x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Membangun ‘Jejaring Sosial’ dalam Perusahaan

Adopsi enterprise social software diperlukan agar perusahaan dapat memanfaatkan seluruh potensi manusianya tanpa terhalang sekat-sekat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Surat elektronik (e-mail) bukan teknologi baru bagi kebanyakan orang di masa sekarang. Orang sudah mengenalnya bertahun-tahun sebelum Facebook, Twitter, LinkedIn, Path, Line, WA—yang disebut sebagai media sosial—lahir. Kini, surat elektronik tetap dipakai, sementara pemanfaatan teknologi media sosial kian meluas hingga merambah ranah bisnis pula.

Istilah ‘sosial’ pada akhirnya menunjukkan kebutuhan manusia untuk berinteraksi dengan manusia lainnya. Teknologi menjadi sarananya. Dalam konteks bisnis, komersial, enterprise, istilah sosial muncul sebagai social software atau enterprise 2.0. Peranti ini menjadi mediasi bagi interaksi di antara penggunanya. Di dalamnya terdapat pertukaran informasi, kolaborasi, integrasi kapabilitas, maupun pengelolaan pengetahuan (knowledge management).

Manfaat bisnis dari pengadopsian social software mencakup tujuan-tujuan internal perusahaan, hubungannya dengan konsumen, serta memperkuat kerjasama dengan mitra bisnis. Secara internal perusahaan, social software memperbaiki komunikasi manajemen dengan karyawan. Menyampaikan rencana perubahan, misalnya, dapat dijalankan secara lebih kontinyu dan mencakup bagian-bagian yang lebih luas. Perusahaan menyerap umpan balik konsumen lebih cepat dan aktivitas perbaikan layanan semestinya juga bisa dilakukan lebih cepat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Para manajer yang berasal dari generasi pra-media sosial seyogyanya belajar cepat terhadap perubahan-perubahan yang terjadi akibat perkembangan teknologi ini. Apa lagi, semakin banyak karyawan yang berasal dari generasi yang menjadikan media sosial bagian hidup mereka sehari-hari, yang membuat mereka juga terbiasa dengan social software dalam konteks perusahaan dan bisnis. Perusahaan dapat memetik manfaat untuk perbaikan komunikasi, pertukaran gagasan, kolaborasi pengembangan produk, meningkatkan kerjasama antar bagian. Begitu banyak.

Pertukaran gagasan dapat berlangsung tanpa harus tatap muka dalam suatu rapat. Karyawan dari berbagai lini, jenjang, ragam pengetahuan dan keahlian, maupun pengalaman dapat bertukar pikiran. Sekat-sekat yang lazim membentengi antar bagian, dengan demikian, dirobohkan. Gagasan baru yang cemerlang dapat diinkubasi hingga matang berkat partisipasi komunitas internal.

Secara global, adopsi terhadap social software memang cenderung meningkat. Laporan Frost & Sullivan menyebutkan bahwa belanja untuk peranti lunak ini tumbuh hampir 30% terhitung sejak 2012 ke 2013. Dan kecenderungannya terus meningkat.

Meski begitu, ketersediaan social software dalam perusahaan memang tidak serta merta mendorong karyawan untuk memakainya, khususnya mereka yang sudah terbiasa bekerja dengan cara-cara lama. Agar adopsi social software untuk kebutuhan internal berjalan efektif, dukungan manajemen jelas diperlukan—seringkali, hambatan justru muncul di jenjang atas. Kepemimpinan manajerial di berbagai jenjang menjadi kunci bagi adopsi yang berhasil.

Tentu saja, adopsi yang efektif bukan dilakukan dengan memaksakan pemakaian teknologi ini kepada karyawan. Perusahaan dapat menempuh pendekatan lain, yakni menyediakan perantinya dan memperlihatkan manfaat dan nilanya. Pembentukan nilai-nilai baru dapat berjalan seiring dengan pematangan proses adopsi. Para ahli memberi pandangan agar karyawan mendukung adopsi social software di lingkungan perusahaan:

Pertama, adopsi ini harus dikoneksikan dengan tujuan-tujuan bisnis perusahaan. Dengan demikian, karyawan merasakan secara langsung efek dari adopsi terhadap tujuan perusahaan dan apa dampaknya bila mereka enggan menggunakan social software.

Kedua, penting untuk memahami profil penggunaa social software dalam perusahaan, termasuk usia, budaya perusahaan, fungsi bisnis yang dijalankan, distribusi geografi, maupun kefasihan dalam menggunakan teknologi mutakhir.

Ketiga, adopsi social software dapat dimulai dari kelompok kecil. Keberhasilannya dapat menjadikannya best practise sehingga bagian lainnya terdorong untuk mengadopsinya. Dalam lingkup kecil terlebih dulu, dampak kegagalan dapat dilokalisasi.

Keempat, nilai-nilai baru—kolaborasi aktif, semangat berbagi pengetahuan, dsb—yang tumbuh dalam lingkup kecil dapat segera menyebar ke bagian-bagian lain apabila performansi sebagai akibat adopsi menunjukkan peningkatan.

Kelima, dukungan manajer senior dan eksekutif perlu ditunjukkan dengan secara konkret mengaplikasikan social software, bukan sekedar memberi perintah. Tunjukkan, dan yang lain akan mengikuti. (sumber ilustrasi: marsdd.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB