x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ibn al-Haytham dan Gagasan yang Mengubah Dunia

Di Tahun Cahaya ini (2015) nama dan kontribusi Ibn al-Haytham yang demikian revolusioner layak untuk dikenang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aphrodite, dewi Yunani kuno, meletakkan api di mata manusia. Cahaya yang memancar dari api di mata manusia menerangi obyek di sekelilingnya, maka melihatlah manusia. Begitulah Empedocles, filosof Yunani yang hidup di sekitar 450 tahun Sebelum Masehi, bernalar.

Jejak Empedocles didukung Plato dari generasi sesudahnya, Euclides, yang hidup di sekitar 300-an tahun Sebelum Masehi, maupun Ptolemeus yang hidup di sekitar 200-an tahun Sebelum Masehi. Manusia melihat, kata mereka, karena mata memancarkan berkas sinar. Aristoteles punya pandangan berbeda—mata dapat melihat karena di dalam mata terdapat medium seperti medium benda itu berada.

Meskpiun sejumlah orang menantang gagasan Empedocles, pandangan bahwa cahaya diradiasikan dari mata manusia mampu bertahan hingga tahun 1.000 Masehi hingga akhirnya Ibn al-Haytham mengajukan pandangan lain. Ab? 'Al? al-Hasan ibn al-Hasan ibn al-Haytham, yang di Barat dikenal sebagai Alhazen, lahir pada 965 Masehi di kota Basra, Iraq sekarang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ibn al-Haytham mula-mula berpikir bahwa manusia melihat bukan karena berkas cahaya dipancarkan dari mata dan mengenai obyek. Ia menguji pikirannya itu melalui eksperimen di ruang gelap yang dipisahkan dengan luar ruangan oleh semacam dinding yang berlubang kecil. Di luar ruangan ia menggantungkan dua lentara pada ketinggian yang berbeda. Dengan sumber cahaya itu, ia memproyeksikan gambar sebuah benda ke layar melewati lubang kecil yang sekarang disebut sebagai camera obscura dan menjadi dasar bagi kamera modern.

Dengan hasil eksperimen itu, ibn al-Haytham mengembangkan teori yang menjelaskan proses penglihatan sebagai terpaparnya mata oleh berkas cahaya yang dipantulkan oleh setiap titik pada obyek. Ia tidak berspekulasi, melainkan mendukungnya dengan observasi, bukti eksperimental, dan pemecahan geometris. Dengan eksperimennya itu, ibn al-Haytham menolak penalaran intuitif Aristotelian.

Ibn al-Haytham bahkan melangkah lebih jauh. Ia membahas psikologi tentang persepsi visual manusia. Menurut ibn al-Haytham, retina manusia merupakan pusat penglihatan yang menangkap cahaya dari benda-benda yang dilihat dan mentransfernya ke otak melalui saraf-saraf optik. Selanjutnya, otak menciptakan gambar visual pada kedua retina. Pembahasan mengenai persepsi manusia terhadap obyek dimulai oleh ibn al-Haytham.

Semua pemahaman itu sistematis menyatu dan membentuk alternatif terhadap teori orang-orang Yunani. Ibn al-Haytham merangkum hasil belajarnya itu dalam Kitab al-Manazir atau Kitab Optik. Karya ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin sebagai Opticae Thesaurus Alhazeni dan menjadi rujukan penting dan utama di Barat.

Lebih dari sekedar memberi sumbangan terhadap bidang optika, karya luar biasa ini mendasarkan kesimpulannya di atas bukti-bukti eksperimental ketimbang penalaran abstrak semata—dan merupakan publikasi pertama mengenai hal itu. Ibn al-Haytham memberi sumbangan penting bagi kemajuan pengetahuan kita tentang karakter cahaya. Dengan melakukan hal itu, ia juga telah membangun pendekatan baru dan lebih ketat terhadap riset ilmiah dan prosedurnya.

Dipandang dari masa sekarang, eksperimen Ibn al-Haytham mungkin terlihat sederhana, namun metodologinya telah meletakkan fondasi penting: ia mengembangkan hipotesis berdasarkan observasi hubungan-hubungan fisik (bahwa cahaya berasal dari obyek-obyek) dan kemudian mendesain eksperimen untuk menguji hipotesis tersebut. Eksperimen Alhazen merupakan langkah kritis dalam mengguncang teori yang bertahan lama bahwa cahaya berasal dari mata manusia. Eksperimen itu juga merupakan peristiwa besar dalam perkembangan metodologi riset ilmiah modern.

Tidak mengherankan bila Kitab al-Manazir dan tulisan ibn al-Haytham lainnya memengaruhi sarjana Barat yang berperan dalam membangkitkan Eropa Barat dari kegelapan, seperti Roger Bacon (1214-1294), John Pecham (1230-1292), Witelo (1230-sekitar 1300), maupun Johannes Kepler (1571-1630). Karyanya yang lain dalam teori angka, geometri analitik, maupun hubungan antara aljabar dan geometri telah memengaruhi analisis geometri Rene Descartes (1596-1650) maupun kalkulus Isaac Newton (1643-1727).

Di Tahun Cahaya ini (2015), Ibn al-Haytham layak dikenang. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler