x

Iklan

Fadjriah Nurdiarsih

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Reklamasi yang Mengkhianati Jakarta dan Orang Betawi

Dalam diskusi bertema "Orang Betawi dan Laut:, JJ Rizal dan M Riza Damanik menjelaskan kaitan reklamasi dengan kehancuran kejayaan Betawi dan Kota Jakarta.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Maaf, saya terlambat,” ujar Riza Damanik, Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia. Jam menunjukkan pukul 15.15 WIB. Riza terlambat 15 menit dari waktu yang disepakati. Ia hari itu berbaju cokelat muda, tampak segar dan bersemangat. “Wah, tadi hujan ya di bandara. Ternyata di sini belum hujan,” katanya. Riza memang baru saja usai menghadiri undangan konferensi internasional perubahan iklim PBB atau COP di Paris, Prancis. Meski demikian, ia tetap bersemangat hadir di Depok untuk membahas soal “Orang Betawi dan Laut” dalam diskusi bulanan yang diadakan Betawi Kita, Minggu, 13 Desember 2015.

Bersamaan dengan hadirnya pria kelahiran Sumatera Utara itu, acara diskusi pun dimulai. Kali ini peserta yang hadir cukup beragam. Ada Sudirman Asun, Ketua Ciliwung Institute, yang menjadi pembicara pada diskusi kedua Betawi Kita bertajuk “Orang Betawi dan Sungai.” Hadir pula Suaeb Mahbub dan Tutur, perwakilan orang Betawi Pesisir yang mukim di Marunda. Yahya Andi Saputra, peneliti budaya Betawi yang baru saja mendapatkan penghargaan dari pemerintah di bidang pelestarian budaya, bahkan sempat bersahibul hikayat kala menceritakan budaya masyarakat pesisir saat membuat perahu.

Jika Indonesia nama lainnya adalah tanah air, maka kita tentu harus ingat bahwa Indonesia bukan hanya terdiri atas unsur tanah, tetapi juga air. Bahkan menurut JJ Rizal, ketika orang Belanda datang ke Banten lantaran mengikuti jalur rempah dan memberikan hadiah berupa kompas ke Sultan Banten, sang Sultan justru mengatakan, “Ini adalah barang yang sudah kita kenal lama.” Hal ini menandakan tradisi kemaritiman di tanah air sudah sedemikian majunya sampai-sampai terkenallah istilah, “the land below the wind” alias negeri di bawah angin.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun kaum kolonial yang datang ke tanah air lantaran serakah akan rempah-rempah rupanya telah memaksa bangsa yang punya tradisi maritim yang kuat ini berubah menjadi orang darat. Para pelaut dilabeli sebagai lanun atau bajak laut supaya bisa diperangi. Hal serupa juga terjadi di Batavia, yang dulunya adalah kota bandar, tetapi perkembangan kotanya, termasuk pengelolaan Kota Tua sebagai world heritage, tidak pernah dikaitkan dengan penyelamatan Kepulauan Seribu yang justru makin dikebelakangkan.

Memulai paparannya, Riza Damanik menyatakan, “Patut disadari bahwa hari ini bertepatan dengan 58 tahun Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957.” Bicara soal laut, kata dia, ada tiga aspek yang mencakup di dalamnya, yakni perdagangan, pelayaran, dan kemaritiman. Bila ditarik sejarahnya ke masa Sunda Kalapa, di masa itu pelabuhan adalah pusat kesejahteraan. Situasi saat itu kontras dengan situasi hari ini di Jakarta. Riza menekankan ia hampir yakin bahwa munculnya kota bandar diawali dan diakhiri oleh situasi sosio-ekologis laut. Kemunduran pesisir Batavia diawali dengan kerusakan lingkungan, sulitnya akses masuk ke pelabuhan, tetapi di saat yang sama terjadi perubahan landscape di daerah hulu berupa modernisasi.

Hal yang sama, kata Riza, sebenarnya sedang diulang hari ini dengan adanya reklamasi. Bahkan, tutur pria berkaca mata ini, efeknya akan lebih parah. “Bila dulu hanya pendangkalan, kini akan diikuti dengan penyempitan dan besarnya sedimentasi. Salah satu efek reklamasi adalah kerusakan lingkungan. Reklamasi akan membuat ekosistem pesisir terancam punah. Di antaranya hilangnya berbagai jenis pohon bakau di Muara Angke, punahnya ribuan jenis ikan, kerang, kepiting, dan berbagai keanekaragaman hayati lain. Imbasnya, kata Riza, pasokan pangan akan terganggu.

Selain merusak lingkungan, reklamasi berdampak juga pada kehidupan nelayan Jakarta Utara. Sekitar 125.000 nelayan akan kehilangan sumber kehidupannya dan menyebabkan nelayan yang sudah miskin menjadi semakin miskin.

Selain itu, reklamasi juga akan memperparah potensi banjir di Jakarta karena mengubah bentang alam (geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) di kawasan Jakarta Utara. Perubahan itu antara lain tingkat kelandaian, komposisi sedimen sungai, pola pasang surut, pola arus laut sepanjang pantai, dan merusak kawasan tata air. “Karena itulah reklamasi berarti menghilangkan aspek kehidupan itu sendiri,” Riza menandaskan.

 Terkait hal ini, ia mengkritik ketidakmampuan pemerintah yang justru mengalihkan beban tanggung jawab kepada swasta. Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok memang telah mengeluarkan izin reklamasi untuk empat pulau. Seperti diungkapkan Kepala Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPTSP) DKI Jakarta Edy Junaedi, izin pelaksanaan reklamasi untuk Pulau F, Pulau I, Pulau K, dan Pulau H telah diberikan lantaran para pengembang telah menyelesaikan segala persyaratan administrasi. Pihak yang pro tentu akan mengatakan reklamasi mampu menggerakkan perekonomian serta menambah luas bentang DKI Jakarta. Namun, siapakah yang lebih diuntungkan dengan adanya reklamasi? Pengembang ataukah warga. “Lagipula pemerintah atau bukan, kok mau untung terus,” kata JJ Rizal.

Riza Damanik mengatakan pulau buatan ini hanya mampu hidup dengan menghisap dan merusak kehidupan yang sudah ada sebelumnya. “Misalnya saja, listriknya dari mana, sumber air bersih, juga akses jalan ke pulau,” tutur Riza. “Termasuk Gubernur Banten nih, Rano Karno, harusnya dia yang paling kencang menolak. Soalnya kan pasir untuk bangun pulau ini pasti diambil dari wilayah-wilayah sekitar Jakarta. Tidak kurang dibutuhkan 1,3 miliar kubik pasir untuk reklamasi.”

Sementara JJ Rizal lebih keras lagi mengatakan pulau reklamasi sebagai pulau kanibal lantaran pulau yang sehat dibunuh dengan diambil pasirnya. “Reklamasi adalah upaya menghancurkan masa lalu laut Jakarta juga masa depan laut sebagai tempat lahir Kota Jakarta. Laut Jakarta sudah tidak mampu memulihkan dirinya (self purification) sendiri karena penzaliman yang tidak pernah berhenti, “ ujar JJ Rizal.

Soal imbas buruk ini bahkan sudah dirasakan oleh warga Pluit. Sekelompok warga yang menamakan dirinya Forum Warga Pluit mengeluhkan pembangunan akses jalan layang non-tol (JLNT) dari bandara ke pulau yang menganggu karena akan membuat rumah mereka berada di bawah jalan layang, sehingga terkesan kumuh. Warga juga menolak lantaran sejak awal mereka tidak pernah diajak bicara soal pembangunan JLNT dan sosialisasi Analisis dan Dampak Lingkungan.

Kemudian pembangunan JLNT Pluit mempergunakan sebagian besar badan Tanggul Pluit sehingga sangat potensial menyebabkan jebolnya tanggul yang mengakibatkan banjir serta berdampak terhadap PLTU Muara Karang yang merupakan sumber listrik untuk Jawa-Bali.  Ditambah lagi, pembangunan jalan di atas tanggul melanggar hukum, seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, khususnya Pasal 15.

Riza menyatakan reklamasi seharusnya menjadi momentum konsolidatif paling baik untuk menyelamatkan kepentingan Jakarta secara keseluruhan. Salah satunya adalah menyelamatkan Pulau Onrust. Jika reklamasi dan Giant Sea Wall dibuat, JJ Rizal menambahkan, akan terjadi perubahan arus yang menyebabkan Pulau Onrust tenggelam. Padahal pulau itu adalah pulau yang sangat bersejarah. “Kartosuwiryo ditembak dan dikuburkan di Pulau Onrust,” kata Rizal. “Termasuk ada rumah Gubernur Reiner de Klark yang merupakan bangunan gaya Jepang di salah satu pulau di Kepulauan Seribu.”

Meskipun Ahok mengatakan reklamasi tidak bisa digugat karena perdanya telah telah dibahas sejak 1995, nyatanya Kementerian Lingkungan Hidup telah menerbitkan SK Menteri Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara. Pada 2009 Mahkamah Agung mengabulkan kasasi Kementerian Lingkungan Hidup dan menyatakan reklamasi menyalahi Amdal. Tahun 2014, Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Gubernur Fauzi Bowo kembali mengukuhkan rencana reklamasi melalui Surat Keputusan Gubernur DKI Nomor 2238 Tahun 2013.

Namun, Kementerian Kelautan dan Perikanan melawan karena menganggap kewenangan memberikan izin di area laut strategis berada di kementeriannya meski lokasinya ada di wilayah DKI Jakarta. Selain itu, Kementerian Koordinator Kemaritiman juga meminta pengembang dan Pemprov DKI Jakarta membuat kajian ilmiah rencana reklamasi serta menjelaskan kepada publik sehingga publik tahu detail perencanaan dan bisa mengawasi proyek reklamasi. Akhir September 2015 ada moratorium reklamasi tetapi kini kita tersentak lantaran Ahok telah menerbitkan izin reklamasi secara diam-diam bagi empat pulau.

Dalam akhir diskusi yang berlangsung di Komunitas Bambu itu Riza Damanik menyatakan, “Reklamasi membuka kota baru yang penuh rekayasa, sebab tanpa mengurangi kualitas hidup orang lain tak mungkin mereka bisa hidup di hari ini dan ke depan.”

Pertanyaannya sekarang, reklamasi di Teluk Jakarta itu untuk siapa? Sudah jelas hanya mereka yang berkocek tebal yang mampu menikmati pulau yang dibangun pengembang dengan dana triliunan rupiah tersebut, sementara orang miskin justru terusir. Jika memang negara ini masih mengaku sebagai negara laut, maka laut selayaknya dihormati sebagai ibu. Atau istilah orang Betawi pesisir, “Jangan durhaka kepada laut.”

Diskusi usai menjelang Magrib, tetapi pertanyaan perihal bagaimana caranya agar proyek reklamasi Teluk Jakarta tidak lolos masih belum terjawab. Gugatan atas reklamasi di Pengadilan Tata Usaha Jakarta Timur juga masih berlangsung. Sebelum pulang, tuan rumah menyediakan makan malam untuk para tamunya. “Karena topik diskusinya laut, maka menunya ikan,” ucap JJ Rizal sambil tertawa. Sup bandeng dengan daun kemangi yang tersedia di meja makan pun ludes diserbu. Di tengah makan malam, Suaeb Mahbub menceritakan kisah seorang nelayan yang tersesat di laut. Kami yang berada di meja makan terbahak-bahak mendengar pemain lenong ini ngejait (dari nama Jait, tukang cerita Betawi yang amat terkenal). Ya, sesungguhnya orang Betawi memiliki konsep maritim, tetapi sayang itu sekali sering dilupakan dan terabaikan, bahkan tidak pernah disebut-sebut dalam konsep antropologis.

Ikuti tulisan menarik Fadjriah Nurdiarsih lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler