x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ada Masa dimana Islam dan China Begitu Mesra di Nusantara

Peran China dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Cheng Ho: Penyebar Islam dari China ke Nusantara

Penulis: Tan Ta Sen

Tahun Terbit: 2010

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Penerbit Buku Kompas                                                                               

Tebal: xxii + 406

ISBN: 978-979-709-492-8

 

Dari mana Islam di Asia Tenggara berasal? Apakah langsung dari Tanah Arab? Atau dari Gujarat? Bagaimana dengan sumbangan China dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara, khususnya Nusantara? Huntington berteori bahwa sumber konflik utama dunia bukanlah ideologi atau ekonomi, tetapi kebudayaan, khususnya agama. Benarkah demikian? Apakah perjumpaan antar budaya selalu diwarnai dengan darah dan penaklukan? Dua pertanyaan tersebut di atas dijawab melalui buku ini.

Para ahli penyebaran Islam dari Eropa - seperti J Pijnappel dan C Snouck Hurgronje, berteori bahwa Islam di Asia Tenggara, khususnya Indonesia adalah berasal dari Arab dan India. Baru pada tahun 1960-an pendapat bahwa Islam di Asia Tenggara juga berasal dari China. Fatimi dan Slamet Mulyana memprakarsai pendapat ini. Pandangan Fatimi dan Slamet Muyana ini tenggelam dan tak tergali karena saat pandangan ini disampaikan, Indonesia sedang ada pada situasi anti China. Bahkan buku karangan Slamet Mulyana yang berjudul “Runtuhnya Keradjaan Hindu Djawa dan Timbulnya Kerajaan-Kerajaan Islam di Nusantara” (1968) dilarang beredar oleh Orde Baru.

Tan Ta Sen membahas perjumpaan budaya China dengan India (Budhisme) pada abad pertama dan dengan Islam pada abad ke-7 pada bagian pertama bukunya. Sedangkan pada bagian kedua Tan Ta Sen membahas perjumpaan budaya di Asia Tenggara, khususnya Melayu dan Jawa dengan India (Hindu-Budha) pada abad ke-2 dan Islam pada abad ke-13. Tan Ta Sen menemukan bahwa perjumpaan antar budaya ini berjalan secara damai dan terjadi proses penyerapan. Budha di China mengalami Sinisisasi dan Islam di Jawa mengalami Jawanisasi. Mengutip pendapat Tonybee, Tan Ta Sen menyampaikan bahwa perubahan budaya terkadang diperlunak oleh daya tahan unsur-unsur budaya lama yang terus menerus berdampingan dengan unsur-unsur budaya baru, dan kebiasaan-kebiasaan budaya kuno telah mempertahankan unsur-unsurnya sendiri (hal. 19). Hal ini terlihat dengan filsafat Konghucu dalam Budha di China dan praktik kejawen dalam Islam di Jawa.

Kepercayaan dan filsafat China berkembang seiring dengan perkembangan kebudayan mereka. Agama China kuno berkembang dari kepercayaan akan kekuatan alam (2200 SM) menjadi kepercayaan terhadap Tian – langit (1100 SM). Raja yang memerintah adalah raja yang mendapat mandat dari langit. Selama raja memerintah dengan etika dan kebajikan maka mandat itu akan tetap bersamanya. Selanjutnya keyakinan akan Yin dan Yang (770 SM) serta ajaran Daoisme dan Konghucu (551 SM) mewarnai kepercayaan orang-orang China. Kepemimpinan China, baik yang tradisional maupun modern dibangun diatas kepercayaan/filsafat yang saat itu berlaku.

Perkembangan kepercayaan dan filsafat China ini menjadi modal yang kuat saat kebudayaan China berjumpa dengan Budhisme dari India dan kemudian Islam. Perjumpaan budaya China dengan dunia luar terjadi melalui perdagangan. Jalur Teh (Chamma) menghubungkan China dengan India dan Nepal. Jalur Sutra menghubungkan China dengan Romawi Timur (Turki) dan jalur Keramik menghubungkan China dengan Asia Tenggara. Budhisme yang berasal dari India berhasil masuk ke China. Budhisme mengalami Sinisisasi dan menyerap unsur Konghucu dan Daoisme menjadi Budha yang sangat China. Pengalaman inilah yang menjadi modal perjumpaan budaya China dengan Islam dan Kristen di kemudian hari (hal.102).

Perjumpaan Islam dengan budaya China terjadi pada Abad ke-7. Artinya segera setelah Islam lahir. Hal ini bisa terjadi karena perdagangan jalur Sutra ke wilayah Timur Tengah sudah sangat lancar saat itu. Perkembangan Islam yang sangat cepat meupakan kombinasi dari berbagai faktor. Posisi geografis tanah Arab (yang saat itu menjadi pusat perdagangan dengan China, karena ketegangan antara Kekaisaran Bizantium yang menganut Kristen dan Sassanid – Persia yang menganut Zoroaster); kesalehan Nabi Muhammad yang adalah seorang pedagang; dan ajaran Tauhid yang mengakui kedaulatan Allah. Ajaran Tauhid inilah yang menjadi kerangka teoritis kepemerintahan dalam Islam. Kombinasi ketiga hal tersebut menyebabkan Islam menyebar dengan cepat (hal. 103-107)

Pada awalnya hubungan Islam China berada di wilayah kekuasaan. Mereka saling berperang dan saling membantu. Mereka saling mengirim tentara saat dibutuhkan. Sejumlah tentara Arab yang membantu di Negeri China dan tinggal di China beberapa tahun ditolak saat kembali ke Arab karena disangka telah terlalu banyak makan babi. Tentara inilah yang diyakini sebagai orang-orang Islam yang mula-mula di China (hal. 111). Para mantan serdadu dan pedagang Arab dan Persia membawa Islam ke China. Posisi Islam di China menjadi semakin kuat saat Dinasti Mongol memerintah China. Dinasti Mongol menggunakan orang-orang Islam dalam administrasi negara. Pilihan ini adalah untuk memperlemah orang Han supaya tidak memberontak. Bahkan Gubernur Yunnan saat itu Sayyid Ajjal Syamsuddin adalah seorang muslim.  Sayyid Ajjal Syamsuddin adalah nenek moyang Cheng Ho.

Seperti Budha, Islam juga mengalami proses sinisisasi di China. Namun proses sinisisasi Islam berbeda dari Budha. Proses sinisisasi Budha berjalan secara alamiah, sedangkan Islam melalui sebuah kebijakan negara. Sinisisasi dijalankan dengan memaksa orang-orang dari luar China (termasuk penganut Islam dari Timur Tengah dan Asia Barat) untuk berbusana, berbahasa, arsitektur dan menggunakan nama China. Islam dan China adalah dua kebudayaan yang mempunyai kepercayaan diri yang tinggi. Akibatnya sinisisasi menghasilkan komunitas (suku?) Hui Hui yang menjalankan filsafat Konghucu dan spiritualista Islam hal.175).

Asia Tenggara sendiri mulai berjumpa dengan India (Hindu-Budha) pada abad ke-2. Mula-mula wilayah daratan, kemudian berlanjut ke kepulauan. Dua kerajaan besar menunjukkan keberhasilan perjumpaan India dengan Nusantara. Kerajaan Sriwijaya yang bercorak Budha dan kemudian Kerajaan Majapahit yang bercorak Hindu adalah bentuk dari penjumpaan budaya India dengan Nusantara. Pengaruh spiritual Hindu-Budha terutama terjadi pada elite kerajaan, sementara rakyat masih mempraktikkan budaya asli. Namun Coedes secara apik menjelaskan warisan India kepada Asia Tenggara adalah sistem baca tulis, kalender berbasis matahari dan bulan, mitos-mitos kosmogonik dan epos Ramayana dan Mahabharata (hal 193).

Teori tentang sumber Islam di Asia Tenggara menjadi bahan pembahasan yang menarik. Para pedagang dari Arab dan Gujarat diyakini sebagai pembawa Islam ke Aasia Tenggara. Baru kemudian muncul teori bahwa Islam di Asia Tenggara juga datang dari China. Bukti-bukti dari Semarang dan Cirebon menjadi landasan bahwa Islam juga datang dari China ke Nusantara. Kajian lebih detail yang dilakukan oleh Tan Ta Sen, setidaknya ada dua gelombang kedatangan Islam di Nusantara. Gelombang pertama adalah kedatangan Islam bersama Cheng Ho. Islam yang datang adalah Islam yang sudah mengalami Sinisisasi dan bermahzab Hanafi pada pertengahan abad ke-15. Gelombang kedua adalah Islam mahzab Hanafi yang datang setelah era Cheng Ho pada pertengahan abad ke-15 – abad ke-16.

Siapakah Cheng Ho? Cheng Ho berasal dari Suku Hui Hui di Yunnan. Ayahnya Ma Hua (Haji Ma) terbunuh saat penyerangan tentara Ming ke Yunnan dalam rangka menegakkan aturan kembali ke kebudayaan China. Cheng Ho kecil dibawa ke kerajaan dan dijadikan kasim. Cheng Ho berhasil meniti karier di bidang militer dan selanjutnya diberi kuasa untuk memimpin armada laut.

Tan Ta Sen berteori bahwa pedagang Arab telah memperkenalkan Islam ke Nusantara namun kurang berhasil mengislamkannya. Ini disebabkan pada abad 13 dan 14 kekuasaan Hindu dan Budha masih sangat kuat di Nusantara. Sementara itu pedagang Arab sudah mulai meninggalkan Asia Tenggara karena peperangan yang berkelanjutan di Timur Tengah, serta surutnya kekuatan Abasiyah. Saat itulah Dinasti Ming yang pro Islam mulai secara serius menggarap perdagangan di Asia Tenggara. Armada Cheng Ho membuka hubungan perdagangan (dan budaya – termasuk Islam) dengan kerajaan-kerajaan kecil yang mulai muncul akibat melemahnya Majapahit.

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler