x

Iklan

Adjat R. Sudradjat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Memang Tampaknya Sindrom Ababil Sedang Melanda Anggota Dewan

Kegaduhan di kalangan anggota Dewan dari awal dilantik sampai sekarang telah membuat mereka lupa pada tugas dan kewajiban yang sesungguhnya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kegaduhan yang sepertinya tak pernah ada jeda di kalangan yang terhormat wakil rakyat di Senayan, telah menimbulkan banyak asumsi publik yang bermuara kalau memang benar para anggota dewan tersebut bukannya sedang menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai wakil rakyat, melainkan mengurus demi kepentingan diri sendiri dan golongannya semata. Dan fenomena seperti ini  bisa jadi karena mereka yang mengaku wakil rakyat tersebut sedang mengalami Sindrom Ababil, sebagaimana istilah yang dipopulerkan Jazak Yus Afriansyah.

Menurut Jazak, Ababil adalah akronim dari ABG (Anak Baru Gede) labil. Maksudnya adalah sikap dan perilaku para remaja yang jelas terlihat lebih centil dari biasanya karena kondisinya sedang labil, dan ingin mencari perhatian, dengan kata lain sedang mengoperasikan strategi pencitraan untuk mencari jati-diri.

 Akan halnya anggota dewan yang terhormat  yang labil ini oleh publik dikenal dengan besar mulut, asal bicara, dan tampak agresif mengurusi pekerjaan orang lain yang bukan urusannya. Lantas apa yang menyebabkan wakil rakyat ini menjadi centil dan labil?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 Berdasarkan kajian empiris banyak oknum yang labil ini ada pada kuadran 2, yaitu mereka yang memiliki Komitmen tinggi karena baru saja mendapatkan jabatan yang diinginkannya, namun sayang memiliki kompetensi yang rendah.

 Maka untuk menutupi kelemahannya atau kemampuannya yang masih rendah itu, dia akan melakukan gerakan pencitraan agar dipersepsikan sebagai orang yang pintar, cerdas dan menguasai semua hal.

Bahkan kalau boleh menambahkan pendapat di atas, sikap para anggota dewan yang seperti itu, sebagaimana pernah dikatakan mediang Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), mantan Presiden RI ke-4, tak ubahnya seperti murid taman kanak-kanak sahaja.

Betapa tidak, coba saja kita perhatikan dengan munculnya kubu KMP dan KIH paska pilpres lalu. Meskipun dengan sok elegannya mereka yang berada di KMP mengatakan, terbentuknya Koalisi Merah Putih sebagai penyeimbang, atawa dalam istilah ketatanegaraan dinamakan oposisi, untuk mengontrol pengelolaan roda pemerintahan yang didukung Koalisi Indonesia Hebat, namun secara substansial – karena orang awam pun demikian mudahnya menerka dari sikapnya, jelas sudah kalau titik pemberangkatannya adalah dari yang biasa dinamakan barisan sakit hati belaka. Begitu juga halnya dengan mereka yang berada di kubu KIH, masih juga yang seolah bersikap negara ini milik mereka.

Bukti dari asumsi itu jelas tampak dari gestur dan statemen yang seringkali keluar dari mulut, misalnya seorang Fadli Zon dan Fahri Hamzah, keduanya tanpa tedeng aling-aling, dan begitu vulgar, serta kontroversialnya menyerang pemerintah, dalam hal ini Presiden jokowi, dengan tanpa memperhatikan tatakrama dan etika lagi. Bahkan terkadang memberi kesan kuat melecehkan dan menghina.

Sebagaimana lewat puisi yang ditulisnya,  Fadli Zon menyebut Jokowi sebagai capres boneka yang bodoh, alias tidak bisa apa-apa. Akan tetapi di dalam kenyataannya,  ketika itu Jokowi mendapat dukungan lebih banyak dari rakyat daripada jagoannya Fadli Zon sendiri.  Demikian juga halnya ketika Jokowi sudah resmi dilantik sebagai Presiden RI sampai sekarang ini, serangan yang sama sekali lagi bukan berupa kritikan yang sifatnya membangun atawa mengingatkan, masih muncul bertubi-tubi seolah tiada henti.

Akan halnya apabila yang bersangkutan dianggap telah melakukan pelanggaran terhadap aturan yang berlaku, seperti misalnya dalam kasus pertemuannya dengan kandidat Presiden AS dari partai Republik, Donald J. Trump, yang sekarang ini begitu menghebohkan, dan dianggap melanggar Kode Etik, maka Fadli Zon cs. pun berkelit membela diri dengan bermacam argumentasi.

Begitu juga terhadap warga yang mengkritiknya pun, seperti misalnya pada Imam Besar masjid di New york AS, Imam Shamsi Ali, wakil ketua dewan yang terhormat ini dengan sikap yang temperamental mengancam Shamsi Ali akan disomasi, karena dianggapnya telah menyebarkan fitnah.  Demikian juga dengan kunjungan rombongannya ke AS itu dibanding-bandingkannya pula dengan kunjungan seorang Presiden  (Lha apa emang sejajar kedudukan seorang  Fadli Zon dengan Presiden ?). Bahkan yang lebih jelas sebagai sikap balas dendam dari kubu KMP terhadap KIH adalah pernyataannya terkait kasus PAW (Pergantian Antar Waktu) Puan Maharani, Pramono Anung, dan Cahyo Kumolo di DPR yang hingga sekarang belum dilakukan PDIP.  Kalau bukan bentuk balas dendam, mengapa baru sekarang dilontarkan, saat yang bersangkutan dihebohkan dengan kasus yang menimpanya ?

Sebaliknya KIH juga jangan merasa ada di atas angin. Kasus PAW itu di mata publik memberi stigma carut-marutnya dalam tubuh parpol pendukung Jokowi semakin jelas kentara. Urusan seperti itu saja sampai sulit mereka selesaikan. Atau apakah hal itu sebagai suatu upaya PDIP untuk jaga-jaga bila nanti ada reshufle jilid dua, misalnya Puan yang sekarang jadi menko PMK dianggap publik tidak mampu bekerja, lalu didepak dan kemudian kembali lagi duduk sebagai anggota dewan?  Ah, naif juga rasanya kalau parpol seperti PDIP bersikap seperti itu. Bikin malu mediang Bung Karno saja...

Oleh karena itu baik mereka yang berada di KMP maupun yang di KIH, yang hingga sekarang di mata publik kerjanya hanya saling ‘jotos-jotosan’, sementara tugas dan kewajiban sebagai anggota dewan yang sesungguhnya diabaikan, agar tidak mendapat sebutan sedang mengalami sindrom Ababil itu, dihimbau agar segera bertobat, dan kembalilah segera ke habitatnya sebagai wakil rakyat yang sesungguhnya.

Sungguh. Rakyat sudah jenuh menyaksikan sandiwara kalian yang sama sekali tidak lucu itu, sehingga jangan sampai suatu ketika ada yang iseng dengan mengganti huruf D pada kata Dewan  dengan huruf H. Dan bila hal itu sungguh terjadi, sungguh memalukan, bukan.

Bukankah Tuhan mahapencipta menjadikan manusia ini sebagai makhluk yang mulia ? ***

Sumber foto: Tempo.co

Ikuti tulisan menarik Adjat R. Sudradjat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu