x

Iklan

Shoimatun Nur Azizah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kesederhanaan yang Memikat

Sebuah review singkat atas puisi-puisi Hardi Rahman yang termaktub dalam 175 Penyair Dari Negeri Poci 6: NEGERI LAUT

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

1.Diamlah Diam

2.Kuatrin Kemarau

3.Kambing Kayu

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

4.Ziarah

 

Sebelumnya maafkan saya yang telah lancang seenak jidat menguliti puisi-puisi penyair dari Hardi Rahman yang jauh lebih hebat dan habit daripada saya yang begitu kerdil ini.

Meminjam kata-kata Muhammad Asqalani Eneste, “bukan karena puisi aku hidup. Tapi di dalam puisi sesungguhnya aku hidup.” Dalam puisi yang pertama terlihat Hardi ingin berkata, “bukan karena puisi aku bahagia. Tapi aku bahagia di dalam puisi.” Saking bahagianya, di awal bait ia membuka dengan sebuah larik, diamlah diam. Saking bahagianya ia sehingga siapa pun yang membaca puisi ini harus patuh terhadap perintahnya secara tidak langsung untuk mendengarkannya. Diamlah diam berulang empat kali, selalu di baris petama dari masing-masing bait menunjukkan juga sebuah relasi antar bait. Lihat saja.

 

Diamlah diam

aku sedang sembahyang

di antara riuh gemuruh ikan

yang terbang, melayang lintas

di atas kepalaku

 

Diamlah diam

kukira langit mengisyaratkan petunjuk

bintang-bintang berjajar

membentuk pola

pertanda aku ada di mana

dan ikan kaulah tujuannya

 

diamlah diam

dengar degup jantungku

seirama deru motor butut

kapal tanpa layar

lalu angin menggiringku

pada ombak

terempaslah kapal ini

kubiarkan waktu

berlalu

dan pagi telah menunggu

 

diamlah diam

jaringku membentang

menangkap kegelapan

kemudian menuju pulang

2014

 

Betapa kita harus diam ketika Hardi sedang sembahyang di antara gaduh gemuruh ikan-ikan yang berenang di atas kepalanya. Maaf jika tafsiran saya melenceng. Secara tersirat Hardi juga ingin menyampaikan bahwa dalam kehidupan beragama harus ada toleransi satu sama lain. Terbukti ia menyuruh kita diam saat dia sembahyang. Seperti meminta penghormatan secara tidak langsung, meski dia berhak. Meski di sini metafor sembahyang di tengah-tengah ikan yang berenang di laut.

Kesederhanaan yang memikat terlihat di puisi pertama. Sehingga di akhir bait kita memang harus pulang kepada imaji kita masing-masing bagaimana hendak memaknainya.

Puisi dua, tiga empat tak sesederhana puisi pertama. Di puisi dua, kekreatifan Hardi nampak jelas. Ia menulis tentang Kuatrin Kemarau. Kuatrin saya kira bentuk puisi, kemarau tentu sebuah musim di Indonesia selain hujan. Mari baca bait perdananya.

 

sambil memikul seember harapan

para petani terdiam, mengamati kicau

nyanyian burung gereja bersenandung kemarau

tentang ladang dan langit tak kunjung hujan

 

Secara ekstrinsik rimanya jelas a-b-b-a, di mana an-au-au-an. Tipografi di sini juga rutin 4-4-4-4. Saya mulai kehabisan kata-kata. Segera simak bait terakhir.

 

lagi-lagi mereka percaya

akan tiba musim di mana cuaca

mengerti isi hati dan kerinduan melimpahnya

butiran beras mengisi kantung masa depan

 

Di sini Hardi bercerita tentang kemarau dan para petani yang sama-sama merindukan hujan. Dengan penggambaran ladang, tumbuhan layu, biji-bijinya mati muda, kulit kering berkerak tanah, rindu air, lumpur, tapak kaki pecah-pecah, dll. Lantas menghubungkannya dengan nyanyian burung-burung yang menurutnya seperti doa wirid minta hujan. Good job!

Sama seperti di puisi dua, di puisi tiga Hardi juga berhasil membuang sikap ego tanpa menggunakan aku lirik. Judul “Kambing Kayu” membuat saya terkecoh. Saya kira akan membahas tentang sebuah tahun yaitu tahun kambing kayu. Ternyata di sini Hardi juga bercerita tapi tentang sejarah. Bagaimana bisa didapati sebuah perintah tentang aqiqah. Hardi pintar membuka larik dengan menyinggung penyembelihan Ismail oleh Ibrahim yang diperintah Tuhan saat sedang terlelap dalam mimpi.

 

dari segala suara yang terbawa dari angin utara

embikan itu menyelinap di sela-sela nubuat

ketika ia diutus Tuhan sebagai pengganti Ismail,

ternaknya Muhammad Dan tempat Yesus terlahir

 

Sikap religius Hardi selalu hidup dan bahagia dalam puisinya, penghayatannya terasa. Seperti diksi yang ia pilah dan pilih di puisi satu, dua, tiga. Sembahyang, petunjuk, gereja, wirid, percaya, suara, diutus, Tuhan, Ismail, Muhammad, Yesus, Nuh, ayat-ayat, kitab, persembahan, para nabi, surgawi. Mantap sekali di puisi empat dengan judul “Ziarah.” Kepada pembaca yang tercinta saya serahkan reviewnya kepada anda. Tugas saya selesai dengan cukup membacakan saja ya,haha.

 

Ziarah

 

Kalau aku hanya daun layu

lalu terjatuh tepat di atas dirimu,

wahai seperak tanah makam,

doa apa yang kau minta?

 

aku hanya siap kekal

menyuburkanmu-

menyimpan segala rapi

untuk menanti jatuhnya

kembang jepun hari ini

 

2014

 

KHUSUS untuk Kakak Hardi Rahman Ay Ka yang di ujung barat sana.

Klaten, 6 Desember 2015

Adikmu, Nuraz Aji

 

Tentang Nuraz Aji

Nuraz Aji, nama pena dari Shoimatun Nur Azizah. Mengikuti Pertemuan Penyair Dari Negeri Poci di Tegal, Jawa Tengah pada 28 November 2015. Mahakarya Anak Jalanan adalah buku kumpulan puisi pertamanya.

Ikuti tulisan menarik Shoimatun Nur Azizah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu