x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Memelajari Manusia Lewat Ekonomi

Gagasan ekonomi bukanlah persoalan para ekonom dan akademisi saja, atau pebisnis dan pialang saham semata. Gagasan ekonomi adalah bagian dari kehidupan kita sehari-hari sebagai pekerja, pedagang di pasar, juga pengangguran.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Obat pertama bagi sebuah bangsa yang salah kelola adalah inflasi mata uang; yang kedua adalah perang.

Keduanya membuahkan kesejahteraan sementara; keduanya membuahkan kehancuran permanen.

Keduanya juga tempat berlindung para oportunis politik dan ekonomi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Suatu ketika, Jerman pernah merasakan dua jenis obat yang dikatakan sastrawan Ernest Hemingway itu. Seusai Perang Dunia I, tahun 1920-an, Jerman mengalami hiperinflasi (ingat: inflasi itu serupa dengan jambret; kalau hiperinflasi, berarti jambret ini menyebabkan dompet betul-betul terkuras). Di era Weimar itu, Jerman harus menerbitkan uang kertas sejumlah 100 triliun mark ketika hiperinflasi memuncak pada 1923.

Saat inflasi melonjak, kita mesti merogoh uang lebih banyak untuk sebungkus mie. Ronald Reagan, mantan presiden AS, karena itu, menggambarkan inflasi ‘sama jahatnya dengan pejambret, sama menakutkannya dengan perampok bersenjata, dan sama mematikannya dengan pembunuh bayaran.”

Bukankah semua itu pangkalnya uang? Tapi, seperti tanya filosof Ayn Rand, pernahkah Anda pikirkan apa akar dari semua uang?

Edmund Conway bukan hanya meminjam ucapan ekonom, tapi juga mencuplik sindiran Hemingway, kegusaran Reagan, dan pertanyaan filosofis Rand, untuk menggarisbawahi isu-isu ekonomi yang kita hadapi sebagai pribadi dan sebagai masyarakat. Di sepanjang buku yang ia tulis tentang 50 gagasan ekonomi yang perlu Anda ketahui, Conway hanya menulis satu gagasan untuk komunisme, selebihnya perihal kapitalisme, dan menyisakan satu isu bagi paham yang lain, yakni happynomics.

Conway mencoba menarik teori-teori ekonomi dari buku teks yang tebal dan rumit menjadi racikan gagasan yang lebih mudah dicerna. Untuk setiap gagasan, ia meramu teks sepanjang beberapa halaman ihwal bagaimana teori dan praktek berjalan. Ia sisipkan text box sebagai fokus pada isu tertentu dan lini masa yang mengingatkan kita pada peristiwa-peristiwa yang menjadi tonggak sejarah: ambruknya Wall Street (1929) dan Black Monday (1987) ketika ia mengulas gagasan tentang saham.

Pengungkapan seperti itu mengingatkan kita agar tidak lupa sejarah. Dan “sejarah ekonomi” dalam kehidupan kita tak lain adalah sejarah pertarungan gagasan. Globalisasi yang tengah berlangsung memperoleh penentangan yang sama kerasnya dengan besarnya dukungan terhadap gagasan ini.

Tapi Conway, editor ekonomi pada Daily Telegraphyang berbasis di Inggris, menunjukkan bahwa gagasan ekonomi bukanlah persoalan para ekonom dan akademisi saja, atau pebisnis dan pialang saham semata. Gagasan ekonomi adalah bagian dari kehidupan kita sehari-hari sebagai pekerja, pemilik toko, pemasok barang, juga pengangguran (Conway benar tatkala menyimpulkan gagasan inti pengangguran: tingkat pengangguran nol adalah mustahil).

Pikiran-pikiran Keynes, Friedman, ataupun Schumpeter niscaya bukanlah gagasan yang asing bagi para ekonom dan akademisi. Namun Conway menunjukkan, lewat kitab ini, bahwa semua gagasan yang telah begitu jauh mengatur hidup kita ini layak untuk dipahami oleh awam. Conway mengajak kita untuk ingat bahwa ekonomi layak untuk diperhatikan bukan hanya ketika banyak hal menjadi buruk seperti ketika harga-harga kebutuhan pokok melambung, harga minyak dunia anjlog, dan rupiah melemah terus terhadap dolar AS.

Conway telah menunjukkan bahwa ilmu ekonomi sesungguhnya adalah studi mengenai manusia. Ia menghindari angka dan statistik dan mengajak kita memahami ekonomi sebagai penyelidikan mengenai apa yang membuat kita merasa bahagia dan puas, tentang bagaimana kemanusiaan telah berhasil menjadikan manusia lebih sehat dan sejahtera. Raja Bhutan mengembangkan konsep gross national happiness untuk mengukur kemajuan masyarakatnya; dan semakin banyak negara yang berusaha mengikutinya—meski sayangnya, masih banyak yang berpatokan pada tolok ukur materialistik. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler