x

Iklan

YOHAN MISERO

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Rodrigo Gularte: Sebuah Mimpi di Ujung Laras Panjang

Rodrigo Gularte, seorang penderita skizofrenia berkebangsaan Brazil merupakan salah seorang dari 10 terpidana mati yang dijadwalkan akan segera dieksekusi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saat pemerintah tengah gencar menyatakan perang terhadap narkotika, mengambil langkah untuk tetap mengeksekusi terpidana mati di tengah riuh protes kepala-kepala negara yang warga negaranya menjadi terpidana mati, BNN dan Polri kembali berhasil membongkar peredaran gelap narkotika yang dikontrol dari dalam penjara oleh seorang TERPIDANA MATI. Hal tersebut tentu amat mencengangkan. Bagaimana mungkin seseorang yang hanya menunggu kematian dan terkurung di balik tebalnya dinding penjara masih dapat mengendalikan peredaran gelap narkotika? Terkuaknya hal itu membuat banyak orang mengutuk si terpidana mati tersebut: betapa ia tak layak diberi pengampunan. Namun banyak dari kita lupa untuk juga melakukan kritisi terhadap pemerintah yang gagal mencegah terjadinya peristiwa ini. Ironis. Di tempat yang semestinya kejahatan dinihilkan, negara tak mampu mengendalikan tindakan seseorang yang penuh di bawah pengawasannya. Logika kita pun diusik. Mengapa kematian tak membuatnya takut untuk tidak melakukan tindak pidana? Apakah hukuman mati sia-sia belaka?

Terlepas dari pro & kontra hukuman mati, hujatan publik untuk surat terbuka Anggun C Sasmi, dan pelaksanaan eksekusi gelombang ke-2 di era Jokowi-JK, ada sebuah cerita yang luput dari perhatian kita dan media. Sebuah kisah  mengenai Rodrigo Gularte, seorang penderita skizofrenia berkebangsaan Brazil yang merupakan salah seorang dari 10 terpidana mati yang dijadwalkan akan segera dieksekusi. Ketika berusia 10 tahun, Rodrigo divonis menderita kelainan otak cerebral disrythimia oleh Prof. Eresto Chicon, dokter di bidang neurologi dari Universitas Negeri Bagian Parana, Brazil. Penyakit ini membuat Rodrigo kehilangan kontrol diri dan kapasitas untuk mengambil keputusan sehingga ia tidak memikirkan konsekuensi buruk yang mungkin ditimbulkan dari perbuatannya. Setelah 14 tahun Rodrigo menjalani perawatan medis dan psikiatrik, dokter kembali menemukan gangguan lain dalam diri Rodrigo. Rodrigo mengidap bipolar affective dissorder yang diturunkan secara genetis dari kakek dan ibu Rodrigo. Kakak laki-laki dan kakak perempuannya pun mengidap penyakit kejiwaan.

Rodrigo berbeda. Ia tumbuh dan besar dengan kondisi gangguan psikiatrik yang menjadikannya objek risak (bullying) yg sempurna bagi teman-temannya. Namun demikian, Rodrigo tumbuh menjadi orang yang baik. Ia bersih, tanpa catatan kriminal. Di sisi lain, Rodrigo, dengan segala kondisinya yang amat rentan, menjadi sasaran empuk mafia peredaran gelap narkotika internasional. Seperti yang ditemukan pada banyak kasus kurir penyelundupan narkotika, mafia –dengan segala tipu dayanya- berhasil memanipulasi Rodrigo. Mereka mengajak Rodrigo berlibur ke Indonesia bersama dua orang lainnya. Tanpa sepengetahuan Rodrigo, papan seluncur yang dibawanya masuk ke Indonesia telah diisi sebelumnya dengan narkotika. Rodrigo tertangkap dan entah mengapa dua temannya dilepaskan. Rodrigo pasang badan, tampil bak pahlawan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tahun 2005 menjadi tahun yang akan selalu ia kenang. Rodrigo Gularte divonis mati. Selama proses persidangan, fakta mengenai kondisi kejiwaan Rodrigo tidak pernah terungkap jelas. Baru pada 2014, pemeriksaan psikologi dan psikiatrik yang dilakukan RSUD Cilacap membenarkan gangguan kejiwaan Rodrigo, bahkan hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa Rodrigo mengidap paranoid skizofrenia yang ditandai dengan gejala halusinasi, delusi, dan depresi.

Telah genap 10 tahun Rodrigo mendekam di penjara, menanti eksekusi. Dia mulai lancar berbahasa indonesia, meski terbata-terbata dan terkadang masih sulit menemukan kata yang tepat untuk digunakan. Dia bercerita pada tim pengacara bahwa hukuman mati akan segera dihapuskan. Dia merasa mendengar siaran di radio yang mengabarkan bahwa kerajaan akan segera menghapus hukuman mati. Menurutnya, eksekusi mati yang digadang-gadang akan dilaksanakan dalam waktu dekat hanyalah bohong belaka. Baginya, hal itu dilakukan “raja” untuk menakut-nakuti rakyat. Ia merasa kedamaian akan segera datang dan seluruh rakyat, yang digambarkannya bertubuh aneh dengan kepala sebesar kubah masjid, akan menyambut gembira kabar tersebut. Tim pengacara tak bisa berbuat apa-apa untuk meyakinkan Rodrigo bahwa itu hanyalah halusinasi saja. Bagaimana mungkin Indonesia adalah sebuah kerajaan? Bagaimana mungkin seorang manusia berkepala besar, berdada kecil, dengan perut besar dan kaki yang kecil? Lalu yang terpenting, bagaimana mungkin hukuman mati di Indonesia dihapuskan ketika negara kita mengesampingkan hak hidup sebagai hak asasi?

Ini bukan sebuah drama. Ini adalah fakta yang dikesampingkan oleh pengadilan: bahwa seorang penderita skizofrenia yang seharusnya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, justru kini harus menghadapi eksekusi mati. Kejaksaan Agung mengakui bahwa orang yang sakit jiwa tidak dapat dipidana apalagi dihukum mati. Oleh karena itu, Kejaksaan Agung mencari second opinion mengenai kondisi kesehatan jiwa Rodrigo. Sebuah second opinion yang teramat penting bagi nyawa seorang manusia, yang –entah mengapa- hingga hari ini tidak juga dirilis. Dalam kekhawatiran yang menyakitkan, keluarga Rodrigo menanti second opinion tersebut.

Lalu, dimana kita? Apakah kita akan berdiri membela Rodrigo Gularte, atau justru diam dan membiarkan peluru menembus dadanya? Padahal, di saat yang sama kita tahu benar bahwa sistem peradilan kita korup, dipenuhi mafia, administrasinya berantakan, dan sungguh masih jauh dari ideal. Kemudian di saat yang sama pula, Rodrigo Gularte, di sebuah pulau terasing, menanti kematiannya. Kematian yang ia percaya tak akan datang dengan senapan karena sang “raja” akan segera menghapuskan hukuman mati, agar rakyat: bergembira.

 

Photo Credits: veja.abril.com.br

***

 

Ditulis oleh Naila Rizki Zaqiah, staf penanganan kasus di LBH Masyarakat, dan sedikit dibantu oleh Albert Wirya, staf riset di lembaga yang sama. Profil Nayla dapat dilihat di twitter maupun di facebook. Sedangkan anda dapat mengenal Albert lebih dalam dengan mengunjunginya di facebook maupun di blognya yang luar biasa: https://pelurukosong.wordpress.com. Kegiatan LBH Masyarakat sendiri pun dapat saudara-saudari pantau melalui twitter, facebook, dan situs resminya. Tulisan ini diunggah di sini dengan persetujuan Naila (yang amat disayangkan tidak memiliki blog) & Albert serta sedikit dihias oleh Yohan Misero, sang pemilik akun,  yang bisa dikunjungi di http://sembunyimu.blogspot.com/ atau diikuti di https://twitter.com/yohanmisero.

Ikuti tulisan menarik YOHAN MISERO lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu