MUNGKIN karena tidak pernah bertemu dengan Kakeknya, seringkali Si Sulung menanyakan kisah hidup almarhum Ayahku. Beliau meninggal dunia lima tahun sebelum aku menikah. Sementara anakku lahir setelah aku naik pelaminan setahun kemudian.
Terus terang aku sendiri tidak dapat menjelaskannya secara rinci, karena seingatku almarhum jarang ngobrol denganku. Dan lebih banyak menikmati buku, majalah, ataupun koran. Kalaupun sekarang aku mengetahui penggalan-penggalan kisah hidup Kakek anakku itu, kebanyakan yang aku dengar dari teman semasa kecilnya, dan teman seperjuangannya.
“Seperti yang sering diceritakan Mang Amun, teman semasa kecil almarhum, dan yang pernah kubaca dari catatan almarhum Nenekmu, Kakekmu lahir sekitar tahun 1928. Dan saat tentara Jepang masuk ke Indonesia, beliau bergabung dengan organisasi PETA (Pembela Tanah Air). Jadi di usia sekitar 14 tahun beliau sudah mulai berkenalan dengan yang namanya perjuangan. Konon menurut Mang Amun, Kakekmu bergabung dengan PETA setamatnya bersekolah di Sekolah Rakyat saat itu. Kebetulan Mang Amun masih hidup. Kapan-kapan kamu bisa langsung menanyakannya.”
“Terus waktu perang kemerdekaan Kakek ikut berjuang juga?’ sela Si Sulung.
“Nah, kalau kisah semasa itu Bapak mendengarnya dari Abah Mita. Konon ketika itu Kakekmu bergabung dengan pasukan Hizbullah. Dan suatu ketika beliau ditangkap oleh pasukan Belanda, karena ulah teman satu kampung yang menjadi kaki-tangan pasukan Belanda itu. Bahkan tentang masalah itu pernah diceritakan langsung oleh Kakekmu kepada Bapak. Karena sebelumnya Bapak mendengarnya dari Mang Amun dan beberapa orang saudara Kakekmu. Pertama kali mendengar kisah tersebut, ketika Bapak masih SMP. Dan membuat Bapak menjadi marah usai mendengarnya.
Betapa tidak, konon Kakekmu oleh pasukan Belanda ditahan di dalam gerbong kereta api yang tertutup. Dan hampir satu bulan disekap, beliau tidak diberi makan dan minum! Untuk bertahan hidup, beliau saban pagi menjilati titik-titik embun yang menempel pada atap seng gerbong kereta api. Atau sesekali makan ubi kayu yang diselundupkan secara sembunyi-sembunyi oleh orang-orang yang kan berjualan ke pasar.
Terus terang Bapak menjadi marah mendengarnya. Sehingga dengan setengah memaksa, Bapak bertanya langsung kepada Kakekmu tentang peristiwa itu. Dan sebelum menceritakannya, Kakekmu terlebih dahulu berpesan kepada Bapak supaya jangan mendendam kepada orang yang telah berkhianat kepadanya. Karena Kakekmu juga telah memaafkannya.
Setelah dibebaskan oleh pasukan Belanda, Kakekmu kemudian bergabung dengan pasukan Siliwangi, dibawah pimpinan Kapten Elang Sobandar. Hanya saja saat harus hijrah ke Yogyakarta, Kakekmu tidak ikut serta. Beliau memilih untuk ikut mengamankan kampung kita yang mulai diganggu oleh gerombolan DI/TII pimpinan SM Kartosuwiryo.
Kalau kisah heroik almarhum Kakekmu di masa pemberontakan DI/TII, Bapakmu mendengarnya dari penuturan banyak orang. Selain dari Mang Amun, teman sejak kecilnya, juga dari para mantan OKD (Organisasi Keamanan Desa) yang menjadi bawahan almarhum Kakek. Dan mereka mengenangnya saat kampung kita dibumi-hanguskan gerombolan DI/TII. Hampir semua rumah warga kampung kita ketika itu dibakar. Untung saja para penghuninya sudah diungsikan. Adapun Kakekmu, menurut mereka, seorang diri dengan gagah beraninya menghalau gerombolan pengacau yang ingin mendirikan negara Islam di NKRI ini.
Mungkin karena itu pula almarhum Kakekmu terpilih menjadi Kepala Desa, karena oleh warga kampung dianggap sebagai pahlawan yang mampu mempertahankan kampungnya dari serbuan gerombolan pengacau itu…”
Begitu. ***
Sumber foto: Google
Ikuti tulisan menarik Adjat R. Sudradjat lainnya di sini.