x

Iklan

Adjat R. Sudradjat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 11 Agustus 2022 06:22 WIB

Menyoal Motif di Balik Terbunuhnya Brigadir J

Kapolri Jenderal Listiyo Sigit Prabowo gamblang menjawab teka-teki yang sebelumnya memicu opini liar di tengah publik. Irjen Ferdy Sambo ditetapkan sebagai tersangka atas kasus tewasnya Brigadir J. Suami dari nyonya Putri Chandrawathi tersebut disangkakan pasal pembunuhan berencana. Dia terancam maksimal hukuman mati, penjara seumur hidup, atau penjara selama-lamanya 20 tahun. Tapi, apa motifnya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Meskipun sejak mencuatnya kasus yang viral bertagar Polisi tembak polisi, itu pada mulanya dikatakan pihak Polri sendiri karena telah terjadi tembak-menembak antara Brigadir J dengan Bharada E yang notabene keduanya merupakan bawahan Ferdy Sambo, namun opini yang berkembang di tengah publik telah banyak yang mengarah kepada Ferdy Sambo sendiri.

Terlebih lagi dengan banyak ditemukannya kejanggalan-kejanggalan seperti misalnya telepon seluler milik almarhum Brigadir J atau Yoshua yang hilang,  kamera pengintai atau CCTV di sekitar rumah Sambo yang kemungkinan merekam peristiwa baku tembak tersebut mendadak hilang dan tiada bukti perekaman, atau juga keluarga almarhum Brigadir J yang mendapat intimidasi dan larangan untuk melihat jenasah saat tiba di rumah duka, maupun keterangan pihak Polri yang berubah-ubah.

Bisa jadi lantaran hal itu pula dengung opini publik sampai didengar langsung Menko Polhukam, Mahfud MD, yang ketika itu tengah berada di Tanah Suci Mekah. Mahfud pun langsung merespons kasus itu dengan meminta Kapolri untuk mengusut tuntas, dan membukanya secara transparan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bahkan kemudian ternyata hiruk-pikuk di ruang publik itu pun sampai menyelinap masuk ke Istana. Sehingga  Presiden Joko Widodo dengan tegas, dan sampai empat kali disampaikan dalam berbagai kesempatan, bahwa kasus tersebut harus dituntaskan, jangan ditutupi, terbuka. Jangan sampai ada keraguan dari masyarakat.

Oleh karena itu pula, Kapolri pun membentuk Tim Khusus (Timsus) untuk mengusut kasus yang menggegerkan, itu dan dipimpin langsung Wakapolri, Komjen Gatot Eddy Pramono, yang juga mengikutsertakan unsur ekternal, yakni Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).

Selasa (9/8/2022) kemarin – setelah satu bulan terjadinya kasus Polisi tembak Polisi tersebut, akhirnya Kapolri, Jenderal Listiyo Sigit Prabowo, dalam konferensi pers yang digelar di Mabes Polri, Jakarta, mengungkapkan, bahwa peristiwa yang terjadi adalah peristiwa penembakan terhadap Saudara J (Yosua) yang mengakibatkan Saudara J meninggal dunia, yang dilakukan oleh Saudara RE (Richard Eliezer) atas perintah saudara FS (Ferdy Sambo).

Sigit mengatakan, tak ada insiden baku tembak di rumah Sambo sebagaimana narasi yang beredar sebelumnya. Setelah memerintahkan Eliezer menembak Yosua, Sambo menembakkan pistol ke dinding-dinding rumahnya supaya seolah terjadi tembak-menembak.

Adapun pistol yang digunakan untuk menembak ke dinding tersebut ialah milik Brigadir J.

"Untuk membuat seolah-olah telah terjadi tembak-menembak, Saudara FS melakukan penembakan dengan senjata milik senjata J ke dinding berkali-kali untuk membuat kesan seolah telah terjadi tembak-menembak," tutur Sigit.

Polisi memastikan, Sambo merupakan sosok yang menyusun skenario penembakan yang berujung pada tewasnya Brigadir J.

"Irjen Pol FS (berperan) menyuruh melakukan dan menskenario peristiwa seolah-olah terjadi peristiwa tembak-menembak di rumah dinas Irjen Pol Ferdy Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga," kata Kabareskrim Polri Komjen Agus Andriyanto dalam konferensi pers, di waktu dan tempat yang sama.

Hanya saja Kapolri dan jajarannya saat itu tidak, atau belum mengungkapkan latar belakang Ferdy Sambo sampai tega menghabisi nyawa Brigadir Yoshua, yang notabene merupakan anak buahnya. Akan tetapi apabila membaca penjelasan Menko Polhukam, Mahfud MD, bahwa secara spesifik motif pembunuhan yang menimpa Brigadir J merupakan hal yang sensitif.

"Karena itu sensitif, mungkin hanya boleh didengar oleh orang-orang dewasa," ungkapnya.

Selain itu, dijelaskannya pula pengungkapan kasus yang dilakukan oleh tim khusus Polri tak ubahnya menangani orang hamil yang sulit melahirkan sehingga butuh tindakan operasi yang membutuhkan waktu dan kehati-hatian lebih.

Mahfud menambahkan, pengungkapan kasus barangkali merupakan hal yang mudah jika kasus ini bukan menyangkut hal yang terjadi di tubuh Polri dan melibatkan pejabat tinggi Polri. Sehingga menjadi sulit dan membutuhkan waktu karena adanya kelompok-kelompok di internal Polri.

Menyimak apa yang dikatakan Mahfud MD, publik pun bisa jadi sudah dapat memahaminya. Terutama dengan apa yang dikatakannya sebagai, “Yang hanya boleh didengar oleh orang-orang dewasa”. Tidak menutup kemungkinan hal itu menyangkut masalah dalam lingkup hubungan asmara, dan segala pernak-perniknya.

Akan tetapi terlepas dari itu, atas terjadinya kasus tersebut sudah seharusnya jajaran kepolisian melakukan evaluasi terhadap mental, dan penanaman disiplin, maupun etika seluruh anggotanya. Karena dengan terjadinya peristiwa ini, hanya gara-gara urusan “yang hanya boleh didengar oleh orang-orang dewasa” – sebagaimana dikatakan Mahfud, publik menilai masih rendahnya pembinaan mental, disiplin dan etika jajarannya.

Bagaimanapun polisi adalah penegak hukum, pengayom masyarakat. Terlebih lagi seorang FS yang notabene Kepala Divisi “polisinya polisi”. Mengapa mentalnya harus disamakan dengan mereka (maaf!) yang dianggap sebagai masyarakat awam. Begitu membabi-butanya mengumbar amarah, dan harus sampai mengenyahkan segala aturan peraturan perundangan-undangan yang menjadi pedoman di dalam melaksanakan tugas sehari-harinya.

Betul memang, polisi juga adalah manusia. Akan tetapi itu tadi. Ferdy Sambo sebagai seorang pimpinan “polisinya polisi” - saat peristiwa itu terjadi, hanya karena gara-ara urusan sesama “orang dewasa” sampai harus terancam Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dia terancam maksimal hukuman mati, penjara seumur hidup, atau penjara selama-lamanya 20 tahun.

Karena itu pula publik pun merasa prihatin. juga berharap kasus “polisi tembak polisi”. Apa lagi polisi menganiaya, dan sampai menghilangkan nyawa masyarakat, ke depannya jangan sampai terjadi lagi. Revolusi mental harus dilaksanakan sesegera mungkin secara menyeluruh. Khususnya di kalangan penegak hukum.

Semoga. ***

Ikuti tulisan menarik Adjat R. Sudradjat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler