x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Membangun Jembatan, Bukan Menghancurkan

Akbar S. Ahmed, pemikir Muslim terkemuka saat ini, tak letih mengajak berbagai pihak untuk membangun saling-pengertian, bukan menebarkan kecurigaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"What Andalusia Can Teach Us Today About Muslims and Non-Muslims Living Together”

 

--Kicauan Akbar Ahmed, 20 April 2015

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Akbar Ahmed tengah berada di sebuah kelas di American University, dan ia baru saja mulai mengajar, beberapa mil dari Pentagon. Begitu kabar mengenai serangan 11 September 2001 ke World Trade Center itu mulai datang, Ahmed melihat wajah terkejut dan ketakutan di wajah-wajah mahasiswa saya yang masih muda-muda. “Saat itu, saya menyadari dengan sangat jelas, tanpa keraguan atau ambiguitas, bahwa tiba saatnya tantangan terbesar bagi saya, baik dalam pengertian pribadi sebagai seorang Muslim maupun sebagai sarjana di kampus yang mengajarkan Islam sebagai subyek,” kata Ahmed dalam wawancaranya dengan Mark O'Keefe, Associate Director, Editorial, Pew Forum on Religion & Public Life (2006).

Tantangan itu menjadi berat, sebab selama berpuluh tahun sebelum peristiwa itu, Ahmed berusaha terus menciptakan dialog antarkeyakinan di antara berbagai umat di Inggris. Baginya, kejadian itu menantang karena, tidak seperti di Inggris, Amerika Serikat tidak mempunyai sejarah panjang interaksi dengan dunia Muslim. Inggris telah memiliki interaksi semacam itu bersama koloninya di Asia Selatan dan di dunia Muslim. Tentu saja, ada negatif-positifnya, tetapi interaksi itu menyimpan banyak kekayaan yang tidak dialami oleh Amerika Serikat.

Ahmed termasuk di antara sarjana yang menolak tesis Samuel Huntington tentang meningkatnya konflik antarperadaban dan bahkan menulis buku yang memuat pandangan yang berlawanan: After Terror: Promoting Dialogue among Civilizations—empat tahun setelah peristiwa 11 September 2001. Ia membantah bahwa serangan AS ke Irak, konflik di Libanon dan retorika anti-Amerika di berbagai tempat sebagai wujud dari konflik antarperadaban. Konflik itu pernah terjadi berabad-abad yang lampau, yang membuat hubungan Islam dan Barat selanjutnya menjadi sulit. Tetapi, menurut Ahmed, kita juga mempunyai periode harmoni, sintesis budaya, juga interaksi gagasan yang luar biasa—sesuatu yang menjadi bahan kritik Ahmed kepada Huntington, sebab Huntington melupakan periode ini.

Ahmed mencontohkan, seluruh pemikiran Yunani dari filosof-filosof besar  seperti Aristoteles dan Plato tidak dikenal luas dan terlupakan hingga kaum Muslim menerjemahkannya pada masa Spanyol Muslim seribu tahun lalu dan memungkinkan Eropa menemukan pemikiran itu dalam bahasa Arab, menerjemahkannya ke dalam bahasa Latin, dan dari Latin ke dalam bahasa Prancis dan kemudian Inggris. Selama berabad-abad proses penemuan-kembali Yunani sampai ke Eropa melalui Muslim. Siklus ini selanjutnya memicu Renaisans dan Pencerahan Eropa.

Dalam penilaian Ahmed, ada pula perkembangan mutakhir yang dilupakan Huntington dalam tesisnya, yakni migrasi massal kaum Muslim ke Eropa dalam beberapa dekade terakhir. Jutaan Muslim kini hidup dan berinteraksi, menjadi warga negara Barat, di Inggris, Jerman, Prancis, dan banyak lagi di negara-negara Eropa lainnya. Di AS saja ada beberapa juta Muslim. “Penyair abad ke-13 Jalaluddin Rumi yang lahir di Afganistan adalah penyair yang karyanya paling laku di Amerika Serikat,” ujar Ahmed. “Fakta sejarah lainnya: negara pertama di dunia yang mengakui Amerika Serikat ialah Maroko, sebuah negeri Muslim. Jadi, yang berlangsung bukanlah sungguh-sungguh suatu perbenturan peradaban. Meskipun ada unsur perbenturan, ada unsur yang lebih besar yakni sintesis, pemahaman, dan dialog yang sporadis.”

Unsur-unsur tersebut kurang dieksplorasi, sehingga yang menonjol adalah pertentangan semata. Ahmed menyebut sayap kanan dan media di AS, setelah 9/11, yang telah mempopulerkan tesis Huntington. Di seluruh dunia, orang berbicara tentang benturan peradaban. “Benturannya Huntington,” kata Ahmed. Namun, bila mau akurat, menurut Ahmed, kita perlu mengakui bahwa Bernard Lewis adalah orang yang lebih dulu mengangkat pandangan ini dan Huntington mengambilnya dari artikel Lewis.

Ahmed menilai para analis keliru karena telah menyeragamkan kaum Muslim. Dalam sebuah wawancara, ia mencontohkan ada Muslim yang mengambil model sufi-mistis, seperti Rumi, ada Muslim semacam Ali Jinnah yang menyerap nilai-nilai Barat dan ingin menyintensiskan dengan Islam, ada pula yang ingin menjadi eksklusif dengan menarik batas yang tegas di sekeliling Islam dengan anggapan Islam sedang terancam dan ada dalam bahaya seperti dicontohkan oleh Taliban di Afganistan—tempat kelahiran Rumi. “Di antara ketiga model ini saja sudah terjadi benturan, konflik, oposisi,” kata Ahmed. “Ini realitas yang membumi di dunia Islam hari ini, bukan hanya fenomena 9/11.”

Lahir di Allahabad, sebuah kota kecil di tepian Sungai Gangga yang kemudian dikenal sebagai British India, Ahmed adalah seorang antropolog yang menonjol. Ia barangkali salah satu pemikir Muslim saat ini yang paling banyak memperoleh apresiasi. Yang mutakhir, setelah menerima Rumi Peace and Dialogue Award pada 2008, ia memperoleh penghargaan Abraham Joshua Herschel-Martin Luther King, Jr. Award for Interfaith Activism pada 2009. Oleh BBC, ia dipandang sebagai “the world’s leading authority on contemporary Islam”. Kini ia menjadi guru besar di American University, Washington, D.C., menempati posisi Ibn Khaldun Chair of Islamic Studies.

Sebagai antropolog, ia memiliki kecakapan yang lebih dalam melihat masyarakat Muslim, di antara kaumnya sendiri, maupun dalam hubungannya dengan masyarakat lain, khususnya Barat. Akbar Ahmed menawarkan perspektif yang unik dari seorang antropolog yang hidup dan mempelajari budaya Islam maupun budaya Barat. Karena itulah, ia mencoba menjembatani—dan bukan mempertentangkan—hubungan dua dunia itu, dengan menyusuri kekayaan hubungan di masa lampau dan melihat kemungkinan-kemungkinan yang baik di masa mendatang.

Dalam Posmodernisme, Bahaya dan Harapan bagi Islam (Mizan, 1993), Ahmed menyatakan bahwa pada permulaan abad ke-21, konfrontasi antara Islam dan Barat menimbulkan dilema internal bagi keduanya. Ujian bagi Muslim adalah bagaimana melestarikan esensi pesan-pesan Al-Quran, tentang adl, ahsan, ilm dan shabr, tanpa mereduksinya menjadi sekadar nyanyian kuno dan kosong dalam zaman kita. Juga, bagaimana berpartisipasi dalam peradaban global tanpa menghapus identitas mereka. Kaum Muslim berada di persimpangan jalan: antara memanfaatkan vitalitas dan komitmen mereka untuk dapat memenuhi tujuan mereka di pentas dunia, atau menghamburkan energi mereka melalui perselisihan kecil.

Keadilan itu, kata Ahmed, berlaku bagi kaum Muslim sendiri maupun bukan-Muslim. Di internal kaum Muslim sendiri, Ahmed pernah memprihatinkan nasib kebanyakan intelektual Muslim di beberapa negara Asia. Di masa lampau, sebagian dari mereka—seperti Abdus Salam dan Fazlur Rahman di Pakistan—dikucilkan, dibungkam, atau diasingkan. Secara khusus, ia menyoroti arah Pakistan yang berubah dari apa yang diimpikan oleh pendirinya, Muhammad Ali Jinnah. Impiannya akan Pakistan sebagai negara Islam modern mengalami tekanan hebat setelah Jenderal Zia-ul-Haq mengambil alih kekuasaan pada 1977 melalui kudeta militer dan meluncurkan kampanye untuk “mengislamkan” Pakistan.

Lantaran itulah, Ahmed berikhtiar memotret Jinnah dengan menggarap beberapa proyek pada 1990an, yang disebut Jinnah Quartet. Proyek ini meliputi pembuatan film tentang Ali Jinnah (yang diluncurkan dalam bahasa Inggris dan Urdu pada 2000), sebuah dokumenter televisi, Mr. Jinnah—The Making of Pakistan (diluncurkan pada 1997), sebuah buku akademis berjudul Jinnah, Pakistan and Islamic Identity: The Search for Saladin (diterbitkan oleh Routledge pada 1997), dan sebuah novel grafis yang diterbitkan oleh Oxford University Press pada 1997.

Jinnah Quartet berusaha menjawab pertanyaan krusial tentang masyarakat Muslim yang sering diajukan oleh banyak sarjana dan intelektual—muslim maupun non-Muslim, yakni “Dapatkah negara-negara Muslim menghasilkan pemimpin yang moderat? Dapatkah kaum Muslim memiliki pemimpin yang memperhatikan hak asasi manusia, hak-hak perempuan, hak-hak minoritas, dan kesucian hukum, dan yang sanggup memimpin bangsa mereka ke komunitas internasional dengan terhormat?”

Orang awam memiliki sedikit gagasan mengenai model demokratik yang khas masyarakat Muslim, sebab para sarjana dan intelektual yang mampu mengartikulasikan visi ini dibungkam. Pembungkaman ini, kata Ahmed, telah memutuskan warga Muslim dari bagian diri mereka sendiri. Di satu sisi, ia mengecam perlaku para penguasa politik dan pemuka masyarakat yang mengatasnamakan agama untuk membuat para sarjana dan intelektual menutup mulut, di sisi lain ia menyayangkan sebagian dari kaum intelektual ini tidak berani bersikap kritis.

Ahmed membandingkan bagaimana sarjana-sarjana hebat dari masa lampau sangat menghormati penekanan Islam atas pengetahuan dengan terus berusaha mencari kebenaran ketimbang takluk pada tekanan penguasa. Ibn Khaldun, sejarawan dari abad ke-14, petualang dan penulis Ibnu Batutah dari zaman yang sama, Abu Raihan Muhammad al-Beruni dari abad ke-11; mereka membuat para penguasa tidak nyaman, namun mereka melanjutkan tradisi Islam untuk mengejar pengetahuan bagi kemanfaatan semua.

Dalam pandangannya mengenai Islam dan Barat, Ahmed melihat perlunya perubahan cara pandang. Bila sebelumnya, selama ratusan tahun Barat memperlakukan Islam sebagai “yang lain” atau sebagai “ada di sana”—karena sebagian besar memang tinggal di Asia dan Afrika, kini pandangan yang sederhana ini menjadi rumit dengan kehadiran orang-orang Muslim di Barat lebih dari 10 juta orang. Sekitar 5-6 juta tinggal di Eropa dan sekitar 4-5 juta menetap di Amerika.

Bahwa kaum Muslim tinggal di Barat, menurut Ahmed, secara teologis ada dalam harmoni dengan sikap Quran. Berkali-kali Quran menegaskan bahwa domain Tuhan tidak dibatasi oleh Timur atau Barat—Tuhan ada di mana-mana. “Jadi, kita perlu frame of reference yang baru,” kata Ahmed. Tak bisa lagi ada dikotomi Islam versus Barat; yang ada ialah Islam dan Barat atau Islam di Barat. Secara teologis barangkali tidak ada kendala bagi Muslim di Barat, tapi kendala sosiologis dan politik agaknya sukar dihilangkan. Di usianya yang sudah senja, ia mengerjakan studi mengenai pengalaman komunitas Muslim dalam masyarakat Amerika dan menulis buku American Identity and the Challenge of Islam. Karya penting lain yang terbit pada 2013 ialah The Thistle and the Drone: How America’s War on Terror becames a Global War on Tribal Islam.

Upaya keras Ahmed untuk menjembatani kaum Muslim dan Kristiani dilakukan antara lain dengan mengadakan dialog keliling bersama Judea Pearl. Judea adalah ayah Daniel Pearl, reporter Wall Street Journal yang dibunuh oleh teroris di Pakistan beberapa tahun lalu. Ahmed mengaku sangat sulit saat pertama kali memulai dialog yang terbuka untuk publik itu, sebab ia menyadari bahwa ia merasa dilihat sebagai simbol peradaban yang menghasilkan pembunuh Daniel. Namun kemauan baik Judea maupun Ahmed membuat dialog itu lancar dan berlangsung berkali-kali di berbagai kota di AS, Inggris, dan Kanada dengan dihadiri ratusan orang setiap kali berlangsung. Dialog itu pula yang meredakan ketegangan antara mahasiswa Yahudi dan Muslim di Duke University, AS. “Usai dialog, mereka ngobrol dengan ramah dan diakhiri dengan makan malam bersama,” kata Ahmed, yang menerima Abraham Joshua Herschel-Martin Luther King, Jr. Award for Interfaith Activism pada Januari 2009. Namun di Pakistan ia memperoleh ancaman karena dialog itu.

Perihal “dialog”, Ahmed mengakui bahwa kata ini terdengar retoris dan klise. Tapi dialoglah, kata Ahmed, yang membawa kepada pemahaman satu sama lain. “Melalui dialog saya bisa mengetahui penderitaan, sejarah, dan tradisi orang-orang ini,” kata Ahmed. “Dari dialog kami melihat kemungkinan dan persahabatan mengubah setiap hal.” (sbr foto: kouroshziabaridotcom) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu