x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Design Thinking, Bukan Sekedar Membuat Produk Tampak Menarik

Desain sebagai cara berpikir bertitik tolak dari bagaimana konsumen “merasakan pengalaman memakai suatu produk atau jasa”. Titik tolaknya bukan sekedar fungsi, tapi juga kenyamanan, kebiasaan, kemudahan, bahkan juga gaya hidup.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Design is not just what it looks like and feels like. Design is how it works.”
--Steve Jobs (1955-2011)

 

 

Sebagai pelaku bisnis, apa yang Anda andalkan dalam menghadapi kompetisi yang ‘ugal-ugalan’? Harga atau tarif murah? Produk yang sangat beragam? Pengiriman yang cepat? Mungkin Anda sudah menyodorkan semua itu, tapi apa yang Anda tawarkan lagi bila para pesaing berbuat hal yang sama?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagian orang mungkin menyebut ‘desain’ sebagai pembeda. Desain dijadikan penyelamat dalam persaingan. (Sebagai catatan: Dalam Sciences of the Artificial, Herbert Simon mendefinisikan desain sebagai “transformasi dari kondisi yang ada ke kondisi yang lebih disukai”; sedangkan Ellen Lupton, seorang desainer, mengatakan bahwa desain adalah ‘art people use’ atau ‘seni yang didayagunakan orang’).

Bila mendengar kata desain, orang barangkali membayangkan desain kursi (produk), desain kaos (busana), atau gambar iklan (grafis). Baru akhir-akhir ini saja, kata desain memperoleh konteks yang lebih luas dalam manajemen ketika istilah “design thinking” jadi popular.

Dalam hal ini, desain tidak lagi sebagai “nilai tambah” dari suatu produk (“Wah, desainnya bagus ya!”), melainkan sebagai cara berpikir dalam memecahkan persoalan, sebagai cara menciptakan nilai bisnis bagi penjual dan benefit bagi konsumen. Atau dalam pemahaman David Burney, Vice President of Brand Communications + Design di Red Hat, sebagai “cara menciptakan strategi dengan mengalaminya dan bukan sekedar menjadikannya intellectual exercise”.

Di masa lalu, ketika hendak mengembangkan suatu produk, pelaku bisnis meletakkan unsur desain di tahap belakangan. Ia berpikir terutama mengenai fungsinya dulu, misalnya pisau untuk memotong daging. Dalam suatu kegiatan inovasi, desainer tidak memainkan peran awal dengan mengerjakan sesuatu yang substantif. Desainer hanya bertugas memberi “bungkus yang indah” terhadap suatu gagasan. Ia bertugas membuat suatu produk jadi lebih menarik secara estetis di mata konsumen.

Nilai kompetitif desain memang makin disadari. Produk-produk elektronik didesain lebih menarik. Misalnya, fungsi hape bisa sama, harga setara, tapi desain dibuat berbeda. Mobil dirancang lebih atraktif meski cc mesinnya sama dan harga jual setara. Banyak barang yang dikemas apik sehingga lebih enak dilihat. Betapapun, umumnya, desain masih dipikirkan belakangan dan lebih terkait pada desain produk maupun kemasan.

Cara berpikir seperti itu tak bisa dipertahankan lagi dan digeser oleh pemahaman bahwa spektrum aktivitas inovasi berpusat pada manusia. Maksudnya, inovasi dilandasi oleh pemahaman menyeluruh, melalui observasi yang penuh empati, mengenai apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh manusia dalam hidup mereka. Yang tak kalah penting ialah bagaimana perilaku manusia dalam melakukan sesuatu—inovasi produk, dalam hal ini, harus mempertimbangkan kebiasaan manusianya, bukan semata fungsi yang harus ada di dalam produk itu.

Bahkan, dalam design thinking, yang dipikiran bukan hanya bagaimana produk itu dibuat, tapi juga bagaimana dikemas, dipasarkan, dijual, digunakan oleh konsumen, dan memperoleh supportmulai dari suku cadang maupun layanan purna jual lain. Desain keseluruhan tahap ini dirancang sejak awal sebagai suatu keutuhan. Desain, sekaligus, merupakan cara berpikir.

Lantaran itulah, para inovator mengembangkan suatu produk dengan pertama-tama melihatnya dari sisi konsumen sebagai pengguna (ini seiring dengan apa yang selalu ditekankan oleh guru manajemen Peter Druckter ihwal outside-in, berpikir dari sudut pandang konsumen). Yang menarik, obyektifnya bukan lagi produk fisik semata, melainkan juga proses, layanan, interaksi, kolaborasi, komunikasi sebagai suatu rangkaian. Desain sebagai cara berpikir bertitik tolak dari bagaimana konsumen “merasakan pengalaman memakai suatu produk atau jasa”. Titik tolaknya bukan sekedar fungsi, tapi juga kenyamanan, kebiasaan, kemudahan, bahkan juga gaya hidup.

Perusahaan yang menerapkan design thinking lazimnya melibatkan betul pelanggan dalam co-creation produk atau jasa mereka—setidaknya menyerap apa keinginan, kebiasaan, kesukaan konsumen. Lantaran itu, design thinking lebih dari sekedar metodologi, tapi cara berpikir kultural yang melibatkan nilai-nilai yang dikembangkan bersama oleh perusahaan dan konsumen. Bila demikian, karakteristik apa yang dibutuhkan seorang design thinkers? (Sbr ilustrasi: roundhouse.cc) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu