x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Letihkah Kita atau Sakitkah?

Bagaimana mungkin bocah-bocah kecil jadi korban kekerasan orang dewasa? Tapi itulah yang terjadi—bukan dongeng. Apakah kita letih, atau sakit?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Belum lama kita dikejutkan oleh peristiwa terungkapnya penelantaran lima anak bersaudara oleh kedua orangtuanya di Cibubur, tiba-tiba kita dikejutkan oleh kematian mengenaskan Angeline. “Di alam baka, tak ada lagi yang menyakitimu, Angel!” Lalu ihwal GT, bocah 12 tahun, yang dikabarkan kerap disiksa ibunya.

Bagaimana mungkin bocah-bocah kecil jadi korban kekerasan orang dewasa? Tapi itulah yang terjadi—bukan dongeng atau cerita fiksi. Mungkin saja baru akhir-akhir ini sering terjadi, namun bisa jadi baru kali ini pula banyak terungkap.

Barangkali saya keliru, namun saya merasa, dalam masyarakat kita, kekerasan terasa semakin banal, dianggap lumrah. Di antara anggota keluarga sendiri, praktik kekerasan menjadi jamak. Orangtua bukan hanya ringan mengayunkan tangan kosong kepada anak, bahkan orangtua tak segan mencabut jiwa buah hati sendiri. Begitu pun sebaliknya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apakah kekerasan itu adiktif? Bila pertanyaan ini diajukan kepada David Grossman, pensiunan letnan kolonel di dinas militer AS, ia akan tegas menjawabnya: ya! Grossman, yang ahli de-sensitifikasi, mengatakan: semakin kerap seseorang melakukan kekerasan, ia semakin tidak sensitif terhadap penderitaan orang lain. Ia semakin terbiasa dengan kekerasan, adiktif, dan menikmati.

Media berperan dalam menyingkapkan praktek kekerasan yang selama ini mungkin tersembunyi. Pemberitaan media mengenai tindak kekerasan oleh orang-orang dekat, maupun siapapun terhadap siapa saja, membantu pengungkapan siapa pelaku dan bagaimana kekerasan itu dilakukan.

Namun Leonard Leon, mantan Ketua Komisi Kekerasan dan Kaum Muda pada American Psychological Association, seperti dikutip John Naisbitt dalam bukunya High Tech High Touch, juga mengingatkan: terlalu sering menonton berita di televisi atau film kekerasan menjadi salah satu penyebab meningkatnya perilaku agresif, kejahatan, dan kekerasan dalam masyarakat. Dan, seperti kata Grossman, “Industri televisi sejak awal sudah tahu bahwa konten yang bersifat adiktif adalah kekerasan.”

Mungkin ada yang menentang pandangan ihwal peran televisi itu, tapi kajian yang diterbitkan American Medical Association pada 1992 patut ditengok. Disebutkan, hampir di setiap tempat di dunia yang terdapat televisi, 15 tahun kemudian angka pembunuhan meningkat dua kali lipat.

Apa sesungguhnya peran televisi? Pemicu aksi kekerasan atau penular ide kekerasan sehingga berpindah cepat bagai virus, atau penanam gagasan ke dalam benak kita para penonton bahwa kekerasan adalah cara yang lumrah untuk menyelesaikan masalah. Mungkin pula kita harus bertanya apa yang terjadi dalam masyarakat kita: tekanan ekonomi dan sosial,  manifestasi rasa frustrasi individual dan sosial, kesakitan psikologis, atau benih kekerasan dalam gen kita mudah terpantik oleh situasi?

Grossman, dalam konteks Amerika, mengatakan bahwa kita tengah menciptakan generasi anak-anak dengan penyakit baru yang mematikan, yang ia sebut acquired violence immune deficiency (AVID)—merujuk pada istilah AIDS. “Kita membiarkan anak-anak menonton gambar-gambar penderitaan manusia dan kematian,” ujarnya lagi. “Kita membesarkan generasi yang belajar mengasosiasikan kekerasan dengan kesenangan.”

Grossman sepertinya benar. Bulan lalu, Dylan Roof telah mencabut nyawa sembilan orang di gereja dengan senjata apinya. Kita boleh becermin pada Amerika, sebab di sini kekerasan semakin banal: orang dewasa (bahkan orang tua) terhadap anak, dan anak terhadap orang tua.

Apakah kita tengah memasuki masa letih, sebagaimana dikatakan oleh Sissela Bok dalam Mayhem? Ya, fase keletihan yang membuat kita tak mampu lagi berbelas kasihan, berempat pada penderitaan sesama, meringankan kesusahan sesama, bahkan tak mampu lagi untuk terharu. (foto: tempo.co) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu