x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tembok Pemisah Kita dan Mereka

Bagaimana kita memandang pagar atau benteng tembok? Untuk apa pagar dan benteng dibangun di sekeliling rumah?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Sadness is but a wall between two gardens."

--Kahlil Gibran

 

Sebuah rumah dapat berubah menjadi sangkar ketika pagar atau benteng ditegakkan penuh di sekelilingnya dan si penghuni rumah tak bisa keluar dari pekarangan. Di rumah bagus dan mahal sekalipun, penghuni hanya bisa menatap langit ketika pagar menjulang tinggi mengelilingi rumah. Kiri, kanan, depan, dan belakang dibatasi oleh tembok; hanya ke arah langit penghuni merasa bebas—tapi tak bisa terbang, bukan?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ada banyak alasan orang membangun pagar tembok, tinggi pula. Salah satunya ialah untuk melindungi privasi agar urusan pribadi dan keluarga tidak terlihat orang lain. Pertengkaran dapat disembunyikan di balik pintu, di balik dinding rumah, juga di balik pagar tinggi yang tak seorangpun dapat mengintip ke arah dalam.

Pagar tembok, apa lagi yang tinggi—2 meter minimum, adalah benteng terhadap ancaman yang berasal dari luar, pencuri umpamanya. Orang-orang kaya merasa aman dapat berlindung di balik tembok tinggi; tak ada orang yang bisa mencuri, tak ada orang yang dengan mudah bisa merampok. Tapi para pencoleng justru tergoda oleh tembok tinggi dan menyangka bahwa di balik tembok tinggi itu terdapat harta yang melimpah. Mereka akan mencari cara yang sebaik-baiknya untuk menembus ke dalam.

Di banyak wilayah, pagar tinggi menandakan status sosial yang tinggi. Di kebanyakan perumahan mewah, di kota-kota besar, pagar besi maupun benteng tembok dibangun tinggi dan kokoh. Begitu pula, di tempat-tempat lain yang bukan perumahan mewah, pagar dan benteng tinggi adalah pembeda status sosial yang gamblang. Di sini, pagar dan benteng tinggi sekaligus memanifestasikan kekhawatiran dan kecemasan.

Dalam kasus Denni Akung, pagar tembok yang dibangun tergesa-gesa mengelilingi rumahnya oleh para tetangga dapat ditafsirkan sebagai penolakan terhadap keinginan Denni untuk menjadi bagian dari kehidupan tetangganya karena alasan tertentu. Untuk tetap menempatkannya sebagai orang luar (outsider), dibangunlah dinding tembok. Dinding ini menjadi pemisah yang tegas antara identitas ‘orang dalam’ dan ‘orang luar’—seperti yang juga kita jumpai ketika kita memasuki perumahan cul de sac (yang bukan lagi ‘jalan buntu’).

Dalam sejarah modern, di kota Berlin pernah dibangun tembok berkilometer panjangnya sebagai manifestasi dari perbedaan ideologi antara Jerman Barat yang liberal dan Jerman Timur yang komunis. Siapapun yang berusaha menembus tembok ini dari Timur ke Barat akan menghadapi ancaman kematian. Statistik kematian di Tembok Berlin menggarisbawahi arti kebebasan bagi manusia.

 Seperti juga tembok-tembok tinggi yang dibangun di penjara-penjara, yang seketika mencabut kebebasan seseorang ketika ia menjadi pesakitan. Tembok penjara menegaskan perbedaan identitas dan hak-hak antara orang bebas dan orang pesakitan. Tapi, karena tembok-tembok itu pula, kita tak pernah tahu apa yang terjadi di dalamnya; kita hanya mendengar cerita-cerita tentang kebebasan yang justru dinikmati di balik tembok.

Pada galibnya, kita memang lebih suka memilih membangun tembok di sekeliling diri kita: agar merasa aman, agar tidak diintip, agar terlindungi dari ancaman, agar tidak terganggu tetangga, agar tidak harus menyapa, dst. Kita mungkin lebih suka terlibat dalam hiruk-pikuk media sosial yang virtual ketimbang terjun dalam kehidupan sosial yang real. (Foto: Tembok Berlin) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu