x

Iklan

Wulung Dian Pertiwi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Laut Sabang, Catatan-catatan Seorang Urban - Rubiah

Satu nama tidak bisa lepas dari Laut Sabang adalah Rubiah. Berikut catatan saya tentang Rubiah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seorang perempuan anggun rupawan, belas kasih pada sesama, putri ulama ternama, dan kukuh pendirian, mungkin keras kepala. Ia rela mengasing menyeberang selat sempit meninggalkan suami demi pendiriannya. Sejak itu sampai wafat, ia tak meninggalkan pulau dan menjadi orang pertama yang tinggal.

Sesaat setelah pindah ke Sabang dari Aceh daratan, putri ulama tadi menjinakkan anjing-anjing liar lalu memeliharanya. Pulau baru tempat asing bagi sang putri. Mempertimbangkan keselamatan, sang putri melatih anjing-anjing liar menjadi penjaga. Suami sang putri, yang seorang alim, melarang kebiasaan itu, mungkin khawatir lalai menjaga kesucian. Liur anjing tergolong najis berat dengan langkah pembersihan yang panjang menurut Islam.

Konon, perbedaan sepele itu menyebabkan putri terusir keluar. “Weh (menjauhlah, pergilah, Bahasa Aceh)!” hardik si suami. Sang putri menaati dan pergi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Putri Siti Rubiah abadi akhirnya. Pulau tempatnya mengasing diberi nama sesuai namanya. Pulau Rubiah menjadi satu dari lima gugusan pulau di Sabang, selain Weh, Klah, Seulako, dan Rondo. Itu Rubiah versi legenda.

Rubiah pulau kecil di Barat Laut Sabang, yang cukup satu jam, bahkan kurang dari itu, untuk sekedar berjalan santai satu putaran. Kemana melangkah kita bisa mendengar debur ombak dan menyaksikan laut lepas dinaungi rindang Jati dan Ketapang, tumbuhan-tumbuhan dominan. Sudah ada lintasan beton untuk menyusuri pulau kecil, yang dari kejauhan mirip rimba mungil ini. Jika berjalan siang hari, kita akan melihat kawanan Kelelawar nyenyak bergantung tenang pada dahan-dahan tinggi. Entah di mana sarangnya, tapi menatap Pulau Rubiah dari luar, sesekali, kita disuguhi pemandangan Elang Laut menuju dan meninggalkan pulau, pergi dan kembali, selalu terbang sendiri.

Rubiah memiliki pantai Peuneuden di Selatan dan Rubiah Jetty sisi berlawanan, yang keduanya berpasir putih. Tepian pulau sisanya adalah tebing rendah dengan batu-batu licin. Pohon-pohon seperti tumbuh di atas batu-batu jika kita menikmati Rubiah dengan berkeliling menumpang perahu-perahu kecil. Silahkan memilih, perahu fiber atau perahu kayu berongga petak di tengah geladak, yang nanti sejenak setelah bertolak, dipasangi kaca berbingkai. Perahu kaca, pilihan kedua tadi, melayani mereka yang ingin menyaksikan taman laut Rubiah tanpa menyentuh air.   

Pulau Rubiah mudah dijangkau dari Kota Sabang, tinggal berkendara lebih kurang satu jam dengan sepeda motor atau roda empat menuju Teupin Layeur (baca : Tepin Laye) Desa Iboih (baca : Iboh). Teupin berarti tempat tambat kapal, sekaligus menandai pembagian wilayah dalam desa-desa pesisir di Aceh, sehingga dalam sebuah desa, Iboih misalnya, terdapat beberapa teupin. Iboih itu desa terbarat Indonesia tempat ikon Kota Sabang, Tugu Kilometer Nol, berada. 

Di Teupin Layeur, Pulau Rubiah langsung terlihat. Perlu sepuluh menit ke Peuneuden yang sisi Utara, dan lebih cepat lagi jika tujuan sandar Rubiah Jetty, yang di Selatan. Kalau sudah liburan, pantai-pantai segera bertabur bintik oranye dari pelampung pelancong-pelancong yang bersnorkel atau sekedar berenang, terlihat dari kejauhan. Disitu memang tak berarus, laut lumayan tenang.

Di atas Pulau Rubiah, keluarga-keluarga bisa bersantai. Bocah-bocah kecil berkerumun kebanyakan berjam-jam mengaduk-aduk pasir menciptakan apapun. Ada jaring-jaring ayunan (hammock) terkait di kaki-kaki Ketapang di Pantai Peuneuden, juga dipan tua, beberapa. Hammock-hammock diperebutkan mereka yang ingin menyendiri, tempat berbaring sambil membaca, sebentar mengistirahatkan badan, atau tidur lelap sekalian.

Dipan-dipan menjadi tempat makan. Hidangan bisa bekal bawaan atau ikan bakar dan nasi hangat yang dipesan dari kedai-kedai makan milik warga. Tambahannya bisa kelapa-kelapa muda asli dari Pulau Rubiah masih utuh dalam batok, yang terkerat bulat kecil bagian atas, tempat menyalurkan gula, jeruk nipis, sedotan, dan sendok pengaduk. Ikan bakar selalu segar di Pulau Rubiah karena pemilik tempat makan kebanyakan nelayan. Mereka akan mengambil bahan dasar olahan langsung dari laut di hadapan mereka sejenak setelah ada pesanan.

Pulau Rubiah ditinggali hanya satu keluarga, Keluarga Pak Yahya. Dulu, dekat saya pindah ke Sabang, Pak Yahya ini satu-satunya penyedia ikan bakar di Rubiah. Sekarang ramai saingan.

Biarpun banyak orang bertandang, warga pemilik usaha wisata di Rubiah memilih datang pagi pulang petang. Dua alasan yang sering dikemukakan orang-orang, satu, Pulau Rubiah mudah dijangkau karena sangat dekat daratan Weh yang pulau utama, dua, perlu kesiapan material dan ketabahan kelas dewa. Sehari, dua hari, bermalam di pondok-pondok yang disewakan di Pulau Rubiah, mungkin demikian tenang dan indah, tapi menetap perlu persiapan besar, pendapat orang Sabang.

Wajar orang tidak mau tinggal karena kelengkapan hidup tergolong minimal menurut saya. Listrik dari PLN hanya jam 6 sore sampai jam 12 malam, tidak ada air bersih dari pemerintah, yang ada hanya sumur-sumur tua, sebagian malah kelewat keruh. Untuk bertahan hidup dan melayani wisatawan, Pak Yahya dan pengusaha lain berswadaya. Listrik mereka penuhi dari generator-generator pribadi, air mandi terpaksa mengandalkan sumur ditambah menampung air hujan, dan air bersih untuk konsumsi membeli air mineral kemasan. Biaya hidup tinggi masih ditambah transportasi dari dan ke Rubiah yang satu-satunya lewat laut. Pengusaha wisata di Pulau Rubiah, rata-rata memiliki perahu pribadi sehingga biaya lalu-lalang seharga bahan bakar saja.

Apapun kondisinya, nyatanya Rubiah tujuan wisata nomor satu di Sabang, penilaian saya. Pulau ini eksotis. Perjalanan Sabang membuktikan 2600 hektar perairan Barat Laut Pulau Weh berstatus kawasan perlindungan, dinamai Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Pulau Rubiah. Ini ketetapan lama bahkan tergolong pertama dalam koservasi perairan Indonesia.

Cerita TWAL saya catatkan nanti, kemudian.

Ikuti tulisan menarik Wulung Dian Pertiwi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler