x

Iklan

Fadly Rahman

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Di Balik Layar Spirit Pengetahuan Kolonial

Keterlibatan asisten dan informan pribumi Hindia Belanda dalam penelitian para ilmuwan Eropa abad ke-19 hilang dari teks pengetahuan kolonial

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di “Balik Layar” Spirit Pengetahuan Kolonial[1]

Oleh: Fadly Rahman

Tulisan Dian R. Basuki, Warisan Spirit Pengetahuan Kolonial, yang dimuat di Koran Tempo Minggu (14/12/2014) boleh dibilang masih mengiblatkan ilmu pengetahuan pada arah kolonial sentris. Nama-nama seperti Reindwardt, Junghuhn, Wallace, dan Eijkman yang disinggungnya begitu dikesankan memiliki kontribusi penting bagi pengembangan awal lembaga ilmu pengetahuan usungan dunia Barat di Hindia Belanda.

Memang, kontribusi mereka amat penting. Namun, mustahil mereka bekerja tanpa ada pihak-pihak yang memantik inspirasi riset-riset ilmiahnya. Pun, tidak mungkin mereka sendirian mengerjakan proyek pengetahuannya. Bantuan orang-orang Pribumi di sekitarnya tentu menyumbang banyak hal penting bagi proyek ilmu pengetahuan yang dibangunnya. Lalu, siapa menginspirasi dan yang berperan membantu riset ilmuwan Eropa pada abad ke-19? Dan apa yang membuat kiprah mereka seakan tenggelam dalam segara teks pengetahuan kolonial?

Dian menyinggung bahwa belum diketahui sejauh mana keterlibatan penduduk Pribumi dalam ikhtiar penelitian para saintis Eropa itu. Belum diketahui artinya bukan berarti tidak ada. Sebelum ilmu pengetahuan dilembagakan pada abad ke-19 pun, cikal bakal ilmu pengetahuan abad ke-19 bahkan telah terasa ada pada abad sebelumnya.   

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Adalah Georg Everhard Rumpf (1628? – 1702), sosok botanis penting yang dapat dikatakan sebagai pengemuka penelitian ilmiah di Hindia Belanda. Pada 1652, pria berdarah Jerman yang lebih dikenal dengan sebutan Rumphius ini direkrut oleh VOC; lalu pada 1653 ia ditempatkan di Ambon. Pada pandangan pertamanya, ia dibuat jatuh cinta dengan alam Ambon. Hampir setengah abad hidupnya yang dihiasi suka dan duka (matanya buta karena glaukoma serta istri dan anaknya tewas menjadi korban bencana gunung merapi) lalu dihabiskan di Ambon untuk mencatat beribu jenis tumbuhan –selain juga hewan. Kurang lebih 1200 spesies tumbuhan dari jenis-jenis pohon, belukar, herbal, hingga akar umbi ia catat namanya dalam berbagai nama dalam bahasa Belanda, Latin, Melayu, dan jika mungkin Ternate, Banda, Makassar, Jawa, serta kadang-kadang Arab, China, Portugis, dan Hindustan. Di antara 350 spesies tumbuhan ia buatkan ilustrasinya. Tidak ketinggalan ia menjelaskan produk-produk yang dihasilkan tanaman itu, lokasi-lokasi di mana tumbuhan itu bisa ditemukan dan dibudidayakan, cara budidayanya, masa panen atau berbunga, hingga kegunaannya untuk bahan makanan, obat dan hal-hal teknis lainnya.

Karya monumentalnya Herbarium Amboinense yang terdiri dari 12 jilid (dengan urut tahun terbit 1741 – 1750) diterbitkan perdana pada 1741 atau 39 tahun setelah ia meninggal pada 1702. Buku ini didedikasikan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda sebagai anumerta bagi Rumphius atas jasanya mencatat dunia botani Ambon.

Sebagaimana diteliti oleh M.J. Sirks dalam bukunya Indisch Natuuronderzoek (penelitian alam Hindia, 1915), bahwa dalam mengerjakan magnum opus-nya itu Rumphius banyak berkomunikasi dengan berbagai pihak, termasuk orang-orang Pribumi. Tidaklah mungkin ia mencatat berbagai nama tumbuhan dalam bahasa lokal jika tidak menanyakan kepada para Pribumi. Artinya, orang-orang Pribumi tentu memiliki pengetahuan lokalnya sendiri. Maka benar apa yang dikomentari Parkinson, seorang juru gambar botanis Inggris, Joseph Banks, sebagaimana dicatat dalam Journal of the Right Hon. Sir Joseph Banks (1896), ketika pada 1770 ia berada di pelosok Sawu. Saat Banks menyelidiki rempah-rempah, Parkinson sempat mencuri informasi dari penduduk Sawu seputar rempah dan asal-usulnya. Parkinson mengatakan bahwa masyarakat Pribumi tentu tahu betul soal rempah karena mereka memberi nama setiap rempah itu dalam bahasa mereka. Hal ini juga sama dikomentari oleh herbalis bernama H.A. van Hien saat ia berdinas di Boswezen (Dinas Kehutanan) di Pulau Jawa pada 1874. Van Hien mengatakan bahwa orang-orang Pribumi memiliki pengetahuan dan memberikan informasi baginya jenis-jenis tanaman berkhasiat sebagai obat dan yang mesti dihindari karena beracun. Semua informasi itu dicatat detil dan dibukukan olehnya pada 1925 dalam Het Javaansch Receptenboek (buku resep pengobatan Jawa).    

Di kalangan naturalis (mulai dari Reindwardt, Junghuhn, Wallace pada abad ke-19; hingga Heyne dan Ochse pada awal abad ke-20), karya Rumphius menjadi semacam babon bagi mereka. Namun juga seperti halnya kasus Rumphius, nama-nama para Pribumi yang menjadi informan mereka pun tak lebih disebut begitu minim atau berada di balik layar dan di antaranya malah justru dianonimkan. Orang-orang Eropa yang menguasai teks akan cenderung mengesankan para pembacanya bahwa semua pengetahuan bersumber atau terlahir darinya. Adapun para informan atau asisten Pribuminya cenderung diliyankan.

Mungkin kasus menarik untuk diangkat di sini adalah asisten Alfred Russel Wallace (1823-1913), Buang bin Mohamad Ali. Wallace dalam bukunya The Malay Archipelago (1869) banyak menyebut-nyebut nama Ali, seorang pemuda Melayu, sebagai asisten penelitiannya. Seorang biologis Prancis, Isabelle Desjeux, yang pernah meneliti sosok Buang (Wallace tidak tepat menggunakan nama Ali, karena itu sebenarnya adalah nama ayahnya Buang) ini mengungkap temuan mengejutkan dalam film dokumenter pendeknya Buang, the Lost Malay Scientist (2013). Ternyata Buang, selain selaku peneman Wallace, juga membuat berbagai catatan dan sketsanya sendiri terhadap jenis-jenis tumbuhan. Jika data-data riset Wallace saja bisa diserap bebas oleh Charles Darwin untuk karyanya On the Origin of Species (1859), bukan tidak mungkin banyak jasa Buang yang juga diserap bebas oleh Wallace untuk penulisan karyanya.

Karel Heyne Pun halnya botanis Karel Heyne (1877 – 1947), Kepala Konservatorium Museum voor Technische en Handelsbotanie (museum untuk teknik dan urusan botani) di Buitenzorg yang pekerjaannya banyak dibantu oleh dua asisten ahli Pribumi, Arsin dan Sapei. Arsin telah bekerja sebagai mantri tanaman di Museum Botani sejak 1868. Di kalangan botanis Eropa, Arsin dikenal memiliki talenta luar biasa dalam dunia botani, meski ia mempelajarinya secara otodidak. Sebelum membantu Heyne, ia telah berkiprah mengumpulkan varietas tanaman di Jawa, Sumatra, dan Papua. Pada 1905, Arsin punya peran penting membantu botanis Valeton mengkaji pemulihan vegetasi pasca erupsi Gunung Krakatau tahun 1883. Tidak heran jika Heyne sering dibantu olehnya dalam memberi nama berbagai spesimen yang tengah ditelitinya.

Pada 1Sapei913 Arsin meninggal dunia. Perannya lalu digantikan oleh Sapei yang memiliki daya ingat luar biasa dalam mengingat varietas tanaman baik bentuk, nama, maupun manfaatnya. Sapei pun bukan seorang ahli botani akademik. Namun, berkat bakatnya yang luar biasa itu, ia telah berjasa membantu para ahli botani Eropa, khususnya Heyne, dalam menyusun secara kategoris berbagai jenis tanaman yang pada masa itu belum dipetakan dalam ilmu botani modern. Sapei pun berjasa memberikan banyak informasi dan memandu pekerjaan ilmiah Heyne yang sejak 1913 hingga 1917 menyusun empat jilid ensiklopedianya bertajuk De Nuttige planten van Nederlandsch-Indië (tanaman-tanaman bermanfaat dari Hindia Belanda).

Bertumbuhannya lembaga-lembaga penelitian artinya turut memunculkan juga para Pribumi yang bekerja profesional di bidangnya. Selain hubungan Heyne yang intim dengan Arsin dan Sapei, hal serupa pun tampak dari hubungan botanis lainnya, J.J. Osche (1891 – 1970) dengan para asistennya dari kalangan Pribumi. Dalam menyusun bukunya Tropische groenten (sayur-sayuran tropis, 1925) dan Indische vruchten (buah-buahan di Hindia, 1927), disinggung olehnya bahwa ia dibantu oleh para asistennya dari Jawa, yaitu Mas Pirngadie, Mas Soeparno, Mas Kardjono, dan Mas Marjom; serta Raden Armadjaja dan Mas Noerhaman dari Sunda.

Tanpa bantuan para asisten Pribuminya, mustahil para ilmuwan Eropa masa kolonial bisa dengan mulus menghasilkan karya-karya dan lembaga-lembaga penting yang kini mewaris untuk dunia sains Indonesia. Sayangnya, nama, peran, dan jasa mereka masih tenggelam oleh kebesaran nama para ilmuwan Eropa. Menghadirkan mereka dari ”balik layar” spirit pengetahuan kolonial dalam konteks sejarah sains di Indonesia tentu perlu untuk mengimbangi superioritas pengetahuan kolonial itu sendiri.                   



[1] Sejarawan. Kini tengah melakukan penelitian komprehensif seputar sejarah kiprah para asisten ilmuwan Eropa di Indonesia pada masa kolonial.    

Ikuti tulisan menarik Fadly Rahman lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler