Mengapa Hitam Menakutkan?

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tatkala langit berselimut awan tebal, mengapa kamu takut? Mengapa kucing hitam yang menyelinap di malam gelap seolah mengirim pertanda buruk?

“Black is not sad.
Bright colors are what depresses me.
They’re so… empty.
Black is poetic.
How do you imagine a poet?
In a bright yellow jacket?
Probably not.” 
--Ann Demeulemeester (fashion designer, 1959-...)

 

Apa yang hendak kamu katakan tatkala melihat kopi tidak berwarna hitam? Melainkan hijau, biru, kuning, atau ungu? Masihkah ia kopi?

Ketika kamu terisap dalam mimpi buruk, tenggelam dalam ruang tertutup yang gelap gelita—mengapa hitam semata yang ada; mengapa hitam lebih menyesakkan ketimbang biru atau cokelat? Mengapa engkau menggapai-gapai terang dalam mimpi nan gelap? Mencari-cari oksigen di tengah napas yang sesak?

Tatkala langit berselimut awan tebal, mengapa kamu takut—semakin hitam awan, semakin menakutkan. Kecemasan menyertai harapan akan turunnya hujan dari langit—tapi apakah badai akan menyertai, apakah petir akan menerangkan langit, apakah guntur akan menggelegar?

Mengapa kucing hitam yang menyelinap di malam gelap seolah mengirim pertanda buruk? Ataukah itu hanya pikiran kita yang terperangkap dalam persepsi tentang hitam? Hitam yang menakutkan, hitam yang jahat, hitam yang mengirim kematian, hitam yang menciptakan nuansa suram, duka, dan kesedihan?

Tapi bukankah hitam juga kemewahan, menebarkan nuansa elegan, mencitrakan ketegasan, juga membangkitkan keanggunan? Ketika engkau berbusana putih, hitam hadir sebagai aksen yang menguatkan sosok dirimu.

Hitam menjadi kesukaan anggota kelompok rahasia, tapi hitam juga menyertai kesalehan para asketik. Hitam pada arloji yang melingkar di pergelangan tangan menguarkan keanggunan—para desainer menyukai hitam. Kita menulis dengan tinta hitam di atas kertas putih—kita menyukai kontras; tapi, apakah itu berarti hitam buruk ketika putih dianggap pertanda kebaikan.

Hitam adalah melankoli, dan bukan hanya di zaman romantik. Hitam juga menandai permulaan fotografi ditemukan, mesin-mesin Gutenberg mulai mencetak pamflet, buku, dan suratkabar. Hitam, rasanya, menyertai perubahan sosial, bahkan ketika laptop tersedia dan internet menemani hidup kita. Meja makan kita juga hitam. Sepatu kita hitam—hitam adalah formal, biru adalah kasual (bukankah tak selalu demikian?). Hitam itu puitis, kata Ann Demeulemeester.

Makna hitam bergantung kepada konteks—barangkali seperti ini. Dan aku selalu merindukan hitam, sekalipun terkadang dengan rasa cemas. (sumber ilustrasi: 7-themes.com)***

Bagikan Artikel Ini
img-content
dian basuki

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

img-content

Bila Jatuh, Melentinglah

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terpopuler di Peristiwa

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua