x

Mahasiswa membawa poster dan topeng saat menggelar unjuk rasa di depan Gedung DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, 11 Desember 2015. Dalam aksinya, mereka juga menolak revisi UU KPK. TEMPO/Dhemas Reviyanto

Iklan

Ni Made Purnama Sari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sandiwara Realita

Melalui buku naskah monolognya, Putu Fajar Arcana merefleksikan laku korup, praktik curang maupun dunia citraan kaum politisi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul Buku: Monolog Politik

Penulis: Putu Fajar Arcana

Penerbit: Penerbit Buku KOMPAS

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jumlah Halaman: xviii + 150 halaman

Cetakan: Pertama, 2014

ISBN: 978-979-709-845-2

 

Kelindan polemik, belitan intrik serta riuhnya tingkah para anggota dewan di Senayan dengan kisahan lima lakon monolog Putu Fajar Arcana yang dirangkum dalam ‘Monolog Politik’ (Penerbit Buku Kompas, 2014) persis bagaikan cermin dibelah. Melalui bukunya ini, penyair, cerpenis sekaligus jurnalis ini bukan hanya merefleksikan laku korup, praktik curang maupun dunia citraan kaum politisi sebagai realitas kekinian, melainkan juga membalikkan persepsi perihal kepura-puraan dan sandiwara. 

Lakon-lakon monolognya secara tajam mengkritik polah wakil rakyat yang dipenuhi silang sengkarut kepentingan. Aksi tipu-tipu, korup dan saling jegal lawan politik seolah terjadi sepanjang waktu di situ. Lebih miris, alih-alih memperjuangkan aspirasi rakyat, DPR malahan menyetujui seorang tersangka menjadi Kapolri, mempertontonkan penyuaraan pendapat tanpa etika, hingga menampakkan aksi kekerasan semisal baku pukul dan menggulingkan meja. Sementara itu, masyarakat di luar pagar tetap dianggap bagai pemirsa, yang menggerutu lantaran perilaku tidak terpujikan, praktik korupsi yang tidak kunjung memudar, sambil sesekali masih berharap masih adanya akhir cerita yang bahagia.

Simak saja lakon ‘Wakil Rakyat yang Terhormat’. Seorang anggota dewan mengungkap testimoni dan pembenaran atas tindak koruptif berikut praktik suap yang dilakukan selama ini. Semua kecurangannya terpaksa diamini justru atas nama rakyat. Kutipan narasinya begitu mengigit: “Bukan cuma amplop, tetapi saya harus menjamu, menyumbang perbaikan jalan, selokan, got mampet, menyumbang kawinan, sunatan, pembangunan ini dan itu…Boleh pidato tapi bayar, temasuk harus jadi wali nikah, yang juga bayar….Asal Saudara tahu, itu pemerasan! Pemerasan rakyat terhadap wakil rakyat yang terhormat!”

Lakon ini berhasil menyingkap topeng kepura-puraan para anggota legislatif yang selalu menyatakan bekerja demi rakyat, padahal sebenarnya semata demi urusan kantong pribadi. Sang tokoh digambarkan punya aneka kedok yang terus melekat di wajahnya dan dapat berganti-ganti bilamana berhadapan dengan pengusaha, penguasa, juga konstrituennya. Ironis, topeng sandiwara yang telah direkatkan ternyata tidak dapat secara mudah dilepaskan. Alih-alih mencoba membuang wajah munafik, yang tampak di hadapan kita malahan sebuah muka penuh luka yang jauh lebih buruk rupanya. Adakah artinya, kenyataan yang sebenarnya seringkali begitu mengejutkan, mengecewakan atau mungkin menyakitkan daripada yang disandiwarakan?

Monolog ‘Orgil’ juga mengetengahkan topik kritik yang tidak kalah menarik. Seorang pengusaha yang menapak jejak sebagai penguasa berakhir nasib di rumah sakit jiwa. Dari mula kisahan dibuka, kita disuguhkan pernyataan bahwa si tokoh sengaja ‘dipasienkan’ lantaran bersikukuh mengungkapkan kesaksian-kesaksian palsu guna menyerang lawan politiknya. Ia berusaha meyakinkan kita betapa konspirasi kekuasaan tingkat tinggi telah menghalanginya untuk mengungkapkan kebenaran: kebobrokan para elite yang telah begitu mendarah-daging. Namun, entah benar dirinya gila—atau boleh jadi hanya berpura gila—apakah bisa kita begitu saja percaya pada tuturannya: seorang pengusaha curang yang telah terbiasa menipu dan menyuap demi mendapat proyek kelas kakap?

Nuansa yang sama juga terbaca pada tiga lakon lainnya, ‘Cermin Dibelah’, ‘Bukan Bunga Bukan Lelaki’, serta ‘Pidato’. Ketiganya menampilkan karakter-karakter tokoh yang tidak asing: ratu kecantikan yang didakwa korupsi dan berkali mencoba bunuh diri, para perempuan yang tertipu dimadu hanya karena janji-janji manis politisi, juga pengakuan korban peristiwa 65 yang hanya bisa menuturkan kebenaran justru setelah tewas dihukum mati, melalui medium tubuh adiknya sendiri. Tiga naskah ini lagi-lagi menggelitik kita dengan pertanyaan-pertanyaan perihal arti kejujuran yang agaknya makin langka keberadaannya akhir-akhir ini.

Merespon silang sengkarut politik di Indonesia, dua lakon monolog, ‘Wakil Rakyat yang Terhormat’ dan ‘Orgil’ telah ditampilkan Arcana Foundation di Bentara Budaya Jakarta dan Bentara Budaya Bali pada tahun 2014 lalu. Pentas yang menghadirkan Sha Ine Febriyanti serta Didon Kajeng tersebut bahkan mampu menghadirkan kenyataan yang jauh lebih miris dari panggung Gedung DPR, di mana anggota legislatif hanya mewakili rakyat secara prosedural namun tanpa moralitas.

Selain ‘Monolog Politik’ Putu Fajar Arcana juga telah menulis berbagai buku, di antaranya antologi ‘Bilik Cahaya’ (1997), ‘Manusia Gilimanuk’ (2012), kumpulan cerpen ‘Bunga Jepun’ (2003) serta yang terkini berjudul ‘Samsara’ (2005). Adapun belum lama ia meluncurkan novel ‘Gandamayu’ (2012) yang dipentaskan oleh Teater Garasi.

Tema Kontekstual

Mencipta cerita yang berdasar pada peristiwa nyata di sekitar kita sebenarnya bukan perkara mudah. Rujukan sejarah, pemberitaan media massa ataupun aneka kabar sehari-hari sesungguhnya telah membuat pembaca memiliki persepsi serta imaji tersendiri, baik atas kejadian ataupun tokoh-tokohnya. Untuk menjadikan karya lebih bermakna, si penulis mestilah piawi ‘bermain-main’, menduga bahkan mereka-reka peristiwa imajiner baru guna memperkaya ruang tafsir pembaca yang sebagian telah terbentuk itu. Sebuah kerja kreatif yang tak akan pernah tuntas terselesaikan: antara mempertanyakan realitas, memperdalam pemaknaan, hingga membangun lapis imaji, yang satu sama lain saling menyusun hingga terbukalah ruang kenyataan baru—dalam tekstual karya, tentunya—dan sekali lagi, siap untuk dipertanyakan kembali. Sebuah kerja kreatif yang seperti kata Pablo Neruda ibarat, “melahirkan karya yang berfungsi serupa sebongkah batu atau kayu di mana seseorang, siapa saja, yang mengikutinya akan dapat mengukir tanda-tanda baru.”

Bagaimanapun juga, upaya Putu Fajar Arcana mengangkat tema kontekstual dalam lima lakon monolog ini terbilang berhasil menggoda kita untuk menimbang kembali kenyataan kekinian, khususnya yang terjadi dalam gedung parlemen yang terhormat itu. Meskipun belum menampilkan bagian-bagian kenyataan yang lain, Putu Fajar telah menyuguhkan sebagian sandiwara sebagai sebentuk penanda sekaligus pengingat atas kenyataan. 

Melalui monolog, Putu Fajar Arcana sekaligus menjelaskan keterjagaannya sebagai jurnalis yang tidak boleh beropini dan tetap mewartakan fakta. Naskah-naskah monolog tersebut memberi kemungkinan baginya untuk meluapkan idealisme serta kepedulian sosialnya secara kontekstual. Ia juga memberi arti, betapa para penulis, berikut seniman pada umumnya, tetaplah harus ambil bagian—mengutip Neruda—dalam keringat dan dalam seluruh impian manusia, demi menggapai tangan semua orang dan membentangkan kerja, usaha berikut rasa kasihnya untuk merangkul hidup sehari-hari.

 

Resensi telah dimuat di Kompas, 2014. Sumber foto: arsip Tempo.co

Ikuti tulisan menarik Ni Made Purnama Sari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu