x

Iklan

Arimbi Bimoseno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Waktu Bisa Mengubah Segalanya

Suster Margi duduk di meja makan untuk sarapan. Begitu juga aku dan Romi. Suster Margi tampak tegang, entah apa yang dipikirkannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

#Novel Vivian Zen

Kisah sebelumnya: Menangkap Suster Margi

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Suster Margi duduk di meja makan untuk sarapan. Begitu juga aku dan Romi. Suster Margi tampak tegang, entah apa yang dipikirkannya.

“Semalam bisa tidur, Suster?” kataku untuk mencairkan kebekuan di pagi hari.

“Nggak bisa.”

“Kenapa?”

“Jadi tawanan, gimana bisa tidur.”

“Suster jangan merasa ditawan. Apa kami memperlakukan Suster dengan buruk?”

“Ya jelas. Saya dipaksa-paksa untuk mengakui sesuatu yang saya tidak lakukan.”

“Waktu ada orang melukai mama, Suster Margi di mana?”

“Saya lagi merapikan baju di kamar.”

“Ini jawaban ketiga yang berbeda,” nafsu makanku langsung hilang.

Romi meletakkan sendok dan mendekati Suster Margi. “Jawab dengan benar, atau kamu memaksaku melakukan kekerasan,” Romi mencengkeram kerah baju Suster Margi, kemudan melepasnya dengan satu gerakan.

Suster Margi sebentar pucat, sebentar kemudian seperti orang linglung.

“Kita serahkan dia ke polisi. Biar polisi yang menanganinya,” Romi kembali ke tempat duduknya.

“Itu bukan ide yang bagus,” aku tidak habis pikir dengan jalan pikiran Romi. Ngobrol dengannya semalaman rasanya seperti tidak berguna.

“Dengar aku, Vivian. Apa yang kita lakukan ini sudah termasuk melanggar hak azazi manusia.”

“Hak azazi mamaku juga sudah dilanggar.”

“Kita tidak tahu siapa yang melanggarnya. Setidaknya belum ada putusan hakim. Tentang Suster Margi ini, biar polisi. Ini tugas polisi.”

Tiba-tiba Suster Margi berdiri, “Kumohon, jangan bawa aku ke polisi. Aku akan menceritakan yang sebenarnya, tapi kalian janji akan menyelamatkanku?”

“Tidak ada negosiasi dengan penjahat,” aku merasa kesal mendengar penawarannya itu.

“Kita dengar dia, Vivian. Dia akan membantu kita, dia layak kita bantu,”Romi berusaha menenangkanku, “Sekarang katakan apa yang kamu tahu. Jangan berputar-putar nggak jelas. Katakan apa yang kamu tahu,” Romi menegaskan pada Suster Margi.

Duarrrrrr !!!

Sebuah tembakan menembus kepala bagian belakang Suster Margi. Suster Margi memegangi dadanya. Matanya melotot. Detik berikutnya, kepalanya jatuh ke meja. Darah bercucuran membasahi kepalanya.

Darahku terkesiap.

Aku berlari keluar rumah dan melihat sebuah mobil butut tanpa plat meluncur dengan kencang, hingga menimbulkan suara ban yang berdecit. Aku kembali ke dalam dan melihat Romi menelepon polisi. Wajah Romi pucat seperti kapas. Entah dengan wajahku, mungkin sama pucatnya seperti kapas.

Siapa yang melakukan ini. Kepalaku penuh dengan berjuta pertanyaan, tanpa aku tahu harus melakukan apa. Aku tidak memiliki bayangan sedikit pun tentang siapa di balik semua ini. Semua terasa gelap. Sangat gelap.

Romi mendekatiku dengan segelas air putih.

“Maafkan aku telah melibatkanmu. Membawa Suster Margi ke sini,” kataku sembari menerima gelas darinya.

“Polisi akan datang. Biar mereka yang menangani kasus mamamu. Cukup. Berhenti di sini saja.”

Aku diam. Dalam hati, aku justru semakin terdorong untuk memecahkan misteri ini. Dan sekarang Romi sudah menyerah. Mungkin aku akan bergerak sendirian.

Sekelompok polisi datang. Mereka mengamankan tempat kejadian perkara dengan pita kuning. Dan berikutnya, aku dan Romi harus menjawab banyak pertanyaan dari mereka.

Seorang polisi memotret Suster Margi.

Jenazah Suster Margi dimasukkan ke kantong mayat dan dimasukkan ke dalam mobil dan dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan otopsi.

***

Di tengah kebingungan, aku mendatangi Bu Fauziah.

“Kasus ini terlalu rumit. Sebaiknya kamu mundur, Vian,” Bu Fauziah menasehatiku, “aku khawatir, kalau kamu keras kepala, kamu bisa jadi target berikutnya.”

“Apa yang aku harus lakukan, Bu?”

“Berhenti. Jauhi kasus ini.”

“Aku menduga polisi terlibat dalam masalah ini.”

“Karena itulah aku minta kamu berhenti, atau kamu jangan pernah ke sini lagi,” suara Bu Fauziah sangat serius.

“Jadi aku harus diam saja?”

“Iya. Lakukan apa yang kamu bisa lakukan. Kamu sudah menjelaskan semua pada polisi. Itu cukup. Kamu tidak punya kompetensi seorang penyidik.”

“Kenapa Ibu jadi formal begini? Biasanya selalu mendukungku?”

“Ini berbeda. Ini mamamu yang jadi korban. Kamu tidak akan bisa berpikir jernih.”

“Justru karena mamaku….”

“Untuk apa kamu minta nasehat, kalau kamu tetap keras kepala seperti itu.”

“Jadi aku harus bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa? Walaupun kepalaku dipenuhi dengan kecurigaan?”

“Ya.”

Bu Fauziah mengajakku ke rumah Kapten Aji. Bu Fauziah memintaku untuk memberikan kesaksian, semua hal yang kutahu, juga kecurigaanku, agar nantinya Kapten Aji menyampaikannya pada polisi yang terpercaya.

Aku jadi anak baik. Kuturuti permintaan Bu Fauziah. Dan setelahnya aku merasa lega. Beban segunung yang memberatkan dadaku seketika lepas.

“Kita perlu rileks,” Bu Fauziah mengajakku ke sebuah perkumpulan yoga di hotel.

Banyak perempuan, muda dan tua duduk bersila di atas karpet. Musik lembut diputar pelan. Aku dan Bu Fauziah duduk bersila bersisian di bagian tengah. Kami melakukan gerakan-gerakan yang sama sesuai yang dicontohkan instruktur.

Kami diminta mengosongkan pikiran.

Hening. Kurasakan hening. Tak ada apa-apa. Kosong. Ringan rasanya. Kutarik napas perlahan dan menghembuskannya pelan-pelan. Dalam keheningan, semua terasa harmoni, bebas dari kekhawatiran.

Saat mau pulang, Bu Fauziah tersenyum menatapku. “Wajahmu lebih segar sekarang,” ia menyodorkan cermin dari kotak bedaknya padaku.

Aku bercermin. Aku selalu bercermin saat bedakan dan memakai lipstik. Tapi sekarang aku bercermin dengan cara yang berbeda. Tak ada bedak, tak ada lipstik, kudapati wajahku yang apa adanya.

“Mulai sekarang kamu lakukan aktivitas yang normal. Kita pantau perkembangan kasus mama dari media dan juga dari polisi. Kita menunggu tanpa cemas. Kita hidup, tugas kita menjalani hidup,” Bu Fauziah berjalan bersisian denganku menuju tempat parkir.

Sebenarnya masih ada penolakan dari dalam diriku. Tapi, aku tak mau lagi melihat kejadian seperti Suster Margi di depan mataku.

Baiklah. Aku akan melakukan hal-hal yang aman. Kutelepon Akbar untuk memberitahu besok pagi aku akan ikut dengannya ke seminar investasi.

Aku dan Bu Fauziah berpisah di tempat parkir. Aku meluncur pulang ke rumah Fedy dengan perasaan yang lebih baik.

Fedy sangat senang karena aku menuruti nasehat Bu Fauziah. Kuajak Zakia pulang ke rumah kontrakan. Kami akan menjalani kehidupan yang normal. Aku tidak harus pergi setiap hari. Dan kalaupun pergi, sore sudah pulang.

Aku berdua saja dengan Zakia di rumah kontrakan. Zakia tengkurap di lantai sambil menggambar kartun, aku mengetik skenario di meja kerja. Aku harus konsentrasi. Aku pasti bisa membuat skenario tanpa membahayakan jiwaku dan jiwa orang lain.

“Kak, besok aku gak sekolah ya,” Zakia menengok ke arahku.

“Kenapa?”

“Sekali-kali boleh dong bolos.”

“Kok gitu.”

“Capek tahu, Kak, sekolah terus.”

“Siapa bilang sekolah terus. Sabtu Minggu libur.”

“Harusnya tuh dibalik. Sekolah dua hari, libur lima hari.”

***

Aku menjalani kehidupan yang rutin. Pagi mengantar Zakia, kemudian pulang dan berkutat dengan pekerjaanku. Siang menjemput Zakia, dan pulang kembali berkutat dengan pekerjaan.

Kalau aku lagi mau, akan memasak untuk kami makan berdua. Kalau malas lagi datang, aku membeli makanan atau kuajak Zakia makan di luar. Sampai akhirnya ada tetangga yang menawarkan katering. Aku menerima tawarannya itu. Masakannya enak. Setiap hari menunya berganti-ganti. Zakia juga suka.

“Kak Fedy kan pintar memasak, Kakak nggak malu?” kata Zakia pas sarapan sebelum berangkat ke sekolah. = “Kakak juga bisa masak.”

“Tapi kebanyakan malasnya.”

“Kakak jadi ingat, Bu Fauziah ingin merasakan fetucini buatan Fedy. Hm, kapan ya Kak Fedy punya waktu, nanti kita sama-sama ke rumah Bu Fauziah.”

“Hari Sabtu aja, Kak. Gimana?”

“Boleh.”

Zakia berangkat ke sekolah dengan wajah yang riang, itu merupakan energi positif yang membuatku juga riang. Sepanjang jalan, Zakia menyanyi. Aku pun turut menyanyi. Tahu-tahu sampai di sekolah.

“Nanti kamu ikut mobil jemputan. Kakak pergi sampai sore,” kataku sesaat sebelum Zakia turun dari mobil.

Dari sekolah Zakia, aku meluncur ke tempat seminar investasi di sebuah gedung perkantoran di kawasan Sudirman. Kucari-cari Akbar, tidak ada, mungkin dia masih di jalan.

Yang kulihat justru Gathan. Dia duduk di meja bagian tengah. Kuambil secangkir teh dan sepotong roti kemudian duduk di samping Gathan.

“Tidak menyangka ketemu kamu di sini,” kata Gathan.

“Sama. Aku juga tidak menyangka.”

“Banyak ketegangan. Memang baiknya kita melakukan hal lain untuk tidak menjadi gila.”

“Yup.”

Sebentar kemudian Akbar datang dan duduk bersama kami.

Sabrina, seorang pakar keuangan, berbicara di depan kita semua. Sabrina berbicara tentang saham dan reksadana. Cara berbicaranya penuh semangat, opitimis, membuatku ingin bermain saham.

Sudah lama aku mempelajari saham, tapi sampai sekarang belum pernah mencoba investasi saham. Aku takut dengan risikonya. Aku memang tipikal konvensional yang takut mengambil risiko. Sementara Gathan sudah lama bermain saham. Dia belajar pada ayahnya. Cerita Gathan tentang sukses sahamnya membuatku ngiler.

“Habis seminar, maukah kamu ikut menjenguk ayahku?” kata Gathan.

“Mau,” kataku enteng.

Sudah tak ada lagi kebencian di hatiku pada Om Fadil. Saat aku jernih melihat masalah, kudapati bahwa tak ada yang menang, tak ada yang kalah, dan tak ada pertarungan. Kebencian mungkin bisa menyakiti orang lain, tapi sudah pasti menyakiti diriku sendiri.

Seminar selesai. Akbar mendekati Sabrina untuk melakukan wawancara mendalam. Aku dan Gathan meluncur ke penjara Cipinang.

Merinding saat memasuki pintu gerbang penjara. Di sini Fedy pernah menjalani hari-hari. Tidak menyangka dia bisa melewati saat yang berat itu.

Sampai di ruang kunjungan, kulihat wajah Om Fadil begitu keras. Dia lebih kurus dari sebelumnya. Begitu melihatku, wajah Om Fadil menjadi sangat sedih bahkan sampai ia mengusap wajahnya dengan tangannya. Om Fadil menahan tangis.

Gathan dan Om Fadil berpelukan sangat lama. Setelah melepas pelukan, Om Fadil menatapku tak percaya.

“Aku minta polisi menembakku, agar aku bisa bersama mamamu, tapi polisi tidak mau menembakku. Damn!” gemetar suara Om Fadil.

Aku berdiri terpaku. Lidahku kelu.

“Ayah jangan putus asa. Kita pasti mendapatkan jalan,” Gathan dengan wajah yang begitu khawatir.

“Hahaha…,” Om Fadil tertawa getir,” aku ingin persidangan segera berakhir. Tak sabar menunggu hari pelaksanaan hukuman mati. Saat tembakan meluncur ke dadaku, aku akan membuka mata lebar-lebar dan tersenyum, sebab itulah hari di mana aku akan bertemu Mayang, bersatu untuk selamanya.”

“Ayah, please, kendalikan diri ayah. Ayah seperti orang gila. Malu, Ayah,” wajah Gathan merah padam menahan malu.

“Aku akan mati dalam keadaan patah hati, atau aku akan mati dalam keadaan mencintai, sama saja.”

“Please, Ayah, please.”

“Ayah tidak gila,” Om Fadil bicara serius, “ayah percaya mukjizat. Ayah menunggu mukjizat.”

Dua orang pengacara Om Fadil datang. Mereka membicarakan langkah-langkah selanjutnya yang akan ditempuh.

“Ayahmu kelihatannya perlu bantuan psikolog atau psikiater,” kataku saat pergi meninggalkan penjara.

“Kuharap tidak,” Gathan menghela napas.

“Andika apa kabar?”

“Dia tiap hari pergi kuliah untuk meyakinkan dunia bahwa semua baik-baik saja. Tapi pada malam hari, dia sering bermimpi buruk, teriak-teriak tidak karuan. Ini berat buat kami. Tapi kamu lebih berat, Vivian.”

“Kupikir kita sudah jadi saudara, walaupun orangtua kita tidak menikah.”

“Kamu menganggap kami saudara? Thanks, Vivian.”

Dulu, hal yang paling dikhawatirkan mama adalah aku anaknya tidak akan bisa rukun dengan anak-anak Om Fadil. Itu satu hal yang paling berat buat mama untuk menerima lamaran Om Fadil.

Ternyata waktu bisa mengubah segalanya. Mengubah yang benci jadi sayang, atau sebaliknya.

“Belanja dulu ya,” kataku menghentikan mobil di tempat parkir pasar tradisional.

“Biasanya kamu belanja di supermarket,” kata Gathan.

“Sama aja. Di pasar tradisional juga menyenangkan buat belanja.”

Kubeli sayur-sayuran segar, buah, ikan, telur.

“Banyak banget belanjanya,” Gathan membantu membawakan belanjaanku.

“Buat persediaan. Aku lagi belajar menikmati saat-saat memasak di dapur.”

“Oh ya Vivian, bolehkah aku main ke rumahmu?”

“Boleh. Kapan mau datang, nanti aku masak untuk kamu.”

Aku ingat Andika mengantar makanan ke rumah. Dari rasanya, aku tahu itu makanan yang dibeli di restoran, tapi Gathan mengatakan itu masakan buatan ayahnya. Itu masa-masa awal Om Fadil menarik perhatian mama.

Setelah mama dekat, Om Fadil membuka rahasianya itu. Mama tertawa mendengarnya. Masih teringat jelas betapa cantiknya mama saat tertawa. Ia tampak bahagia bersama Om Fadil.

Kuantar Gathan sampai rumahnya, kemudian aku ke rumah Fedy untuk menjemput Zakia.

Sampai rumah Pejaten, Fedy belum pulang, sementara Mariana sedang sakit gigi.

“Mau ke dokter, Ma?”

“Iya, lagi nunggu Fedy.”

“Aku antar yuk, Ma.”

“Mama maunya diantar Fedy.”

Mendengar itu, ulu hatiku tertusuk. Maksudnya, dia tidak mau diantar aku calon menantunya?

“Fedy kan masih lama. Yuk kuantar, Ma.”

“Sampai sana juga pasti harus menunggu, karena belum jam praktik. Nanti saja kalau Fedy sudah pulang.”

“Baiklah, Ma. Kalau gitu, saya pamit ya.”

“Iya,” suara Mariana terdengar dingin, tidak seperti biasanya.

Zakia berlari dengan tas di punggung.

Kuambil sekantung buah mangga di mobil dan memberikannya pada Mariana. “Ini buat Mama. Tadi saya ke pasar.”

“Di kulkas masih banyak mangga, nanti busuk kalau nggak dimakan,” dengan caranya Mariana menolak pemberianku.

Kuambil lagi mangga yang tertolak itu dan kubawa pulang.

Sampai di rumah, aku langsung ke dapur dan mengupas mangga. Kupotong-potong dan meletakkannya ke piring. Aku dan Zakia menikmati mangga sambil menonton film kartun kesukaan Zakia.

Awan tebal menggantung di depan mataku. Sikap Mariana yang tidak biasa membuatku sedih. Kesedihan yang tidak mungkin bisa kuceritakan pada Fedy. Kesedihan yang harus kutelan sendiri.

Zakia cekikikan melihat tingkah polah tokoh-tokoh kartun, sementara pikiranku melayang entah ke mana. Film itu tidak bisa membuatku tersenyum apalagi tertawa.

Aku pergi ke kamar mandi dan mengguyur kepalaku dengan air dingin.

***

Foto ilustrasi: hdwallpapers.im

Bersambung

Ikuti tulisan menarik Arimbi Bimoseno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler