1.Diamlah Diam
2.Kuatrin Kemarau
3.Kambing Kayu
4.Ziarah
Sebelumnya maafkan saya yang telah lancang seenak jidat menguliti puisi-puisi penyair dari Hardi Rahman yang jauh lebih hebat dan habit daripada saya yang begitu kerdil ini.
Meminjam kata-kata Muhammad Asqalani Eneste, “bukan karena puisi aku hidup. Tapi di dalam puisi sesungguhnya aku hidup.” Dalam puisi yang pertama terlihat Hardi ingin berkata, “bukan karena puisi aku bahagia. Tapi aku bahagia di dalam puisi.” Saking bahagianya, di awal bait ia membuka dengan sebuah larik, diamlah diam. Saking bahagianya ia sehingga siapa pun yang membaca puisi ini harus patuh terhadap perintahnya secara tidak langsung untuk mendengarkannya. Diamlah diam berulang empat kali, selalu di baris petama dari masing-masing bait menunjukkan juga sebuah relasi antar bait. Lihat saja.
Diamlah diam
aku sedang sembahyang
di antara riuh gemuruh ikan
yang terbang, melayang lintas
di atas kepalaku
Diamlah diam
kukira langit mengisyaratkan petunjuk
bintang-bintang berjajar
membentuk pola
pertanda aku ada di mana
dan ikan kaulah tujuannya
diamlah diam
dengar degup jantungku
seirama deru motor butut
kapal tanpa layar
lalu angin menggiringku
pada ombak
terempaslah kapal ini
kubiarkan waktu
berlalu
dan pagi telah menunggu
diamlah diam
jaringku membentang
menangkap kegelapan
kemudian menuju pulang
2014
Betapa kita harus diam ketika Hardi sedang sembahyang di antara gaduh gemuruh ikan-ikan yang berenang di atas kepalanya. Maaf jika tafsiran saya melenceng. Secara tersirat Hardi juga ingin menyampaikan bahwa dalam kehidupan beragama harus ada toleransi satu sama lain. Terbukti ia menyuruh kita diam saat dia sembahyang. Seperti meminta penghormatan secara tidak langsung, meski dia berhak. Meski di sini metafor sembahyang di tengah-tengah ikan yang berenang di laut.
Kesederhanaan yang memikat terlihat di puisi pertama. Sehingga di akhir bait kita memang harus pulang kepada imaji kita masing-masing bagaimana hendak memaknainya.
Puisi dua, tiga empat tak sesederhana puisi pertama. Di puisi dua, kekreatifan Hardi nampak jelas. Ia menulis tentang Kuatrin Kemarau. Kuatrin saya kira bentuk puisi, kemarau tentu sebuah musim di Indonesia selain hujan. Mari baca bait perdananya.
sambil memikul seember harapan
para petani terdiam, mengamati kicau
nyanyian burung gereja bersenandung kemarau
tentang ladang dan langit tak kunjung hujan
Secara ekstrinsik rimanya jelas a-b-b-a, di mana an-au-au-an. Tipografi di sini juga rutin 4-4-4-4. Saya mulai kehabisan kata-kata. Segera simak bait terakhir.
lagi-lagi mereka percaya
akan tiba musim di mana cuaca
mengerti isi hati dan kerinduan melimpahnya
butiran beras mengisi kantung masa depan
Di sini Hardi bercerita tentang kemarau dan para petani yang sama-sama merindukan hujan. Dengan penggambaran ladang, tumbuhan layu, biji-bijinya mati muda, kulit kering berkerak tanah, rindu air, lumpur, tapak kaki pecah-pecah, dll. Lantas menghubungkannya dengan nyanyian burung-burung yang menurutnya seperti doa wirid minta hujan. Good job!
Sama seperti di puisi dua, di puisi tiga Hardi juga berhasil membuang sikap ego tanpa menggunakan aku lirik. Judul “Kambing Kayu” membuat saya terkecoh. Saya kira akan membahas tentang sebuah tahun yaitu tahun kambing kayu. Ternyata di sini Hardi juga bercerita tapi tentang sejarah. Bagaimana bisa didapati sebuah perintah tentang aqiqah. Hardi pintar membuka larik dengan menyinggung penyembelihan Ismail oleh Ibrahim yang diperintah Tuhan saat sedang terlelap dalam mimpi.
dari segala suara yang terbawa dari angin utara
embikan itu menyelinap di sela-sela nubuat
ketika ia diutus Tuhan sebagai pengganti Ismail,
ternaknya Muhammad Dan tempat Yesus terlahir
Sikap religius Hardi selalu hidup dan bahagia dalam puisinya, penghayatannya terasa. Seperti diksi yang ia pilah dan pilih di puisi satu, dua, tiga. Sembahyang, petunjuk, gereja, wirid, percaya, suara, diutus, Tuhan, Ismail, Muhammad, Yesus, Nuh, ayat-ayat, kitab, persembahan, para nabi, surgawi. Mantap sekali di puisi empat dengan judul “Ziarah.” Kepada pembaca yang tercinta saya serahkan reviewnya kepada anda. Tugas saya selesai dengan cukup membacakan saja ya,haha.
Ziarah
Kalau aku hanya daun layu
lalu terjatuh tepat di atas dirimu,
wahai seperak tanah makam,
doa apa yang kau minta?
aku hanya siap kekal
menyuburkanmu-
menyimpan segala rapi
untuk menanti jatuhnya
kembang jepun hari ini
2014
KHUSUS untuk Kakak Hardi Rahman Ay Ka yang di ujung barat sana.
Klaten, 6 Desember 2015
Adikmu, Nuraz Aji
Tentang Nuraz Aji
Nuraz Aji, nama pena dari Shoimatun Nur Azizah. Mengikuti Pertemuan Penyair Dari Negeri Poci di Tegal, Jawa Tengah pada 28 November 2015. Mahakarya Anak Jalanan adalah buku kumpulan puisi pertamanya.
Ikuti tulisan menarik Shoimatun Nur Azizah lainnya di sini.