namun, program-program penilaian risiko internal yang berjalan dengan baik dapat membantu mengidentifikasi wilayah-wilayah bisnis di mana manajemen harus waspada. Program manajemen risiko yang kukuh membantu perusahaan menangani persoalan sebelum meledak di tengah publik.

Sebagian pengamat industri otomotif menilai Toyota kurang memberi perhatian pada hal-hal yang telah diketahui oleh Toyota sebagai organisasi. Salah satu hal yang Toyota tahu dan terlupa, menurut Paul Ingrassia, penulis buku baru tentang industri otomotif, Crash Course, ialah “tidak pernah membangun… produk baru di pabrik baru dengan tenaga kerja baru.”

‘Tiga tidak pernah’ ini, menurut Ingrassia, menawarkan wawasan yang berguna untuk melihat bagaimana organisasi seharusnya memadukan pengetahuan dengan pertumbuhan jika mereka ingin berhasil di pasar global. Ketika kita bergerak ke era bisnis yang knowledge-intensive, tidaklah mengejutkan bahwa ‘mengetahui sesuatu’ menjadi sama penting, jika bukan lebih penting, daripada ‘membuat sesuatu’.

Situasi Toyota telah diuraikan oleh Bala Chakravarthy dan Peter Lorange dalam buku mereka, Profit or Growth; Why You Don't Have to Choose. Mereka berpandangan, perusahaan yang fokus pada pertumbuhan dapat berkembang dengan cara membuka pasar baru atau dengan menawarkan  kompetensi baru, tapi seyogyanya tidak melakukan kedua hal itu pada saat yang bersamaan.

Pertumbuhan yang agresif dapat menciptakan risiko yang tidak dapat dikelola. Keinginan Toyota untuk menggantikan General Motors sebagai pembuat mobil nomor 1 di dunia mendorong perusahaan ini ke batas luar kontrol kualitasnya. “Bukti bahwa Toyota berkembang terlampu banyak dan terlalu cepat mulai muncul dua tahun yang silam,” tulis Paul Ingrassia, peraih Hadiah Pulitzer, untuk The Wall Street Journalpada tahun 2010. “Bukan pada bottom line perusahaan, tapi pada peringkat kualitas-mobilnya.”

Kasus recall juga mengingatkan banyak orang untuk selalu berpandangan jauh ke depan. Ada tiga faktor terdepan yang mengkilapkan reputasi perusahaan di masa kini. Dan itu, Richard Edelman, eksekutif sebuah perusahaan public relations, ialah “produk dan jasa yang berkualitas, perusahaan yang dapat saya percaya, dan transparansi praktek bisnis.”  

Reputasi dapat hilang dengan mudah, dan reputasi Toyota memang terancam, tetapi mungkin perusahaan ini tidak akan ambruk sama sekali, setidaknya tidak dalam waktu dekat. Reputasi Toyota dalam hal produk yang berkualitas dan tanggungjawab perusahaan yang telah dikembangkan selama berpuluh tahun merupakan aset berharga dalam pekan-pekan dan bulan-bulan mendatang setelah recall besar-besaran terjadi. Dan ketahanan Toyota ini terbukti.

Karena itulah di hadapan Kongres AS, waktu itu, Akio berusaha keras meyakinkan anggota Kongres maupun masyarakat Amerika bahwa Toyota berusaha keras mengatasi persoalannya. “Saya ingin memusatkan komentar saya pada tiga topik—filosofi dasar Toyota berkenaan dengan kontrol kualitas, penyebab recall, dan bagaimana kami akan mengelola kontrol kualitas di masa datang,” ujarnya saat memulai pidatonya.

Dengan rendah hati, Akio mengakui bahwa dirinya, juga Toyota, tidak sempurna dan berkali-kali menemukan cacat. “Namun dalam situasi semacam itu, kami selalu berhenti, berusaha memahami persoalan, dan membuat perubahan untuk memperbaiki lebih lanjut. Atas nama perusahaan, tradisinya yang panjang dan kebanggaannya, kami tidak pernah lari dari persoalan kami atau berpura-pura kami tidak memperhatikannya,” kata cucu pendiri Toyota itu. “Dengan melakukan perbaikan terus-menerus, kami bermaksud terus menawarkan produk yang lebih baik bagi masyarakat. Itulah nilai inti yang kami pegang teguh dalam hati kami sejak hari-hari berdirinya perusahaan ini.”

Akio juga mengulangi prinsip penting yang dianut Toyota bahwa kunci dalam membuat produk berkualitas ialah mengembangkan orang yang berkualitas. Masing-masing karyawan berpikir tentang apa yang harus ia lakukan, terus-menerus melakukan perbaikan, dan dengan berbuat seperti itu berarti menciptakan mobil yang lebih bagus. Ia menyatakan, Toyota telah terlibat aktif dalam mengembangkan orang serta berbagi nilai-nilai inti dan menjalankannya. “Ini telah berlangsung lebih dari 50 tahun sejak kami mulai menjual mobil di negeri yang besar ini, dan lebih dari 25 tahun sejak kami mulai berproduksi di sini. Dan dalam proses ini, kami telah mampu berbagi nilai inti ini dengan 200 ribu orang di operasi, dealer, dan pemasok Toyota di negeri ini,” ucap Akio waktu itu.

Dalam pengakuannya di hadapan Kongres waktu itu, 24 Februari 2010, Akio menyebutkan bahwa Toyota telah mengembangkan bisnisnya dengan cepat. Ia secara terus terang mencemaskan pertumbuhan yang mungkin terlalu cepat. “Saya ingin menunjukkan bahwa prioritas Toyota secara tradisional ialah pertama, keselamatan, kedua, kualitas, dan ketiga, volume. Prioritas ini telah dikacaukan, sehingga kami tidak mampu berhenti, berpikir, dan membuat perbaikan seperti yang kami mampu sebelumnya, dan sikap dasar kami untuk mendengarkan suara pelanggan untuk membuat produk yang lebih baik agak melemah,” ujarnya.

Akio mengakui, perusahaannya mengejar pertumbuhan melebihi kecepatan yang mampu dicapai organisasi dalam mengembangkan orang-orangnya dan organisasinya. “Di bawah kepemimpinan saya, saya ingin menegaskan kembali nilai-nilai kami yang menempatkan keselamatan dan kualitas pada prioritas tertinggi kami,” kata Akio.

Ada sejumlah langkah yang ditempuh Toyota untuk memperbaiki reputasi dan kinerjanya. Antara lain, setiap keputusan untuk melakukan recall dibuat oleh Customer Quality Engineering Division di Toyota Motor Corporation, Jepang. Divisi ini menegaskan apakah ada persoalan teknis dan membuat keptusan apakah harus meakukan recall. “Namun, becermin atas isu hari ini, yang kami tidak punyai ialah perspektif pelanggan,” ucap Akio.

Karena itu, proses pengambilan-keputusan mengenai recall segera diubah. Ketika keputusan recall dibuat, sebuah langkah akan ditambahkan dalam proses itu guna menjamin bahwa manajemen akan membuat keputusan yang bertanggungjawab dari perspektif ‘keselamatan pelanggan yang utama’. Toyota akan menggunakan sistem di mana suara pelanggan dari seluruh dunia akan sampai kepada manajemen dengan cara yang tepat, dan juga sistem di mana tiap kawasan mampu membuat keputusan yang diperlukan.

Toyota juga membentuk quality advisory group yang terdiri atas ahli-ahli dari Amerika Utara dan seluruh dunia untuk memastikan bahwa manajemen tidak membuat keputusan yang menyesatkan. “Akhirnya kami akan berinvestasi banyak dalam kualitas di AS, melalui pendirian Automotive Center of Quality Excellence, memperkealkan posisi baru–Product Safety Executive, dan berbagi lebih banyak informasi dan tanggungjawab dalam perusahaan berkaitan keputusa mengenai kualitas produk, termasuk cacat dan penarikan-kembali,” ujar Akio.

Namun yang lebih penting, menurut Akio, ia menjamin bahwa anggota tim manajemen benar-benar mengendarai mobil itu dan dapat memeriksa sendiri di mana letak persoalannya serta kepelikannya. “Saya sendiri adalah test driver yang terlatih,” kata Akio. “Sebagai profesional, saya mampu memeriksa persoalan dalam sebuah mobil, dan dapat memahami betapa pelik masalah keselamatan dalam sebuah mobil.” Akio mengendarai kendaraan yang ditarik-kembali karena pedal gasnya seperti Prius, untuk kemudian membandingkan mobil itu sebelum dan setelah perbaikan saat dikendarai di berbagai jenis lingkungan. “Saya percaya bahwa hanya dengan memeriksa persoalan secara langsung, seseorang dapat membuat keputusan dari perspektif pelanggan. Orang tidak dapat mengandalkan laporan atau data di ruang rapat,” ujarnya lagi.

Dengan tekad sebesar itu, walaupun telah menarik jutaan mobil, Toyota kelihatannya masih akan menonjol di industri mobil dan berinovasi dalam caranya membentuk masa depan. (Foto: Tempo.co) *** 

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler