Menangkap Suster Margi
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBMemang benar Suster Margi bekerja di sini, tapi beberapa jam yang lalu dia menghilang. Kamarnya kosong, tasnya tidak ada. Saya merasa dirugikan
#Novel Vivian Zen
Kisah sebelumnya: Melihat Semua Kemungkinan
“Memang benar Suster Margi bekerja di sini, tapi beberapa jam yang lalu dia menghilang. Kamarnya kosong, tasnya tidak ada. Saya merasa dirugikan,” ucapan Bu Danti, majikan Suster Margi di Jakarta membuatku lemas.
“Dia tidak meninggalkan pesan? Tidak pamit?”
“Dia menghilang. Saya pikir dia mencuri sesuatu di rumah ini. Tapi saya periksa barang-barang, tidak ada yang hilang. Anak saya ditinggal begitu saja. Benar-benar tidak punya rasa tanggung jawab.”
“Bagaimana Suster Margi bekerja di sini?”
“Dia datang dan melamar pekerjaan sebagai suster. Kebetulan saya sedang membutuhkan seorang suster. Saya berprasangka baik saja. Saya pikir dia orang baik, jadi saya langsung terima. Bodohnya. Ini pelajaran buat saya untuk lain kali tidak sembarangan menerima orang untuk bekerja di sini. Untung anak saya tidak diculik.”
Bu Danti seorang kasir di supermarket. Tanpa pikir panjang, dia mau menerima Suster Margi karena Suster Margi mau digaji rendah, bahkan menyatakan tidak digaji pun tidak apa-apa. “Dia bilang yang penting ada tempat berteduh dan bisa makan. Saya jatuh iba padanya.
"Sudah berapa lama dia bekerja di sini?” tanya Romi pada Bu Danti.
“Baru seminggu.”
Aku dan Romi meninggalkan rumah Bu Danti. Semua terasa gelap. Tak ada petunjuk.
“Apa mungkin suaminya menelponnya kalau kita mencarinya?” kataku pada Romi.
“Bisa jadi,” Romi menyalakan mesin mobil dan meluncur membelah jalanan yang lengang di malam hari.
“Kita cari makan ya. Aku lapar,” kataku.
Romi mengangguk.
Kami memasuki sebuah mal dan makan di food court. Aku memesan rawon, Romi memesan sate padang.
Saat mencari tempat duduk, seketika jantungku berdebar hebat ketika kulihat Suster Margi dari belakang sedang berjalan meninggalkan food court. Refleks aku berlari mengejarnya.
Dan tanpa suara, kucengkeram tangannya. “Kenapa kamu menghindar dariku?!
Suster Margi tampak terkejut dan memberontak. Gerakannya kuat sekali. Ia berhasil melepaskan tangannya dan berlari. Aku mengejarnya.
Kulihat Romi menyalipku dan berhasil menangkap Suster Margi yang sedang berlari menuruni eskalator.
Romi menarik tangan Suster Margi dan mendekatiku. Saat Suster Margi berusaha melawan, Romi menekuk kedua tangan Suster Margi ke belakang.
“Jangan ganggu aku. Aku tidak tahu apa-apa tentang mamamu,” kata Suster Margi datar.
“Kita ke mobil,” kataku, tak peduli dengan ucapan Suster Margi.
Kudorong Suster Margi ke jok belakang. Aku duduk di sebelahnya. Romi menyetir dan selanjutnya meninggalkan mall.
Pada sebuah ruas jalan yang sepi, Romi menghentikan mobil. “Mau kita apakan perempuan ini?” ucapan Romi dengan nada ancaman.
“Ngobrol biasa aja. Jangan keras-keras, Romi,” kataku. Sebab kulihat Suster Margi tidak melawan lagi. Dia duduk diam seperti orang yang pasrah.
“Turut prihatin dengan apa yang menimpa mamamu. Tapi aku tidak terlibat. Sungguh. Aku berani bersumpah,” kata Suster Margi.
“Katakan padaku apa yang terjadi?” rasanya aku bisa sabar menghadapinya.
“Apa yang terjadi gimana maksudmu?”
“Waktu mama dibunuh, kamu berada di mana?”
“Aku sedang pergi ke pasar.”
“Bohong.”
“Aku tidak bohong.”
“Terus?”
“Aku pulang dan mendapati mamamu penuh darah di lantai. Aku tak mau repot harus berurusan dengan polisi. Aku kabur. Di tengah jalan, kutelepon kamu. Kalau aku bersalah, aku tidak akan meneleponmu.”
“Kamu bohong. Kamu sedang berada di rumah ketika peristiwa itu terjadi. Kamu melihat pembunuhnya.”
“Kamu seperti dukun.”
“Romi, aku muak melihatnya. Apa rumahmu bisa dipakai untuk mengurungnya?”
Romi tancap gas.
“Kalian menculikku, menuduhku dan sekarang mau mengurungku. Kalian sudah melebihi polisi,” Suster Margi tersenyum sinis.
“Iya. Kami akan mengurungmu sampai kamu mau mengatakan apa adanya, yang sebenarnya.”
“Aku sudah katakan yang sebenarnya. Aku minta baik-baik, turunkan aku di sini.”
“Diamlah. Kamu membuatku pusing. Kita lanjutkan di rumah Romi, ngobrolnya. Aku lebih senang jika Suster Margi mau cerita tentang anak-anak Suster,” aku ucapkan ini dengan setenang mungkin.
“Kamu sudah melihat mereka. Mau tahu apa lagi?”
“Apa saja. Sekolahnya. Hobinya. Apa saja. Aku tidak ingin ada ketegangan di antara kita. Suster Margi pernah bekerja di rumahku. Aku lihat selama ini Suster Margi baik-baik saja.”
“Tadi kamu bilang aku bohong. Berarti kamu tidak percaya padaku.”
"Tadi aku lagi panik. Aku mencarimu kemana-mana dan kamu tidak ada. Pikiranku jadi macam-macam. Aku bertemu suamimu dan dia tampaknya orang yang jujur. Aku yakin ada kebaikan dalam dirimu. Aku butuh bantuanmu.”
“Polisi sudah menemukan pembunuhnya. Apa lagi yang kamu inginkan?”
“Bisa jadi polisi menangkap orang yang salah. Dan bodohnya polisi membiarkan kamu berkeliaran.”
“Polisi sudah bekerja dengan benar. Memang Fadil yang melakukannya.”
“Apa?”
“Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Sebelum ia membunuhku juga, aku melarikan diri.”
“Keteranganmu berubah-ubah.”
“Keterangan seperti apa yang kamu inginkan?”
“Percuma percakapan ini diteruskan. Cerita tentang anakmu saja. Aku suka cerita anak-anak. Kamu kerja jauh di Jakarta, pasti anak-anak kangen kamu ya?”
“Tidak juga. Sudah biasa. Sejak anak-anak lahir, sudah biasa saya tinggal untuk bekerja di tempat yang jauh.”
“Ya. Anak-anak pintar adaptasi dengan lingkungan, juga kebiasaan orang-orang dekatnya.”
“Kenapa kamu melarikan diri dari rumah Bu Danti?”
“Aku bisa pergi kapan saja sesukaku. Dia tidak menggajiku.
“Kamu baru kerja seminggu. Belum waktunya dapat gaji. Pasti ada alasan lain. Suamimu meneleponmu?”
“Tidak. Suamiku tidak perhatian. Boro-boro menelepon. Saya yang selalu menelepon.”
“Oh ya? Sepertinya dia baik?”
“Dia baik pada anak-anakku. Tidak denganku.”
"Maksudnya?”
“Jangan mau tahu urusan orang. Walau aku cuma seorang suster, jangan merasa kamu lebih tinggi dariku.”
“Tidak usah cerita kalau kamu tidak mau. Sebentar lagi kita sampai.”
Mobil memasuki jalan setapak ke arah rumah Romi. Aku berusaha berpikir bahwa semua akan baik. Suster Margi tampak seperti bukan orang jahat. Sekarang dia ngomongnya ngaco, sebentar A, sebentar kemudian B. Mungkin setelah keadaan tenang, dia bisa menceritakan yang sebenarnya.
Romi membuka pintu. Aku menjaga di bagian belakang. Harus was-was, jangan sampai perempuan ini kabur-kaburan lagi.
“Ini rumah saya, Suster Margi. Silahkan masuk,” Romi tampak ramah, mungkin maksudnya supaya Suster Margi nyaman.
“Suster Margi mau nonton teve?” kunyalakan teve sebelum ia menjawabnya.
“Duduk aja di mana suka, jangan sungkan,” kata Romi, sementara Suster Margi masih berdiri kaku.
Teve membuat suasana berisik, kumatikan saja. “Oke. Kita sudah di rumah, bisa duduk sambil selonjoran. Kalau sudah tenang begini, tentu Suster Margi mau cerita. Ayo kita kerjasama, Suster. Demi mamaku. Bantulah aku dengan mengatakan yang sebenarnya.”
Suster Margi duduk di kursi, dan matanya seperti sudah mengantuk. “Baiklah. Aku bukan polisi. Tak ingin menginterogasi. Silahkan kalau mau tidur, Suster Margi.”
Romi membuka pintu sebuah kamar, “Suster Margi bisa tidur di sini.”
“Silahkan, Suster,” kataku.
Suster Margi masuk kamar dengan bahasa tubuh yang tidak nyaman.
***
Aku dan Romi berjaga-jaga di luar kamar. Tak ingin mengambil risiko Suster Margi kabur.
“Kamu tidur aja, biar aku yang jaga,” Romi membalik letak sofa panjang, sehingga dia bisa tiduran sambil menghadap tepat ke arah pintu kamar Suster Margi.
“Kita gantian aja, Rom,” aku bersila di atas karpet merah, juga menghadap kamar Suster Margi.
“Sebenarnya kita sedang menghadapi siapa?”
“Aku tidak tahu,” kuraih ponsel dari dalam tas, “bentar ya Rom, aku mau telepon Fedy.”
“Ya udah tenang aja.”
Kutekan nomor telepon Fedy, tapi yang mengangkat Zakia. Aku senang mendengar suara Zakia di telepon.
“Kakak di mana?”
“Di rumah Om Romi. Kamu lagi apa?”
“Main piano. Kak Fedy mengajariku lagu baru. Tapi sekarang aku udah ngantuk.”
“Iya memang seharusnya kamu udah tidur sih.”
“Kak Vivian pasti mau ngomong sama Kak Fedy ya. Nih,” terdengar suara ponsel dioper ke tangan Fedy.
“Ceritakan apa yang kamu temukan hari ini?” kata Fedy.
“Nggak mau ah. Nanti aja pas di rumah. Aku ingin tahu seharian ini kamu ngapain aja.”
“Banyak wartawan datang ke studio. Mereka tanya macam-macam, dari soal politik, bola, gosip-gosip nggak jelas. Ada juga yang wawancara khusus tentang musik. Yang terakhir itu yang paling aku suka. Yang lain bikin bad mood, tapi tak apa lah.”
“Gosip-gosip nggak jelas, apa?”
“Gosip-gosip yang mungkin bisa bikin kamu marah, ngambek. Sudahlah. Nggak penting dibahas. Basi.”
“Melisa kapan balik ke negaranya?”
“Nggak tahu.”
“Oh ya?”
“Dia bilang sih masih ada urusan di sini. Aku juga nggak tanya apa.”
“Oh ya?”
“Iya.”
“Dia ngajak kamu ketemu lagi?"
“Enggak.”
“Baguslah.
“Mana Romi. Aku pengin ngomong.”
“Iya,” kuberikan ponsel pada Romi.
Romi mengambil posisi duduk. “Iya beres. Vivian aman bersamaku,” Romi berkedip padaku.
“Kapan? Hari Sabtu? Oke nanti aku datang,” Romi mematikan ponsel dan memberikannya padaku.
“Sabtu ada apa?”
“Fedy mau ngumpulin teman-teman kampus, mau bikin reuni.”
“Kok dia nggak ngomong sih sama aku.”
“Ya nggak tahu. Belum aja kali. Itu kan ide spontan dia.”
“Eh Rom, Robi ke mana sih?”
“Tinggal di Jepang. Menikah dengan perempuan Jepang. Punya dua anak berwajah Jepang.”
“Keajaiban impian.”
“Yup.”
“Suatu kali waktu makan bareng di kafetaria kampus, Robi bercerita dia tergila-gila dengan segala hal berbau Jepang. Bahkan dia menanam bunga sakura di taman halaman rumahnya. Di rumahnya bertebaran komik Jepang. Rumahnya didesain seperti rumah Jepang. Dia cerita ingin menikah dengan perempuan Jepang.”
“Iya. Dahsyat banget dia. Belajar mati-matian untuk mengejar beasiswa ke Jepang. Dan itu dia dapatkan. Kamu suka kontak-kontakan sama Robi?”
“Enggak. Nggak pernah. Waktu di kampus aja, aku lihat dia menonjol di klub teater. Ah, aku jadi ingat Arya nih.”
“Ingat ya ingat aja. Memang kenapa?”
“Ya bikin aku sedih lah.”
“Malah menyedihkan kalau kamu sampai melupakan Arya.”
“Dulu, aku sama Arya suka lihat anak-anak teater latihan. Terus kita kayak komentator gitu, hehehe… rebutan ngomong untuk mengomentari permainan teman-teman.”
“Kalian pasti punya banyak kenangan di kampus ya. Beda denganku.”
“Gak gitu juga kali, Rom.”
“Cariin aku pacar dong.”
“Ha? Kamu serius?”
“Hehehe enggak.”
“Kamu kan orang alim, tidak boleh pacaran.”
“Mana ada perempuan mau sama aku.”
“Halah merendah. Wong kamu nggak berani menatap mata perempuan.”
“Kok kamu tahu?”
“Tahu aja. Aku kan pengamat, hehehe….”
“Di keluargaku, pacaran itu tabu. Tapi akibatnya, aku nggak punya pacar sampai sekarang.”
“Ah yang bener, Rom? Aku baru sadar, selama ini gak pernah bahas tentang pacarmu ya. Masak sih kamu nggak pernah pacaran?"
“Bukan nggak pernah pacaran, tapi sekarang lagi nggak punya pacar.”
“Berarti kamu pacaran dong. Wah, kamu melanggar aturan keluargamu dong.”
“Udah putus semua. Aku sih udah gak pengin pacaran, penginnya langsung menikah aja.”
“Kalau nggak punya pacar, gimana mau nikah?"
“Aku serius pengin dicarikan istri. Aku nggak bisa nyari sendiri, jadi minta tolong orang lain. Ada teman mengenalkanku dengan temannya, cantik sih, tapi aku nggak ngerasain apa-apa, batal deh.”
“Tuh kan, minta dicarikan, giliran dicarikan, seperti itu. Berarti kamu harus cari sendiri.”
“Sudah deadline. Gak sempet cari.”
“Heran ya, hari gini masih ada orang kayak kamu. Padahal kebanyakan menolak mentah-mentah kalau dijodohkan.”
“Nggak nikah juga nggak apa-apa.”
“Ha?”
“Menikah bukan satu-satunya jalan untuk mendapatkan kebahagiaan.”
“Pikiranmu unik banget sih. Kamu patah hati ya? Sampai punya pikiran kayak gitu?”
“Enggak juga.”
“Manusia kan diciptakan berpasang-pasangan. Sudah seharusnya semua manusia menikah.”
“Selalu ada pengecualian dalam hidup.”
“Aku benar-benar heran kalau benar kamu nggak ingin menikah?"
“Ingin sih, tapi kalau nggak ada jodohnya gimana?”
“Ya ampun, Romi. Belum ketemu aja kali. Mungkin calon istrimu itu sekarang masih kelas empat SD, hehehe… jadi kamu harus sabar menunggu.”
“Entahlah. Beberapa kali mengenal perempuan, tidak ada yang berkesan.”
“Jangan-jangan kamu….”
“Enggaklah. Ngaco.”
Aku dan Romi langsung terdiam manakala terdengar pintu kamar Suster Margi dibuka.
Wajah Suster Margi terkejut melihat kami. “Um belum pada tidur? Saya mau ke kamar mandi.”
“Silahkan, Suster,” kata Romi.
Suster Margi masuk ke kamar mandi dan menguncinya. Lama tidak keluar.
Aku curiga, ah tidak, beberapa saat kemudian Suster Margi keluar dan masuk ke kamar lagi.
“Apa rencanamu?’ Romi kembali tiduran di sofa.
“Aku ingin dia merasa nyaman di sini. Besok pagi-pagi setelah sarapan, kita ajak ngobrol lagi dia.”
“Buang-buang waktu. Mungkin dia memang tidak tahu. Apa polisi begitu bodohnya terkecoh kalau dia saksi kunci.”
“Kamu harus melihat gambaran besarnya, detilnya, baru komentar.”
“Kamu juga harus melihat jalan pikiran polisi. Kamu kira mereka begitu gegabah menetapkan Fadil sebagai tersangka?”
“Aku kenal Om Fadil secara pribadi.”
“Karena itulah kamu emosional. Kamu harus rasional dong. Lihat, banyak kejahatan justru dilakukan oleh orang-orang dekat. Mau kusebutkan contohnya?”
“Nggak usah.”
“Ya sudah. Silahkan saja kalau mau melakukan pekerjaan yang sia-sia.”
“Dan kamu mau menemani orang yang melakukan pekerjaan yang sia-sia.”
“Kan udah aku bilang. Kamu dalam keadaan emosional. Kamu perlu aku.”
Kuambil laptop dari dalam tas dan menyalakannya.
Kubuka sebuah file yang berisi tulisan panjang, kliping dari berbagai portal berita terkait peristiwa mama. Kuberikan laptop pada Romi.
“Baca ini.”
Romi duduk dan membaca.
“Setelah baca itu. Kamu akan mengerti kenapa aku melakukan semua ini.”
“Simpang siur begini beritanya,” komentar Romi, “tapi berita koran mana bisa dijadikan pegangan.”
“Makanya aku jalan sendiri. Ada apa di balik simpang siurnya berita itu.”
“Kupikir ada polisi yang bermain.”
“Nah, you got the point!”
***
Foto ilustrasi: http://www.tsu.co/dailypicts
Bersambung
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Waktu Bisa Mengubah Segalanya
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBMenangkap Suster Margi
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler