x

Sejumlah anak berebut mengambil buku, dari mobil perpustakaan keliling. Jakarta, 14 Maret 2015. TEMPO/Frannoto

Iklan

Ni Made Purnama Sari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ada Apa dengan Budaya Baca Kaum Urban?

Budaya baca manusia urban juga mengalami perubahan. Orang ingin serba singkat, lugas dan mengena langsung pada poinnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di zaman yang serba modern seperti sekarang, agaknya makin sedikit orang yang mau melihat lagi kehadiran serta makna masa lalu. Manusia kini bagai tengah tumbuh mengikuti, mengejar atau hendak melampaui masanya: bersicepat dengan waktu, bahkan berangan menembus masa depan. 

Budaya baca manusia urban juga mengalami perubahan. Orang ingin serba singkat, lugas dan mengena langsung pada poinnya. Tinggalkan basa-basi, apalagi pengantar kata yang berpanjang dengan ilustrasi mukadimah yang bertele-tele. Malahan ada kecenderungan yang menarik sebagai akibat merebaknya penggunaan media sosial, di mana informasi, berita, gosip, atau hiburan berseliweran dalam linimasa sepanjang hari, orang lebih kerap membaca berita hanya dari judulnya. Seolah suatu peristiwa cukuplah dipadatkan dalam enam hingga tujuh patah kata sebagai tajuk, dan dengan membacanya, orang merasa seketika tahu itu tulisan bercerita tentang apa. Jika judul kedengaran menarik, orang bisa lanjut membukanya, itu pun bila dia punya waktu. Misalkan tajuk tak menawan, maka tentu beritanya sekadar numpang lewat saja.

Kalau budaya baca orang urban lazim begitu, bagaimana kemudian nasib dunia sastra kita, yang notabene dalam apresiasinya membutuhkan waktu jeda yang khusuk demi membaca sajak-sajak, cerpen, apalagi novel ataupun roman. Bila pun sebagian masih memilih menyisihkan luang kesempatan guna menikmati sastra, agaknya fokus karya yang dibaca sudah bukan lagi tulisan-tulisan sastrawan lama. Satu lagi karakter orang urban: mengikuti kekinian. Sehingga apa yang dicarinya niscayalah hal-hal yang mencerminkan kebaruan, atau, keuniversalan dunia global. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Belum lama ini saya menamatkan novel Harimau! Harimau! besutan Mochtar Lubis. Agak terlambat, mungkin, karena karya apik itu justru baru sekarang saya baca. Padahal semasa SMP dan SMA ada banyak sekali karya sastra angkatan itu di perpustakaan sekolah. Namun, tidak sekalipun saya tertarik meminjamnya. Barangkali adalah karunia juga jika saya membacanya di saat-saat sekarang. Kisah dan makna ceritanya jadi lebih kuat teringat. Andai dibaca dulu, saya jamin, pasti belakangan akan lupa isi kisahannya. 

Terlepas dari muatan novel, yang menurut saya, memang layak disematkan sebagai salah satu masterpiece karya sastra Indonesia, membaca karya pengarang lama tentu sudah tidak lagi menjadi kesadaran orang-orang urban generasi muda. Kita lebih populer dengan cerita yang dipajang di toko buku dalam predikat best-seller, yang sebenarnya saya sering bertanya-tanya apa sebab sebuah buku disebut best-seller. Padahal isinya kurang tajam dibanding karya sastra pengarang angkatan terdahulu, sebutlah era Balai Pustaka, Pujangga Baru hingga paruh 1980an. Bahkan, bagi saya, penulis di kala itu rasanya lebih visioner, sebab ia merekam, mengkritik, dan mengimajinasikan keadaan masa depannya yang sungguh relevan di masa sekarang. Harimau! Harimau! dari Mochtar Lubis misalnya, yang meski ditulis tahun 1975, ternyata secara piawi memotret sifat munafik manusia, disertai juga kesangsian atas Tuhan, takdir dan absurdnya hidup. 

Hanya dengan plot sederhana: di sebuah hutan yang entah (Mochtar Lubis tak menyebut pasti latar ceritanya), tujuh orang pencari damar dicekam ngeri oleh seekor harimau kelaparan. Di balik pelarian menyelamatkan diri itu, mereka justru berhadapan dengan harimau dalam jiwa mereka: sebentuk sifat egois demi menang sendiri, kemunafikan yang disembunyikan, atau, segala bentuk sifat buruk manusia lainnya yang bisa Anda bayangkan. Adegan-adegannya ditutur menegangkan, dibarengi pertanyaan atas hakiki kehidupan sebenarnya. 

Orang sekarang mungkin tidak mau lagi melirik karya sastra lama. Tulisan itu dianggapnya jadul, kuno. Coba tanya, apa kesan anak kini bila mendengar Merari Siregar, Buya Hamka, ataupun Mariane Katoppo. Lalu sandingkan karya mereka dengan buku terbitan terkini, kemudian lihat bagaimana reaksinya. Kalau pun ada yang bersikukuh mencari buku-buku lama di kios loakan dan online, saya sangat berharap, mereka mencarinya bukan untuk koleksi, melainkan kesadaran untuk membaca. Tentu tidak semua pemburu buku bekas punya pikiran miring miris macam saya, hehehe….

Sekadar Canggih

Dibandingkan cerita terjemahan atau novel yang beredar sekarang, secara pribadi saya merasa novel Mochtar Lubis, besutan Pramoedya ataupun karangan Iwan Simatupang masih jauh lebih baik. Kata-kata mereka bagaikan hidup dalam napas orang sehari-hari, secara bertenaga menggambarkan pahitnya hidup ataupun suka duka yang nyata dihadapi siapa saja. Bila menggambarkan orang-orang kardus dalam Merahnya Merah, Iwan Simatupang bagaikan menyodorkan wangi keringat sekaligus kesangsian atas nasib orang banyak. Begitu juga ketika menulis ulang sejarah menjadi roman, Pram melakukan pemaknaan histori yang menawan dan kuat sebagaimana kita temukan pada tetralogi Pulau Buru, maupun Gadis Pantai yang amat mengharukan saya itu. 

Lalu, bagaimana dengan penulis sekarang? Terus terang, saya masih bertanya-tanya, apa sebab di tengah zaman yang serba canggih, modern, dengan segala akses informasi dan komunikasi ini, ternyata masih belum juga muncul karya yang masterpiece mewakili zamannya. Kalaupun ada yang ingin mengangkat sejarah dalam sastra, bukankah itu juga pernah dilakukan penulis angkatan 1970an? Atau sastrawan yang bersandar sepenuhnya pada imaji kelokalan, pun sudah dilakukan sebelumnya. Seperti kata Sutardji C. Bachri, kalau ada yang mengikuti puisi mantra maka dipastikan dia epigon

Menurut saya, dengan segala kemudahan referensi dan informasi, para penulis era kini perlu melakukan lebih dari sekadar penemuan-penemuan, sejalan tetap merangkum segala rasa manusia yang ada. Andai karya penulis hanya ingin meraih kebaruan, maka mudah sekali ia tergelincir untuk menyajikan kecanggihan bersastra. Yang ditampilkan adalah eksperimen metafor, dan sering kali itu berjarak dengan pikiran dan imaji orang-orang. Bukan berarti saya menginginkan para penulis untuk mengikuti selera dan kehendak publik, tapi, menulis sastra hanya untuk dunia sastra dan tanpa bermakna mencerahkan bagi orang banyak, sama saja ibarat menakik batu akik untuk komunitasnya sendiri. 

Kecuali, kecanggihan menulis itu merupakan karakter lain dari budaya baca dunia urban kita? 

Sumber foto: Tempo.co

Ikuti tulisan menarik Ni Made Purnama Sari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu